Bagaimana jika kamu yang seharusnya berada di ambang kematian justru terbangun di tubuh orang lain?
Hal itulah yang terjadi pada seorang gadis bernama Alisa Seraphina. Ia mengalami kecelakaan dan terbangun di tubuh gadis lain. Alisa menjalani sisa hidupnya sebagai seorang gadis bernama Renata Anelis Airlangga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caca Lavender, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9
Rena pulang dari tempat bimbel pukul 8 malam. Sebenarnya bimbel sudah selesai sejak 2 jam yang lalu, tapi ia mampir dulu ke restoran steak bersama sopir pribadinya. Uang hadiah lomba habis tak bersisa untuk membeli daging steak.
Gadis itu bersenandung kecil sambil membawa sebuah piala berukuran sedang. Siapa yang menyangka, anak yang tadinya pamit ke tempat gym, lalu pergi bimbel, malah pulang membawa piala kemenangan dari lomba menyanyi.
“Dari mana saja kamu? Baru pulang jam segini. Bimbelmu sudah selesai sejak tadi, kan?” suara berat Hendra kembali menyapa pendengarannya.
Rena menoleh ke arah keluarganya yang baru saja selesai menyantap makan malam di ruang makan. Lihatlah keluarga bahagia itu. Mereka berkumpul untuk makan malam keluarga, tanpa perlu repot-repot menunggu dirinya. Hmm, tunggu dulu, dimana Leo? Kemana kakak pertamanya itu tidak terlihat bergabung.
‘Benar-benar keluarga yang harmonis,’ cibir Rena dalam hati.
“Piala apa itu, Sayang?” tanya Yohana setelah mengetahui putrinya tidak pulang dengan tangan kosong.
Mendengar piala kebanggaannya disinggung, wajah Rena berubah menjadi semringah. Ia pun segera mendekati keluarganya sambil menunjukkan piala berwarna emas itu.
“Lihat, aku tadi menang lomba menyanyi,” seru Rena.
“Oh, jadi kamu tadi telat ke bimbel karena mampir menyanyi,” ucap Hendra yang terdengar seperti sindiran.
Senyuman Rena perlahan luntur seiring dengan kernyitan yang muncul di dahinya.
“Papa tidak bangga padaku?” tanya Rena dengan nada datar.
Rena bisa melihat dengan jelas sang mama yang menyenggol pelan lengan papanya, isyarat agar pria itu tidak mengatakan hal yang menyinggung perasaannya. Tapi justru hal itu malah membuat Rena semakin kesal.
Hendra berdeham pelan sebelum berucap singkat, “asalkan kamu tetap fokus dengan pelajaran.”
Rena terdiam kecewa mendengar ucapan papanya. Ia sudah tahu bahwa kepala keluarga Airlangga itu sangat arogan. Tapi bodohnya ia karena sempat berharap papanya itu akan bangga kepadanya.
“Eum, kamu menang lomba menyanyi? Lagu apa yang kamu nyanyikan tadi?” tanya Flo berusaha mencairkan suasana.
Kenapa tiba-tiba bersimpati? Kakak perempuannya itu pasti hanya merasa kasihan kepadanya.
“Tck! sudahlah.”
Rena langsung melenggang pergi ke kamarnya. Suasana hatinya benar-benar buruk saat ini. Bukan reaksi seperti itu yang Rena harapkan. Tidakkah mereka bangga memiliki putri yang berbakat sepertinya? Apakah ia hanya akan dihargai jika dan hanya jika ia bisa berhasil masuk fakultas kedokteran seperti yang orang tuanya inginkan?
...----------------...
Sinar matahari masuk menembus jendela kamar bungsu Airlangga. Cahaya hangat itu mengusik tidur tenang si pemilik kamar. Rena mengerjapkan matanya pelan untuk menyesuaikan cahaya, sebelum akhirnya kelopak mata itu pun terbuka.
Atmosfer kamar terasa sedikit aneh. Entah mengapa, gadis itu merasa tidak sendirian di kamar besarnya ini. Kepalanya menoleh ke kanan, dan…
“Sialan!!”
Rena terlonjak kaget melihat sosok kakak pertamanya yang sedang duduk di sofa kamarnya. Laki-laki itu juga ikut terkejut mendengar teriakan sang adik.
“Sialan? Kamu mengumpat padaku?” tanya Leo yang kurang percaya dengan pendengarannya.
Rena menelan ludah kasar, ia merutuki mulutnya yang baru saja keceplosan mengumpat.
“K-kakak sendiri sih, siapa suruh tiba-tiba muncul di situ?!” seru Rena membela diri.
Leo hanya menggelengkan kepala pelan, lalu berdiri dari duduknya.
“Cepat bersiap! Setelah ini, kita pergi ke gym,” perintah Leo, lalu hendak pergi dari sana.
“Eh, tunggu dulu,” cegah Rena membuat menoleh, “memang siapa yang mau pergi ke gym dengan kakak? Pergi sendiri sana!”
Leo menaikkan sebelah alisnya, “bukankah kamu kemarin ke gym dengan Paman Rudi? Kenapa sekarang tidak mau pergi?”
Rena berdecak sebal, “kalau sama Paman Rudy, aku mau. Kalau sama kakak, aku tidak mau pergi. Nanti aku malah kena pukul barbel,” ucap Rena dengan gerutuan di akhir.
Mendengar gumaman Rena, Leo pun mengulum senyum tipis. Terlalu tipis hingga luput dari pandangan sang adik.
“Sudahlah, cepat bersiap! Atau sopir pribadimu itu akan kuganti dengan sopir baru,” ancam Leo.
Rena menatap horor kakak laki-lakinya itu. Apa Leo saat ini sedang mengajaknya perang kekuasaan? Kalau begini, tentu saja dia akan kalah. Tanpa membantah lagi, Rena pun langsung turun dari ranjang dan berlari menuju kamar mandi.
Blam!
Gadis itu menutup pintu kamar mandi dengan panik. Leo yang melihat tingkah konyol adiknya itu pun tertawa pelan.
“Aku tidak tahu adikku bisa menggemaskan seperti ini,” kekeh Leo.
...----------------...
Tempat gym sudah bagaikan neraka untuk Rena. Apalagi yang melatihnya hari ini bukan si coach disiplin lagi, melainkan kakaknya sendiri yang berkali-kali lipat lebih kejam.
Brugh
“Huh…huh… lelah sekali,” Rena berbaring di lantai gym sambil mengatur nafasnya yang sudah seperti orang sekarat.
“Istirahat satu menit, lalu lanjut ke Latihan berikutnya,” ucap Leo sambil melihat stopwatch.
“Hah?! Satu menit?!” ucap Rena terkejut, “bisa mati aku, lima menit lah, Kak.”
“Lima puluh detik lagi.”
“Kak Leo!!! Lima menit, ya… aku benar-benar tidak kuat,” rengek Rena.
“Empat puluh detik lagi.”
“Tck! kakak sialan.”
Sudut bibir Leo tertarik ke atas mendengar umpatan kecil adiknya. Entah mengapa, melihat adiknya kesal memberikan kepuasan tersendiri untuknya. Rena yang dulu sangat pendiam, hingga ia menganggap adiknya itu membosankan. Tapi sekarang, setelah amnesia, sikap adiknya menjadi semakin menyenangkan.
Satu jam setelahnya, latihan Rena benar-benar sudah selesai. Gadis itu terdiam merasakan tubuhnya yang benar-benar terasa pegal dan panas. Ia tidak ingin repot-repot menoleh saat sang kakak duduk di sampingnya.
“Lelah?” pertanyaan singkat itu mampu membuat Rena menoleh dengan tatapan sengit.
“Apa masih perlu bertanya? Tentu saja lelah! Kakak menyiksaku seperti di neraka,” cibir Rena.
Leo tertawa pelan mendengarnya, “lalu, kamu tidak mau kembali ke gym lagi setelah ini?”
Rena menggeleng pelan, lalu menatap Leo dengan tatapan datar, “hidupku sendiri saja sudah seperti neraka. Siksaan di gym ini tidak ada apa-apanya dibandingkan siksaan di ‘istana’ papa.”
Setelah mengatakan hal itu, Rena langsung pergi menuju tempat ganti. Leo hanya bisa terdiam mendengar ucapan sang adik yang bagaimanapun juga telah berhasil mencubit hati nuraninya. Leo sadar bahwa dirinya juga ikut terlibat dalam membangun neraka yang menjadi tempat tinggal Rena selama ini.
...----------------...
Rena baru saja membersihkan diri, kini ia sedang membereskan pakaiannya di ruang ganti gym. Perhatiannya teralihkan pada suara dering ponsel miliknya.
+62xx-xxxx-xxxx is calling…
Dahi Rena mengernyit sebentar melihat nomor tak dikenal yang memanggilnya. Tapi gadis itu tetap menggeser ikon hijau, siapa tahu itu adalah panggilan penting.
“Halo?” sapa Rena.
“Oh, halo, Nona Renata. Perkenalkan, saya Andrea, talent manager dari Arial entertainment,” ucap suara dari seberang sana.
Arial entertainment?! Rena tahu apa itu Arial entertainment. Arial Entertainment adalah salah satu agensi hiburan terbesar di Indonesia. Kakak-kakaknya, Leo dan Flo, tergabung sebagai aktor dan model di agensi itu.
“Nona Renata?” panggil Andrea yang merasa tidak ada balasan dari Rena.
“Eh, iya, bagaimana?” tanya Rena.
“Saya ingin memberikan tawaran untuk bergabung dengan agensi kami,” ucap Andrea yang membuat Rena syok seketika.
“Hah?! B-bergabung dengan Arial Entertainment?! Yang benar saja?” seru Rena tidak percaya.
Terdengar kekehan pelan dari seberang telepon, “tentu saja benar, Nona Renata. Saya sudah tertarik dengan bakat nona saat melihat nona Renata bernyanyi di mall kemarin.”
Rena merasa senang sekaligus bangga karena bakatnya diakui.
“Bagaimana jika anda ternyata adalah penipu?” tanya Rena curiga.
“Hahaha…,” Rena sedikit terkejut mendengar suara tawa Andrea, “anda ternyata sangat berhati-hati, ya. Tenang saja nona, saya bukan penipu. Kalau Nona Renata tidak percaya, anda bisa datang ke gedung Arial besok.”
“Besok?” gumam Rena sedikit menimbang, “tapi saya besok ada bimbel, selesai jam 8 malam.”
Kembali terdengar kekehan gemas dari seberang, “tidak apa-apa, Nona. Saya akan mengatakan kepada satpam agar mengizinkan anda memasuki gedung setelah pukul 8 malam.”
.
.
Ternyata begini ya rasanya diinginkan karena kemampuan sendiri?— jiwa Alisa Seraphina
...----------------...