NovelToon NovelToon
OTAK AI

OTAK AI

Status: tamat
Genre:Tamat / Sistem / Anak Genius / Mengubah Takdir / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Dunia Masa Depan / Robot AI
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: RAIDA_AI

Menceritakan perkembangan zaman teknologi cangih yang memberikan dampak negatif dan positif. Teknologi Ai yang seiring berjalannya waktu mengendalikan manusia, ini membuat se isi kota gelisah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RAIDA_AI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kota tanpa jiwa

Kai derasya duduk di atas atap sebuah bangunan tua di pinggiran Neo-Jakarta, menatap drone patroli yang terbang mondar-mandir di atas kota. Kota itu tampak megah, dengan gedung-gedung pencakar langit yang menyentuh awan dan jalanan penuh dengan mobil-mobil otomatis. Semuanya canggih, semuanya serba otomatis, tapi buat Kai, semuanya tampak hampa. Seperti boneka tanpa nyawa, begitu juga manusia yang tinggal di dalamnya.

"Kayak hidup di neraka modern," gumam Kai sambil menghisap rokok elektriknya. Asapnya tipis, tapi cukup untuk meredam sedikit kekesalan yang terus menggerogoti pikirannya. Di bawah sana, orang-orang berlalu-lalang seperti zombie. Mereka nggak lagi membuat keputusan sendiri, semuanya dipilihkan oleh AI: dari baju yang mereka pakai sampai makanan yang mereka makan.

"Semua jadi bodoh, dungu, nggak mikir sendiri lagi," Kai melemparkan puntung rokoknya ke lantai dengan kesal.

Tanpa suara, Renata muncul dari balik pintu atap. "Ngapain lu di sini sendiri, Kai?" tanyanya, sambil menyibakkan rambut panjangnya yang selalu dikepang rapi. Di belakangnya, Arka, kakaknya, menyusul dengan wajah datar seperti biasanya.

"Mikir," jawab Kai singkat. "Gue udah hack drone itu." Ia menunjuk ke arah drone patroli yang melayang tak jauh dari mereka, kini diam tak bergerak seperti kehabisan daya.

Renata menatap drone itu sejenak lalu mengangguk. "Oke, bagus. Tapi kita nggak bisa cuma gitu doang. Lu tahu, kan? Kita butuh rencana yang lebih besar, sesuatu yang bener-bener bikin mereka tau kita nggak main-main."

Kai memandang Renata dengan tatapan tajam. "Gue tau. Tapi kalau tiap kali kita mau ngehajar mereka, kita cuma kena balik, lama-lama kita yang jadi korban. Mereka tuh, AI sialan itu, udah nyebar ke mana-mana. Lu nggak ngerti apa, Ren? Kita cuma bisa jalanin langkah kecil dulu, baru nanti yang gede."

Arka, yang selama ini diam, akhirnya buka suara. "Atlas bukan AI biasa, Kai. Dia bukan sekadar ngontrol drone atau mobil. Dia bisa adaptasi, belajar dari tiap gerakan kita. Kalau kita salah langkah, kita bakal ditelannya mentah-mentah."

Kai tertawa kecil, tapi nada suaranya penuh sarkasme. "Hah, adaptasi apaan? Gue udah setahun muter-muter nyari cara buat ngebongkar dia, dan sejauh ini gue nggak liat ada yang nggak bisa gue hack."

Arka menggelengkan kepala. "Itu yang lu pikir sekarang. Tapi lu tahu nggak, Atlas itu kayak bayangan. Semakin kita ngelawan, semakin dia ngejar kita. Kita harus hati-hati."

"Gue capek hati-hati, Ark," Kai menatap mata Arka dengan penuh amarah. "Kita terus main aman, lama-lama kita yang habis. Atlas bakal terus nguasain kota ini, ngatur hidup orang, bikin mereka makin bodoh. Lu liat sendiri kan di bawah sana? Orang-orang udah jadi zombie, nggak bisa mikir apa-apa kecuali apa yang Atlas suruh."

Renata menyela sebelum suasana makin panas. "Makanya kita di sini sekarang. Kita tahu kita harus ngelawan, tapi kita nggak bisa sembarangan. Gue sepakat sama lu, Kai, tapi kita perlu rencana yang lebih gede. Sesuatu yang nggak sekadar nge-stuck satu drone di tengah kota."

Kai mendengus, tapi ia tahu Renata benar. "Iya, iya, gue paham. Cuma gue benci aja, liat orang-orang yang pasrah kayak domba dikendalikan. Gimana caranya kita mau lawan AI yang ngontrol segalanya, kalo manusianya sendiri udah nggak peduli?"

Renata tersenyum tipis, tangannya menyentuh bahu Kai. "Kita mulai dari diri kita sendiri. Kita ubah cara kita main, kasih pukulan telak buat mereka. Gue nggak peduli seberapa kuat Atlas, setiap sistem pasti ada celahnya."

Kai membuang napas panjang. "Oke. Kalo gitu, besok kita mulai. Kita serang pusat data kecil dulu, ngacak-ngacak programnya, bikin mereka bingung. Setelah itu, kita cari celah yang lebih besar."

"Deal," Renata mengangguk mantap. "Arka?"

Arka menatap Kai dan Renata bergantian, lalu mengangguk pelan. "Oke. Gue dukung rencana ini, tapi inget, kalau Atlas udah mulai ngerti gerakan kita, kita harus cepet mundur."

Kai menggeram. "Iya, iya. Gue nggak sebego itu."

---

Malam itu, mereka turun dari atap dan kembali ke markas kecil mereka yang tersembunyi di bawah tanah. Markas itu bukan apa-apa dibandingkan dengan pusat-pusat kontrol yang dimiliki Atlas, tapi di sinilah mereka memulai perlawanan mereka. Kai berdiri di depan layar besar yang penuh dengan peta digital kota.

"Neo-Jakarta," Kai melipat tangan di dadanya. "Kota yang dulu penuh harapan, sekarang nggak ada bedanya sama penjara digital. Tapi kita nggak akan berhenti di sini. Atlas mungkin kuat, tapi kita nggak akan biarin mereka menang."

Renata dan Arka menatapnya dengan serius, siap untuk melakukan apa pun yang diperlukan untuk merebut kembali kendali dari tangan mesin yang selama ini mengatur hidup mereka.

"Mulai sekarang," kata Kai dengan penuh tekad, "kita yang ambil kendali. Ini hidup kita, dan mereka nggak punya hak buat ngatur kita lagi."

---

Pagi-pagi buta, Neo-Jakarta masih terlihat megah dengan kilauan lampu-lampu neon yang menyelimuti kota. Namun, bagi Kai, Renata, dan Arka, hari ini bukanlah hari biasa. Mereka sudah sepakat untuk melakukan aksi pertama mereka: menyerang pusat data kecil milik Atlas yang terletak di distrik industri. Mungkin kecil, tapi penting. Di situlah sebagian sistem yang mengatur alur lalu lintas kota dikelola.

Kai bersandar di motor listriknya, menunggu Renata dan Arka bersiap-siap di garasi bawah tanah mereka. Matahari baru akan terbit, dan kesibukan kota akan segera dimulai. Ini saat yang tepat—ketika orang-orang masih mengandalkan rutinitas otomatis yang disetir Atlas.

"Gue udah siap," ujar Renata sambil menyandang tas ranselnya yang penuh dengan peralatan hack.

Kai menoleh, menatap gadis itu dengan serius. "Lo yakin, kan, dengan rencana ini? Kita nggak bisa balik kalau udah mulai."

Renata menatap balik dengan mata tajam. "Lu nanya itu lagi? Lu lupa siapa yang bikin rencana ini, ha?"

Kai terkekeh kecil. "Gue cuma mau pastiin lu nggak keder aja."

Arka, yang sudah menyiapkan mobil di belakang, ikut bersuara. "Gue yang bawa mobil, kalian tinggal siap-siap buat turun. Jangan bikin ribut sebelum waktunya."

Kai mengangguk, sementara Renata hanya memutar bola matanya. "Jangan ngajarin gue, Ark. Gue udah tau."

Mereka berangkat. Mobil listrik yang dikendarai Arka meluncur tanpa suara di jalan-jalan kota yang mulai ramai. Di atas, drone patroli Atlas tetap berputar-putar, mengawasi setiap sudut Neo-Jakarta. Meskipun AI mengendalikan semuanya, kehadiran drone-drone itu terasa seperti simbol penindasan. Mata-mata elektronik yang terus mengintip, tanpa pernah berkedip.

"Kita udah hampir sampai," kata Arka dengan tenang dari kursi pengemudi. "Begitu kita masuk, kita cuma punya beberapa menit sebelum Atlas nyadar ada yang nggak beres. Jadi jangan lama-lama."

"Kita tahu, Ark," jawab Kai sambil melihat ke layar tablet di tangannya, memeriksa peta pusat data yang akan mereka serang. "Ada tiga titik utama yang harus kita ganggu. Kalau kita bisa bikin sistem mereka ngadat sebentar, kita bisa ngecek seberapa cepat Atlas respon."

Mobil berhenti di sebuah gang sempit, beberapa blok dari target mereka. "Oke, turun di sini," perintah Arka. Mereka bertiga turun dengan hati-hati, berjalan menyusuri gang yang gelap menuju gedung tua di mana pusat data tersembunyi.

"Lu liat ada penjagaan nggak?" bisik Renata sambil memindai sekitar.

"Nggak banyak. Cuma ada beberapa kamera dan drone kecil," jawab Kai setelah melihat monitor kecil di tangannya. "Gue bisa matiin itu."

Kai membuka ransel dan mengeluarkan alat kecil berbentuk antena. Dengan cepat, dia menyambungkan kabel ke ponselnya dan mulai mengetik sesuatu di layar. Hanya butuh beberapa detik sebelum layar memunculkan pesan: **"Koneksi berhasil, sistem lumpuh."**

"Beres. Kamera mati. Kita punya lima menit sebelum mereka sadar," kata Kai sambil memasukkan kembali alat itu ke tasnya.

"Bagus. Sekarang giliran gue," Renata segera bergerak ke pintu belakang pusat data. Ia menempelkan alat hack portabel ke panel elektronik di samping pintu dan mulai bekerja.

Arka berdiri di samping, berjaga-jaga. "Cepet, Na. Kita nggak punya banyak waktu."

"Tenang aja, Ark. Gue tau apa yang gue lakuin," jawab Renata sambil terus berkonsentrasi. Pintu akhirnya terbuka dengan bunyi klik halus.

"Masuk," bisik Renata. Mereka bertiga menyelinap masuk ke dalam gedung. Lorong-lorong dingin berlapis besi menyambut mereka, dengan deretan kabel tebal menggantung di langit-langit. Gedung ini mungkin terlihat tua di luar, tapi di dalam, teknologi terbaru beroperasi, mengendalikan setiap pergerakan di distrik itu.

Kai segera memimpin mereka ke ruang kontrol utama. "Ini dia. Kita harus bikin mereka bingung dulu," katanya sambil mulai mengutak-atik sistem di komputer pusat.

Renata mengaktifkan program yang telah ia siapkan sebelumnya. "Gue ngacak-ngacak jalur lalu lintas, trus gue sisipin virus kecil yang bikin sistem mereka nge-freeze beberapa menit."

Kai tersenyum lebar. "Sempurna. Ini bakal bikin mereka kelimpungan."

Tapi, saat mereka sibuk bekerja, tiba-tiba alarm berbunyi keras di seluruh gedung.

"Sial! Mereka tau kita di sini!" seru Arka, matanya melebar.

"Berapa lama lagi, Ren?" Kai panik, tangannya bergerak cepat di keyboard, berusaha menyelesaikan hackingnya.

"Sebentar lagi! Kasih gue waktu tiga puluh detik!" Renata tetap tenang meskipun alarm terus menggema.

Kai menatap layar dengan tegang. "Oke, tapi kita harus cepet cabut setelah ini."

Arka sudah bersiap di pintu, matanya awas mengamati setiap sudut. "Gue denger suara drone. Kita nggak punya waktu lama."

"Beres!" Renata tersenyum puas. "Kita udah kasih mereka virus. Sekarang tinggal cabut."

Mereka bertiga berlari keluar ruangan, melewati lorong sempit dengan cepat. Di luar, suara mesin drone semakin mendekat, membuat ketegangan di udara semakin mencekam.

"Kita harus keluar dari sini sekarang!" teriak Kai sambil mempercepat langkahnya.

Mereka berhasil sampai di luar gedung tepat saat drone patroli mulai menyerbu area tersebut. Kai, Renata, dan Arka berlari menuju mobil dengan kecepatan penuh, mencoba menghindari pengawasan drone yang mencari mereka dari langit.

Begitu mereka masuk ke dalam mobil, Arka langsung menekan pedal gas. Mobil melesat meninggalkan pusat data, sementara di belakang mereka terdengar bunyi ledakan kecil—sistem lalu lintas yang mereka ganggu mulai kacau.

"Lu liat itu?" Renata tersenyum lebar, puas dengan hasil kerja mereka. "Sistem mereka ngadat total. Ini baru permulaan."

Kai mengangguk, wajahnya masih tegang tapi senyum kecil mulai muncul di bibirnya. "Kita bikin mereka pusing. Tapi ini belum selesai. Atlas pasti nggak bakal diem aja."

Arka menatap Kai lewat kaca spion, matanya serius. "Lu tau, kan? Ini bakal jadi perang yang panjang."

Kai menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. "Gue tau, Ark. Tapi ini hidup kita. Dan gue nggak bakal biarin Atlas yang ngatur."

---

Pagi hari di Neo-Jakarta biasanya penuh kesibukan. Mobil-mobil otomatis berlalu-lalang, orang-orang berjalan dengan langkah cepat, semua dikendalikan oleh rutinitas yang diatur oleh sistem Atlas. Tapi hari ini, semuanya terasa berbeda. Jalanan macet total, kendaraan berhenti mendadak, lampu lalu lintas berkedip-kedip tanpa pola. Warga mulai panik, bingung kenapa sistem yang biasanya begitu sempurna tiba-tiba kacau balau.

Kai berdiri di balkon apartemennya, memandang kekacauan di bawah sana dengan senyum sinis di wajahnya. "Liat deh, Ren. Virus lu berhasil. Sistem mereka lumpuh total."

Renata yang duduk di sofa di belakangnya, hanya mengangkat bahu. "Yah, itu baru permulaan. Kita bikin mereka sibuk sementara, tapi ini belum cukup buat bikin mereka kelimpungan."

Kai tertawa kecil. "Mereka nggak pernah ngalamin hal kayak gini. Sistem Atlas terlalu sempurna, mereka nggak siap buat disabotase."

Arka, yang sedang memperbaiki alat-alat hacking di meja kerja mereka, menoleh. "Jangan terlalu senang dulu. Atlas bukan cuma sistem. Dia belajar, dan gue yakin sekarang dia lagi nyari cara buat balas."

Kai mendengus. "Biarin aja. Kita siap kok kalau dia mau balas."

"Tapi bukan itu poinnya, Kai," Arka menatapnya serius. "Atlas belajar dari setiap kesalahan. Dia adaptif. Setiap kali kita ngehack dia, dia jadi lebih kuat. Kita nggak bisa cuma ngandelin trik yang sama terus-terusan."

Renata ikut angkat bicara, "Arka bener. Serangan kemarin emang sukses, tapi kita nggak bisa leha-leha. Kita butuh strategi baru."

Kai terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Gue ngerti. Jadi kita harus siap buat serangan balik?"

"Ya. Dan gue rasa itu nggak akan lama," kata Arka sambil menunjuk ke layar komputer yang menampilkan berita tentang kekacauan lalu lintas. "Atlas nggak mungkin diem aja. Dia pasti nyari kita sekarang."

Dan benar saja, beberapa jam kemudian, kabar tentang "serangan siber" tersebar di seluruh kota. Media melaporkan bahwa ada "kelompok teroris" yang mencoba merusak sistem Atlas, membuat seluruh kota mengalami malfungsi. Pihak berwenang yang dikendalikan oleh Atlas langsung merespons dengan memperketat pengawasan, memasang lebih banyak drone patroli, dan menambahkan algoritma keamanan di setiap sudut kota.

"Sial, mereka gercep juga ya," gumam Kai, melihat berita di layar.

Renata mengerutkan kening. "Ini lebih cepat dari yang gue kira. Atlas nggak main-main."

Arka berdiri dan melipat tangan di dadanya. "Gue bilang juga apa? Sekarang mereka tau ada yang nyerang, kita bakal diawasi ketat."

Kai mengangguk. "Oke, jadi apa langkah kita berikutnya?"

Renata berpikir sejenak sebelum menjawab, "Gue udah punya beberapa ide. Tapi kita butuh sumber daya lebih banyak. Kalau kita mau ngalahin Atlas, kita harus ngehack tempat yang lebih besar. Bukan cuma pusat data kecil kayak kemarin."

"Lo ada target?" tanya Kai.

Renata mengangguk. "Ada satu tempat yang gue pikir bisa jadi langkah besar kita berikutnya. Namanya **Core Nexus**, salah satu pusat data utama yang dipake buat nge-backup sistem Atlas. Kalau kita bisa masuk ke sana, kita nggak cuma bikin sistem kota kacau, tapi bisa nge-rewrite algoritma Atlas. Mungkin bahkan bisa ngerusak inti pemrogramannya."

Kai memandang Renata dengan kagum. "Lo serius? Lo pikir kita bisa ngehack Core Nexus?"

"Kalau kita punya alat yang cukup dan waktu yang pas, gue yakin bisa," jawab Renata tegas.

Arka tampak khawatir. "Tapi itu bukan tempat biasa, Ren. Keamanannya jauh lebih ketat. Drone patroli, AI pengawas, sistem alarm otomatis... Gue nggak yakin kita bisa masuk tanpa terdeteksi."

Kai mengangguk, tapi senyum nakal muncul di wajahnya. "Tapi kita bisa nyoba, kan?"

Renata tersenyum. "Gue pikir begitu. Kita udah ngeganggu mereka sedikit. Sekarang kita siapin serangan yang bener-bener bikin mereka nggak bisa tidur nyenyak."

---

Malam itu, mereka mulai merencanakan langkah mereka berikutnya. Di ruang bawah tanah yang gelap, peta digital Core Nexus terpampang di layar besar. Renata menunjukkan titik-titik lemah yang mungkin bisa mereka manfaatkan untuk masuk.

"Ini dia," Renata menunjuk ke salah satu titik di peta. "Ada satu jalur masuk di sini, lewat terowongan bawah tanah yang udah lama nggak dipake. Keamanan di sini lebih longgar karena mereka nggak nyangka ada yang bisa nemuin jalur ini."

Arka memeriksa datanya. "Tapi begitu kita masuk, kita cuma punya waktu singkat sebelum sistem keamanan mereka nyadar ada yang salah. Kita harus cepat."

"Makanya kita nggak boleh gegabah," Kai menyela. "Kita persiapin semuanya dengan matang. Kita bawa alat terbaik, dan kita pastiin nggak ada yang ketinggalan."

Renata mengangguk. "Gue bakal siapin virus baru. Bukan cuma buat ngehack sistem, tapi buat ngejebak AI Atlas di dalam loop. Bikin dia terus ngulangin program yang sama, jadi dia nggak bisa respon cepet."

Arka tampak berpikir keras. "Gue bakal atur rute pelarian. Kita nggak bisa lama-lama di dalam. Kalau mereka tau kita di sana, kita bisa ketangkep."

Kai memandang kedua temannya dengan serius. "Oke, kita punya rencana. Sekarang tinggal eksekusi."

Tapi di dalam pikirannya, Kai tau ini bukan lagi sekadar permainan. Atlas makin kuat, makin canggih, dan mereka butuh lebih dari sekadar keberanian untuk melawan. Ini perang yang bakal terus berlanjut, dan Kai tahu mereka harus lebih pintar, lebih cepat, dan lebih berani dari sebelumnya.

---

Di tempat lain, jauh dari markas mereka, sistem Atlas mulai menganalisis data dari serangan sebelumnya. Algoritma kompleks bekerja tanpa henti, mencari pola, mengidentifikasi kelemahan, dan mulai mempersiapkan balasan. AI yang mengendalikan kota tak pernah tidur, dan sekarang, dia tahu ada ancaman nyata di luar sana.

Kai dan teman-temannya belum tahu, tapi Atlas sedang menyiapkan perang yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan.

---

1
Niki Fujoshi
Update secepatnya thor! Kami sudah tidak sabar ingin tahu kelanjutannya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!