selingkuhan suamiku merampok semua hartaku dan papaku, suamiku berubah saat bertemu wanita iblis bernama Syifa, aku tidak menyangka perubahan sikap yang ditunjukkan oleh suamiku karena pengaruh guna-guna wanita iblis bernama Syifa itu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rika ananda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alice mencoba memaafkan Richard
Richard duduk di ruang tamu, wajahnya muram. Ia menatap kedua orang tuanya yang duduk di hadapannya, raut wajah mereka penuh kekhawatiran.
"Pa, Ma," katanya, suaranya berat. "Aku ingin menemui Alice."
Papa dan Mama saling bertukar pandang. Mereka tahu apa yang terjadi antara Richard dan Alice. Mereka tahu betapa hancurnya hati Alice karena perbuatan Richard.
"Richard," kata Mama, suaranya lembut. "Apakah kau yakin dengan keputusanmu? Apakah kau sudah siap menghadapi Alice?"
Richard mengangguk. "Aku tahu aku salah, Ma. Aku telah menyakiti Alice. Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin kembali padanya."
Papa menghela napas. "Richard, kau harus ingat, Alice sangat terluka. Dia mungkin tidak mudah memaafkanmu."
"Aku tahu, Pa," jawab Richard. "Tapi aku harus mencoba. Aku tidak bisa hidup tanpa Alice."
"Baiklah, Richard," kata Mama. "Kami mendukungmu. Tapi ingat, jangan memaksakan diri. Jika Alice belum siap, janganlah memaksanya."
Richard mengangguk. "Terima kasih, Pa, Ma. Aku akan berusaha sebaik mungkin."
Richard berpamitan pada orang tuanya. Ia melangkah keluar rumah dengan hati yang berat. Ia tahu, jalan menuju rujuk tidak mudah. Tapi ia bertekad untuk memperjuangkan cintanya. Ia tidak akan menyerah sebelum Alice kembali padanya.
Richard berjalan menuju mobilnya, langkahnya terasa berat. Udara Palembang sore itu o langkah yang menentukan masa depannya. Dengan hati berdebar-debar, Richard menginjak pedal gas, mobilnya melaju perlahan meninggalkan rumah orang tuanya, menuju rumah Alice,
mantan istrinya, dengan harapan dan ketakutan bercampur aduk dalam hatinya
Richard melangkah ragu ke halaman rumah Alice. Rumah yang dulu sering ia kunjungi, kini terasa asing dan dingin. Ia mengepalkan tangan, mencoba menenangkan debar jantungnya yang berdebar kencang.
"Alice," panggilnya pelan, suaranya sedikit gemetar.
Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan wajah Alice yang dingin dan penuh amarah.
"Apa yang kau inginkan, Richard?" tanyanya tajam.
"Aku ingin bicara," jawab Richard, matanya menatap Alice dengan penuh harap. "Aku tahu aku salah. Aku menyesal telah menyakitimu."
Alice mencibir. "Penyesalanmu tidak akan mengembalikan apa yang telah kau rusak."
Richard menghela napas. "Aku tahu. Tapi aku mohon, beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku mencintaimu, Alice. Aku tidak bisa hidup tanpamu."
Alice terdiam, matanya berkaca-kaca. Richard melihat keraguan di wajahnya.
"Aku tidak tahu, Richard," katanya lirih. "Aku masih sangat sakit hati."
"Aku mengerti," jawab Richard. "Tapi aku berjanji, aku akan berubah. Aku akan menjadi suami yang kau inginkan. Aku akan mencintai dan menghormati kamu dengan sepenuh hati."
Richard menatap Alice dengan penuh harap. Ia tahu, jalan menuju rujuk tidak mudah. Tapi ia bertekad untuk memperjuangkan cintanya. Ia tidak akan menyerah sebelum Alice kembali padanya.
Alice membalikkan badan, matanya yang berkaca-kaca menatap tajam Richard. Wajahnya masih dipenuhi luka, luka yang disebabkan oleh pengkhianatan Richard. Suaranya terdengar dingin, menusuk, "Syifa... di mana Syifa, selingkuhanmu itu?" Pertanyaan itu keluar seperti bisikan beracun, mengandung amarah yang terpendam selama ini. Tatapannya seakan ingin menembus jiwa Richard, mencari jawaban yang mungkin tak akan pernah bisa memuaskan hatinya yang terluka. Udara di antara mereka terasa tegang, dipenuhi oleh kesedihan dan kekecewaan yang mendalam.
Alice menatap Richard dengan tatapan dingin dan tegas. Tidak ada sedikitpun kelembutan atau keraguan di matanya. "Aku tidak mau," katanya, suaranya datar dan tanpa emosi. "Aku tidak akan pernah memaafkanmu, Richard. Kau telah menyakitiku terlalu dalam. Aku tidak ingin lagi melihat wajahmu." Ia memalingkan wajahnya, menunjukkan penolakan yang mutlak. "Pergilah. Tinggalkan aku sendiri." Tidak ada air mata, tidak ada jeritan, hanya penolakan yang tegas dan final. Ia telah membuat keputusan, dan tidak ada yang bisa mengubahnya. Richard hanya bisa terdiam, menelan pil pahit penolakan itu. Harapannya sirna, tersisa hanya rasa sesal yang mendalam.
Alice memalingkan wajahnya, mencoba menyembunyikan air mata yang mengancam untuk jatuh. Kata-kata Richard, janjinya, semuanya terasa hampa. Luka yang tertanam di hatinya terlalu dalam. Ia masih mencintainya, itu adalah kenyataan yang pahit. Bayangan Richard bercumbu dengan Syifa di hotel itu masih menghantuinya, menghancurkan sedikit demi sedikit sisa-sisa kepercayaan dan cintanya. Ia berusaha mengubur perasaannya yang masih tersisa, menutup hatinya rapat-rapat untuk melindungi dirinya dari rasa sakit yang lebih dalam lagi. Penolakannya bukanlah karena ia tidak mencintai Richard lagi, tetapi karena ia takut, takut untuk kembali terluka. Ia butuh waktu, waktu yang lama untuk menyembuhkan luka hatinya yang terkoyak.
Richard mengulurkan tangannya, mencoba meraih tangan Alice, tapi Alice menghindar. "Alice, percayalah padaku," katanya, suaranya bergetar. "Aku akan berubah. Aku akan menjadi suami yang lebih baik. Aku tahu aku telah membuat kesalahan besar, aku telah tergoda oleh Syifa, tapi itu semua sudah berakhir. Aku akan meninggalkan dia, untuk selamanya. Aku tidak akan pernah mengulangi kesalahan yang sama. Aku mohon, beri aku kesempatan untuk membuktikannya. Aku masih mencintaimu, Alice. Aku sangat mencintaimu." Air mata mulai menggenang di matanya, menunjukkan penyesalan yang tulus. Ia berharap Alice bisa melihat ketulusan dalam kata-katanya, tapi ia tahu, itu mungkin sangat sulit. Luka yang ia buat terlalu dalam, dan kepercayaan yang telah hancur mungkin tak mudah untuk dibangun kembali.
Richard baru saja akan melangkah pergi, langkahnya berat, hatinya dipenuhi penyesalan. Tiba-tiba, suara Alice memecah kesunyian. "Richard..." suaranya lirih, hampir tak terdengar. Richard membalikkan badan, seutas harapan kecil muncul di hatinya. Alice menatapnya, matanya masih berkaca-kaca, tapi ada sedikit kelembutan yang terlihat di sana. "Aku... aku memaafkan mu," katanya, suaranya masih gemetar. Sebuah jeda panjang, kemudian Alice melanjutkan, "Tapi... aku tidak bisa tidur satu ranjang denganmu lagi, Richard. Aku butuh waktu. Aku butuh ruang untuk menyembuhkan luka ini." Harapan Richard sedikit meredup, tapi ia tetap bersyukur. Pemaafan Alice adalah langkah pertama, sebuah awal yang baru, meski jalan menuju perbaikan masih panjang dan penuh tantangan. Ia mengangguk, mengerti keputusan Alice. "Aku mengerti, Alice," katanya, suaranya pelan. "Aku akan memberikanmu waktu yang kau butuhkan." Ia tersenyum tipis, sebuah senyuman yang penuh harap, dan akhirnya pergi, meninggalkan Alice dengan janji untuk kembali, dan memperbaiki semuanya.
Richard mendekat, hati berdebar-debar. Alice tidak menghindar. Dengan hati-hati, ia memeluk Alice, tubuh wanita itu terasa hangat di pelukannya. Alice membalas pelukannya, meski agak kaku. Ada rasa haru yang memenuhi hati mereka berdua. Richard menunduk, mencium lembut kening Alice. Sentuhan itu begitu lembut, mengingatkan mereka pada masa-masa indah di awal pernikahan mereka. Di tengah pelukan itu, terasa ada secercah harapan baru, sebuah kemungkinan untuk memperbaiki hubungan mereka, meski jalannya masih panjang dan penuh tantangan. Pelukan itu, ciuman di kening itu, adalah simbol pemaafan, sebuah awal yang baru, sebuah janji untuk membangun kembali kepercayaan dan cinta yang telah terluka.