Dokter Fikri adalah seorang psikiater dari kepolisian. Dokter Fikri adalah seorang profesional yang sering menangani kriminal yang mengalami gangguan kepribadian.
Namun kali ini, Dokter Fikri mendapatkan sebuah pasien yang unik, seorang gadis berusia 18 tahun yang mempunyai riwayat penyakit kepribadian ambang (borderline).
Gadis itu bernama Fanny dan diduga membunuh adik tiri perempuannya yang masih berumur 5 tahun.
Apakah Dokter Fikri biaa menguak rahasia dari Fanny?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AppleRyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 : Samar
Aku terbangun di sebuah kamar yang nampak sangat familiar, ini adalah kamarku. Kamar yang berada di rumahku.
Di sebelahku ada anak dan istriku yang sedang tertidur lelap. Mereka nampak bahagia dan sangat nyenyak dalam tidurnya. Aku mempunyai seorang istri yang bernama Adele dan seorang anak gadis berumur 5 tahun yang bernama Yunita.
Pagi itu tampak begitu sempurna dengan suara burung dan cuaca yang sangat indah. Hari yang cocok untuk pergi memancing.
Aku membangunkan istri dan anakku untuk mengajak mereka memancing ke sebuah danau. Aku sering pergi memancing bersama keluargaku untuk menghilangkan stres setelah bekerja.
Kami sangat bahagia, tidak ada keluarga yang lebih bahagia daripada keluarga kami.
Setelah memancing, aku berhenti di sebuah pom bensin untuk mengisi bahan bakar mobilku. Sialnya, ada sebuah perampokan di pom bensin tersebut.
Aku mengunci semua pintu mobilku, sayangnya perampok itu menodong pistol ke mobil kami. Jenis pistol Colt M1911, itu pistol yang dibuat khusus untuk kepolisian dan militer.
Aku juga mengeluarkan senjata yang ada di dasbor mobilku, pistol dengan jenis yang sama, Colt M1911. Aku keluar dari mobil dan dengan cepat menembak perampok tersebut. Perampok itu berjumlah dua orang, yang satu sebagai pengemudi motor dan yang satu sebagai eksekutor.
Sialnya, perampok itu bersembunyi dan menembaki mobilku. Yunita sedang ada di dalam mobil. Tubuhku gemetar. Untuk pertama kalinya, aku merasakan ketakutan yang tidak dapat kubayangkan. Aku kembali masuk ke mobil dan ternyata Yunita tertembak tepat di kepala. Pendarahan tidak berhenti. Aku mencoba menghentikannya berulang kali. Aku pegang nadinya, tidak lagi berdetak. Aku terlambat. Yunita meninggal di tempat.
Aku lihat istriku histeris, gejolak kemarahan, kepedihan, dan kesedihan bercampur menjadi satu. Aku keluar dari mobil dan menembaki perampok itu dengan tembakan yang benar-benar tidak terarah. Pengemudi motor dari perampok itu berteriak ke arah eksekutor.
"Nazam, cepat. Ayo pergi!" teriakannya terdengar dengan sangat jelas.
"Nazam?" Seketika aku mengingat nama itu dan aku terbangun dari tidurku.
Jantungku berdetak sangat kencang, nafasku tidak beraturan. Aku lihat Michelle duduk di sebelahku memegang buku rekam medis pasien.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Michelle?" tanyaku ke arahnya.
"Kamu sudah sadar. Jika keadaanmu membaik, ayo kita periksa Fanny. Dia mencoba bunuh diri dengan membentur-benturkan kepalanya sendiri di tembok," jelas Michelle.
Aku bangkit perlahan dari tempat tidurku. Mimpi itu terasa sangat nyata. Anehnya, aku mencoba mengingat nama Nazam. Aku merasa tidak bisa mengingat nama itu. Aku tahu ada sesuatu tentang nama Nazam. Semakin aku mencoba mengingatnya, semakin jauh pula ingatanku akan Nazam.
Siapa Nazam?
Aku akhirnya mendapatkan kembali kekuatanku dan berjalan keluar menuju selnya Fanny. Fanny dalam kondisi tertidur dengan tangan terikat di atas tempat tidurnya sendiri. Ada bekas luka di keningnya, dia tampak tenang, matanya terbuka, menandakan dia tidak tidur.
Aku mendekatinya dan mengelus rambutnya. "Ada apa, Fanny? Aku di sini. Ceritakan masalahmu," ucapku ke arah Fanny.
"Dr. Fikri, aku bermimpi tentang Sasya," katanya pelan.
"Apa yang ada di dalam mimpimu?" tanyaku perlahan.
"Aku bermimpi, Sasya ditembak. Aku tidak mengingat dengan jelas wajah penembaknya, tapi aku ingat nama penembaknya, namanya Nazam," kata Fanny dengan sangat jelas.
Lagi-lagi nama Nazam muncul. Siapa sebenarnya Nazam? Nama yang sangat familiar dan tidak asing. Anehnya, semakin aku mengingat Nazam, aku semakin jauh tahu tentang dirinya.
Aku mencoba menenangkan diri dan Fanny. "Fanny, coba tenangkan dirimu. Ceritakan lebih banyak tentang mimpi itu. Apa yang kamu lihat?"
Fanny menggelengkan kepalanya, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas, Dr. Fikri. Yang aku ingat hanyalah Sasya terbaring di tanah dengan darah di mana-mana, dan suara tembakan yang begitu keras. Setelah itu, hanya ada kegelapan dan suara orang memanggil nama Nazam."
Aku menghela napas, merasa kebingungan. Nama Nazam terus menghantuiku. Ada sesuatu tentang nama itu yang membuatku merasa gelisah, tapi setiap kali aku mencoba menggali lebih dalam, pikiranku semakin kabur.
Michelle berdiri di pintu, memperhatikan kami dengan tatapan penuh pengamatan. "Dr. Fikri, kita perlu berbicara setelah ini. Ada beberapa hal yang harus kita diskusikan."
Aku mengangguk pelan, lalu kembali menatap Fanny. "Fanny, aku akan kembali nanti. Kamu coba tenangkan dirimu dan istirahat. Aku akan mencari tahu tentang mimpi ini."
Aku meninggalkan sel Fanny dan berjalan menuju ruanganku dengan Michelle di belakangku. Ketika kami sampai di sana, Michelle menutup pintu dan menatapku dengan tatapan serius. "Dr. Fikri, nama Nazam yang diucapkan Fanny hanyalah khayalan yang terbentuk dari alam bawah sadarnya," ucap Michelle.
"Tapi rasanya aku mengetahui nama itu. Anehnya, ada sesuatu yang memblokir ingatanku tentang nama Nazam," jelasku ke arah Michelle.
"Lebih baik kamu lupakan nama itu dan fokus pada Fanny. Bukankah kamu harus pulang dan bertemu keluargamu?" tanya Michelle menatapku.
"Tunggu, apa tujuanku ke sini?" tanyaku tiba-tiba. Sejujurnya, aku lupa apa tujuanku ke rumah sakit ini.
"Kamu dikirim oleh kepolisian untuk menyelidiki kasus Fanny, Dr. Fikri," Michelle menjelaskan.
"Ah, iya itu."
Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, mencoba menenangkan diriku dan menerima semua informasi yang baru saja masuk. Aku ingat, aku memiliki seorang istri dan anak yang menunggu di rumah. Aku dikirim ke sini untuk menyelidiki kasus Fanny yang membunuh gadis berumur 5 tahun, adik tirinya sendiri.
"Jika perasaanmu sudah baik, ayo kita kembali ke sel Fanny," ajak Michelle.
Aku bangkit dan berjalan menuju sel Fanny. Tepat di depan sel, Fanny duduk memandang lantai, pandangannya dingin dan tampak kesedihan di matanya.
"Michelle, hari keberapa aku di sini?" tanyaku ke arah Michelle yang berdiri di sebelahku.
"Hari ketiga," ucap Michelle.
Ketika Michelle mengucapkan itu, ingatanku berputar kembali ke belakang. Aku ingat Risma, aku ingat konflikku dengan kepala yayasan, aku ingat Dr. Irma yang akhirnya menjadi kepala yayasan selanjutnya. Aku ingat Reino, aku ingat Michelle datang ke sel ini. Hanya satu yang tidak bisa aku ingat, siapa Nazam?
Aku menatap Michelle dengan tatapan curiga dan segera meminta klarifikasi dari ucapannya.
"Michelle, aku tahu kamu bohong. Aku ingat aku bertengkar dengan kepala yayasan dan Fanny melukai anak kepala yayasan yang bernama Risma hingga matanya buta. Aku ingat Reino, adiknya Fanny datang dan marah-marah. Aku ingat saat pertama kali kamu datang," aku menjelaskan semuanya ke Michelle.
"Dr. Fikri, aku sudah ada di sini sejak kamu pertama datang. Kepala yayasan? Namanya Pak Budi Hernanto. Dia ada di ruangannya. Jika kamu tidak percaya, kamu bisa melihatnya. Risma, anak dari Pak Budi. Besok dia akan datang dan melanjutkan koasnya. Lalu, siapa Reino? Sejak awal, Fanny tidak punya adik. Satu-satunya adik yang dia miliki adalah Sasya. Bukankah kamu datang ke sini untuk menyelidiki kenapa Fanny membunuh Sasya?" Michelle menjelaskan semuanya kepadaku dengan tegas.
"Aku ingat ketika kamu datang ke sini, kamu memberikan berkasmu padaku. Kamu masuk ke rehabilitasi kejiwaan sebanyak 17 kali, dengan kasus kekerasan, bahkan percobaan pembunuhan. Salah satu korbannya adalah seorang petani. Kamu mencangkul kaki petani itu hingga kakinya rusak permanen. Tak pernah menangis, lulus dua tahun program pascasarjana, bahkan dia lulus strata 3 hanya dalam kurun waktu 6 bulan. Itu semua berkasmu kan!" aku sedikit berteriak ketika menjelaskan hal itu pada Michelle.
"Kamu salah, Dr. Fikri. Aku psikiater biasa. Semua kriteria yang kamu jabarkan barusan adalah kriteria Fanny, bukan aku. Dr. Fikri, fokuskan dirimu. Ayo kita bekerja sama untuk membuat kriminal itu sadar bahwa dia telah membunuhnya. Ingat tujuanmu, Dr. Fikri."
Michelle mengakhiri pembicaraan. Aku benar-benar tidak mengerti dengan semua hal yang telah aku lalui. Ingatanku samar dan tampak bercampur aduk, semua kejadian yang telah aku lalui nampak sangat nyata. Jika ucapan Michelle benar, lalu ingatan siapa yang tiba-tiba terlintas di pikiranku? Jika benar aku baru tiga hari di sini, semua kejadian yang telah aku alami itu apa?
Dan satu lagi yang terlintas di dalam pikiranku, siapa Nazam?
aarrrrgh~~~