Sinopsis Satria Lapangan
Pahlawan Lapangan adalah kisah tentang perjalanan Bagas, seorang remaja yang penuh semangat dan berbakat dalam basket, menuju mimpi besar untuk membawa timnya dari SMA Pelita Bangsa ke Proliga tingkat SMA. Dengan dukungan teman-temannya yang setia, termasuk April, Rendi, dan Cila, Bagas harus menghadapi persaingan sengit, baik dari dalam tim maupun dari tim-tim lawan yang tak kalah hebat. Selain menghadapi tekanan dari kompetisi yang semakin ketat, Bagas juga mulai menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Stela, seorang siswi cerdas yang mendukungnya secara emosional.
Namun, perjuangan Bagas tidak mudah. Ketika berbagai konflik muncul di lapangan, ego antar pemain seringkali mengancam keharmonisan tim. Bagas harus berjuang untuk mengatasi ketidakpastian dalam dirinya, mengelola perasaan cemas, dan menemukan kembali semangat juangnya, sembari menjaga kesetiaan dan persahabatan di antara para anggota tim. Dengan persiapan yang matang dan strategi yang tajam,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 21
penyelesaian.
Ketegangan semakin memuncak saat Bagas dan April berhadapan dengan enam pengendara motor sport hitam yang tampak siap bertarung. Bagas menatap lawan-lawannya dengan tajam, sementara April menyiapkan diri dengan senyum penuh percaya diri. Mereka sudah siap berjuang, meskipun mereka tahu, ini akan menjadi pertarungan sengit.
"Lo berdua berani banget, ya!" salah satu dari pengendara motor itu berteriak sambil menatap mereka dengan sinis.
"Ngapain lo kejar-kejar kami?" jawab Bagas dengan suara datar, meskipun rasa kesalnya mulai tampak.
April mengangguk, "Iya, ngapain sih? Lo kira kita takut?"
Salah satu pengendara motor yang lebih besar dari yang lain melangkah maju, "Kalian pikir bisa menang lawan kami berdua? Siapa yang akan percaya?" ujarnya sambil tertawa mengejek.
Tanpa memberi mereka waktu untuk melanjutkan kata-kata, Bagas langsung melompat ke arah pengendara motor tersebut. Dengan gerakan cepat, Bagas melancarkan pukulan yang mendarat tepat di wajah lawannya, membuat pria itu mundur beberapa langkah. April tidak mau kalah, dia langsung menyerang pengendara motor lainnya yang berusaha menyerangnya dari samping.
Bertarung dengan cepat dan terkoordinasi, Bagas dan April memanfaatkan kecepatan dan keterampilan mereka dalam bertarung. Bagas melancarkan tendangan ke arah perut pengendara motor yang lebih tinggi, membuat pria itu terhuyung mundur dan terjatuh ke tanah. Sementara itu, April melompat dengan lincah, menendang salah satu pengendara di bagian punggung, membuatnya terjatuh dengan keras.
Namun, meskipun mereka mulai unggul, perkelahian ini jauh dari mudah. Salah satu pengendara motor yang lebih berpengalaman mencoba menyerang April dengan pukulan ke arah wajah, tetapi April berhasil menangkis dengan cepat dan membalas dengan serangan balik. Bagas, yang sedang melawan dua pengendara motor sekaligus, merasa punggungnya dihantam keras oleh salah satu lawan, membuatnya sedikit terhuyung.
"Gas, hati-hati!" teriak April saat melihat Bagas terhantam dari belakang.
Bagas, meskipun sedikit babak belur, tetap bertahan. Ia menggerakkan tubuhnya dengan cepat dan menghindari serangan dari belakang, lalu melancarkan pukulan telak ke wajah pengendara motor yang telah menyerangnya tadi. Tiba-tiba, dia melompat ke samping dan menendang motor pengendara yang mendekat, membuat motor itu terjatuh dan terpelanting.
Sementara itu, April juga berhasil mengalahkan pengendara motor yang mencoba menyergapnya. Dengan gerakan cepat, dia menendang kaki lawannya hingga pria itu terjatuh dan terkapar di tanah. April berdiri tegak, terengah-engah, namun tetap waspada terhadap dua pengendara motor lainnya.
Setelah beberapa menit bertarung sengit, satu per satu pengendara motor yang tersisa mulai mundur. Mereka melihat bahwa Bagas dan April, meskipun sedikit babak belur, tetap berdiri tegak, dengan tatapan penuh tekad.
"Lo beruntung, kali ini," ujar salah satu pengendara motor dengan kesal, sambil melihat teman-temannya yang sudah terjatuh dan terluka. "Kita akan pergi, tapi ingat ini belum selesai!"
Dengan itu, keenam pengendara motor itu akhirnya mundur, naik kembali ke motor mereka, dan pergi dengan cepat meninggalkan Bagas dan April yang masih berdiri di tengah jalan, tubuh mereka penuh luka lecet dan memar.
April menghela napas, lalu menatap Bagas. "Gila, Gas. Kita berhasil!"
Bagas tersenyum lelah, mengusap darah yang menetes dari bibirnya. "Iya, tapi kita harus lebih hati-hati lain kali," ujarnya sambil menatap jalanan yang masih sepi.
April tertawa kecil, meskipun tubuhnya juga terasa sakit. "Ya, kita memang agak nekat, sih."
Bagas mengangguk, menepuk punggung April dengan rasa bangga. "Tapi kita berhasil. Mereka nggak bisa anggap remeh kita."
Keduanya berdiri di sana, sedikit babak belur, namun mereka tahu bahwa mereka telah menang. Mereka melihat ke arah motor mereka yang terparkir beberapa langkah jauhnya, dan tanpa berbicara lebih lanjut, mereka berjalan menuju motor masing-masing, merasa lega karena bisa keluar dari situasi berbahaya itu dengan selamat.
Bagas dan April duduk di motor mereka, tubuh terasa lelah dan nyeri akibat perkelahian tadi. Meski begitu, ada rasa kemenangan di hati mereka. Setelah kejadian itu, mereka memandang satu sama lain, mencoba menenangkan diri setelah ketegangan yang baru saja mereka alami.
"Gas, lo oke?" tanya April, matanya memperhatikan Bagas yang tampak sedikit lelah meskipun dia berusaha untuk tetap tenang.
Bagas mengangguk, meski rasa sakitnya mulai terasa di beberapa bagian tubuh. "Santai, Pril. Paling cuma luka kecil aja." Dia memandang April, kemudian tersenyum tipis. "Kamu juga nggak apa-apa kan?"
April tertawa kecil, meskipun dia juga merasa beberapa bagian tubuhnya agak sakit. "Aman, kok. Cuma agak capek. Tapi kalau kita nggak buru-buru ke rumah, mungkin kita bisa jalan-jalan sebentar dulu buat nyantai."
Bagas mengangguk, menghidupkan motor sport hijau miliknya. "Ayo, kita perlu rehat bentar. Tapi besok, kita harus siap-siap buat pertandingan uji coba. Kalau kita nggak fokus, kita bisa kalah."
April setuju. Mereka berdua pun mulai melaju di jalanan yang sudah mulai sepi, menuju tempat yang mereka pilih untuk menghilangkan penat. Selama perjalanan, suasana sedikit lebih santai, meskipun ketegangan tadi masih terasa.
Sesampainya di tempat tujuan, mereka duduk di sebuah kafe pinggir jalan. Suasana yang tenang dan suasana malam yang mulai dingin membuat mereka bisa mengatur napas sejenak. Bagas memesan minuman hangat, sementara April memesan camilan ringan.
"Jadi, Gas," April membuka pembicaraan. "Lo udah siap buat pertandingan besok? Gue tahu kita baru saja ngalamin kejadian nggak enak, tapi ini saatnya kita buktikan kalau kita kuat dan siap menghadapi tantangan."
Bagas tersenyum, mengangkat gelas minumannya. "Iya, gue siap. Kita harus kasih yang terbaik di lapangan, Pril. Tapi... terkadang gue merasa belum cukup. Banyak pemain yang lebih hebat, dan tim kita bakal menghadapi saingan yang kuat."
April menatap Bagas dengan serius. "Lo nggak perlu khawatir, Gas. Lo punya potensi yang luar biasa, dan kita semua ada di sini untuk dukung lo. Jangan biarkan keraguan itu menghalangi lo. Fokus sama apa yang bisa lo lakukan, dan jangan peduli sama orang lain. Lo udah siap, percaya diri."
Bagas menghela napas, merasa sedikit lebih tenang setelah mendengar kata-kata April. "Makasih, Pril. Gue akan coba untuk lebih percaya diri dan berikan yang terbaik."
Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati suasana malam yang tenang. Walau masih ada kekhawatiran tentang pertandingan besok, namun perasaan saling mendukung antara mereka memberi kekuatan tambahan.
Setelah beberapa lama berbicara dan tertawa, mereka memutuskan untuk kembali pulang. Meski perkelahian tadi sempat mengguncang hati mereka, sekarang fokus mereka beralih kembali ke pertandingan yang akan datang. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, dan tantangan lebih besar menunggu di depan. Tapi untuk malam ini, mereka hanya ingin menikmati waktu bersama sebelum kembali berjuang di lapangan.
Dengan semangat baru, mereka melaju kembali ke rumah, siap untuk menghadapi segala yang akan datang.
Bagas mengantar April ke rumah dengan badan yang pegal akibat perkelahian yang baru saja mereka alami. Saat tiba di rumah April, lampu depan rumah masih menyala terang. Pintu rumah terbuka, menampakkan sosok Cila yang mengenakan bando kelinci berwarna merah muda. Matanya tampak menyipit karena kantuk.
"Abang, jam segini baru pulang," ujar Cila dengan suara serak dan nada menggoda.
April mendengus dan mengulurkan tangan untuk mendorong wajah adiknya pelan. "Berisik dah ni bocah," katanya sambil tersenyum lelah.
Bagas tersenyum melihat interaksi itu, perasaan hangat merayap di hatinya. "Gas, masuk dulu," ajak April sambil melangkah masuk ke rumah. Bagas pun menurut, namun belum sempat ia melangkahkan kaki, Cila mengeluarkan peringatan kecil sambil menatapnya dengan mata yang menyipit curiga.
"Lo macam-macam, gue gantung, ya," ujar Cila sambil melipat tangan di dada, mencoba tampak galak.
Bagas terkekeh, tetapi tak ingin menanggapi serius. "Santai, Cila," ucapnya, lalu menoleh ke arah April yang sudah berjalan menuju ruang tamu.
"Dek, ambilin P3K, cepat!" April berteriak tanpa menoleh ke belakang.
"Iya, Kak," jawab Cila sambil berlari kecil menuju lemari penyimpanan, suaranya terdengar menggema di rumah. Bagas menggelengkan kepala melihat kelucuan adik-kakak ini. Pemandangan itu membawanya sejenak ke masa lalu, mengingat kenangan kocak bersama Ara, sepupunya yang dulu sering membuat suasana rumah jadi hidup.
April menyiapkan es batu yang dibungkus dengan handuk kecil dan memberikannya kepada Bagas. "Nih, tempelin ke muka lo yang bengkak," katanya sambil menempelkan handuk berisi es ke pipinya sendiri yang sudah merah.
Bagas menerima handuk itu dan mulai menempelkan es ke wajahnya. "Makasih, Pril," gumamnya, sedikit meringis saat dinginnya es menyentuh kulit.
Tak lama kemudian, Cila kembali dengan membawa kotak P3K besar yang tampak lebih berat dari seharusnya. Tubuh mungilnya sedikit goyah saat berusaha mengangkat kotak itu, membuat April dan Bagas tersenyum kecil melihat usahanya.
"Nih, Bang," ujar Cila dengan napas yang sedikit terengah-engah sambil menyerahkan kotak itu kepada kakaknya. April menerima kotak itu dan mengacak rambut adiknya dengan lembut.
"Thanks, Dek," ujar April, membuka kotak dan mulai mengeluarkan perban dan antiseptik. "Gas, sini gue bantu bersihin luka lo," tambahnya, suaranya terdengar lebih lembut.
Bagas duduk di kursi ruang tamu, sementara April membersihkan luka di tangan dan wajahnya. Cila duduk di sebelah mereka, memperhatikan dengan rasa penasaran yang membuatnya terlihat semakin menggemaskan.
"Abang, kenapa bisa babak belur gini?" tanya Cila, matanya yang besar penuh kekhawatiran.
Bagas tersenyum menenangkan. "Cuma ada masalah di jalan tadi. Tapi semuanya sudah beres kok," jawabnya santai, berharap tak membuat adik April semakin cemas.
April menatap Bagas sekilas, seakan mengisyaratkan bahwa mereka nanti harus membahas kejadian ini lebih lanjut. Tapi untuk sekarang, yang penting adalah beristirahat dan memulihkan diri.
Setelah beberapa menit, luka-luka mereka selesai dibersihkan dan diobati. Bagas merasa lega, meski kelelahan masih terasa di tubuhnya. Dia melihat jam dinding yang sudah menunjukkan larut malam.
"Pril, gue balik dulu ya. Besok kita masih ada latihan sebelum pertandingan," ucap Bagas sambil bangkit berdiri.
April mengangguk. "Oke, hati-hati di jalan, Gas. Sampai besok," ujarnya, dengan nada serius namun disertai senyum tipis yang menunjukkan rasa terima kasih.
Cila melambaikan tangan. "Hati-hati, Bang Bagas," katanya dengan polos.
Bagas tersenyum, menyalakan motornya, dan melaju pelan meninggalkan rumah April. Malam itu terasa panjang, tetapi hati mereka dipenuhi semangat untuk pertandingan esok.