Another Life
Alisa Seraphina, seorang gadis muda berusia 18 tahun dengan kehidupan normal yang cenderung bahagia. Memiliki paras yang cantik dengan tubuh ramping dan kulit putih, turunan sang nenek yang merupakan perantau Tionghoa. Tak ayal membuat Alisa menjadi sosok yang menerima banyak cinta dari orang-orang di sekitarnya.
Ia adalah seorang mahasiswa tahun pertama di salah satu universitas terkemuka di Indonesia. Dengan otak yang cerdas, ia tidak perlu berusaha terlalu keras untuk masuk ke jurusan impiannya, yaitu jurusan teknik informatika. Tidak berhenti di situ, catatan prestasinya bertambah ketika ia berhasil mendapatkan beasiswa penuh untuk pendidikan sarjananya selama 4 tahun ke depan. Selain menjalani kehidupannya sebagai seorang mahasiswa, Alisa juga merupakan seorang penyanyi di salah satu kafe dekat kampusnya. Hitung-hitung sebagai pekerjaan patuh waktu sekaligus tempat untuk menyalurkan hobi.
Mendapatkan beasiswa dan bekerja paruh waktu, bukan berarti Alisa berasal dari keluarga yang tidak mampu. Ayah dan ibunya yang tinggal di desa bekerja sebagai guru PNS jenjang SMA. Walaupun bukan berasal dari kalangan atas, tapi keluarga Alisa tergolong berkecukupan. Apalagi ia adalah seorang anak tunggal, sudah pasti menjadi kesayangan keluarga. Setidaknya Alisa tidak pernah merasa kekurangan selama hidupnya.
Seperti malam-malam biasanya, Alisa menyanyikan beberapa lagu di kafe tempatnya bekerja. Pada hari biasa, ketika jam menunjukkan pukul 10 malam, ia akan berhenti bernyanyi dan bersiap untuk pulang. Namun, karena kafe hari ini begitu ramai dan para pengunjung terus memberikan request lagu kepadanya, ia harus terus bernyanyi hingga pukul setengah 12 malam.
“Gajimu minggu ini, sudah aku tambah dengan bonus,” ucap pemilik kafe sambil menyodorkan sebuah amplop putih sebelum Alisa keluar dari kafe.
Alisa menerima amplop itu sambil tersenyum puas, “terima kasih, Kak.”
“Kamu pulang sendiri hari ini?” tanya wanita yang ia panggil ‘Kak’ itu.
Kening gadis cantik itu mengernyit, “tentu saja. Memangnya kenapa? Biasanya aku juga pulang sendiri.”
“Bukan begitu, ini kan sudah larut malam. Kamu tahu sendiri kan, di kota besar seperti ini ada banyak bahaya kalau malam,” jawab si pemilik kafe dengan nada menunjukkan kekhawatiran.
“Justru kalau di kota akan lebih aman, karena jalanan masih ramai walaupun sudah tengah malam,” balas Alisa acuh.
Perempuan pemilik kafe itu hanya menghela napas mendengar ucapan Alisa, “ya sudah, yang penting kamu hati-hati, ya, Al.”
“Oke, Kak. Kalau begitu, aku pamit dulu, ya.”
Setelah berpamitan, Alisa segera pergi keluar dari kafe tersebut. Walaupun sikapnya terlihat acuh, tapi sebenarnya ia juga sedikit memikirkan perkataan khawatir si pemilik kafe. Hanya sedikit. Sekedar pemikiran semacam ‘apa yang mungkin terjadi padaku selama di perjalanan pulang?’
Tidak ingin semakin berpikir yang tidak-tidak, Alisa segera menaiki motor matic berwarna putih kesayangannya. Perjalanan dari kafe menuju kos tempat Alisa tinggal hanya membutuhkan waktu 20 menit. Bukan perjalanan dengan risiko tinggi, pikirnya. Lagipula sudah satu tahun ia melewati jalan itu, jadi ia merasa aman aman saja.
Sepuluh menit melajukan motor, jalanan yang dilalui Alisa memang masih ramai karena merupakan jalan utama. Namun, saat memasuki area perkampungan dekat kosnya, jalanan menjadi sangat sepi. Tidak aneh sebenarnya, mengingat ini adalah jalan kampung, tentu saja tidak seramai jalan utama, apalagi sudah tengah malam. Tapi ucapan bosnya yang sarat dengan kekhawatiran tadi membuat dirinya was-was.
“Seharusnya dia tidak mengatakan hal itu, aku jadi tidak tenang,” gumam Alisa sambil berdecak kesal.
Tidak ingin dikalahkan oleh pikiran negatifnya sendiri, gadis itu pun mulai bersenandung kecil. Mengabaikan keheningan dan kegelapan di sekitarnya yang membuat detak jantungnya mulai berpacu lebih cepat. Hanya perlu melewati dua tikungan dan satu perempatan lagi, maka bangunan kosnya akan terlihat. Alisa terus bersenandung untuk meredam rasa cemas dalam benaknya.
Suara motor lain di belakangnya membuat Alisa cukup lega. ‘Setidaknya aku memiliki kawan,’ batinnya lega. Namun, kelegaan itu hanyalah sementara. Sensor waspada di otak Alisa seketika aktif ketika motor yang tadi melaju di belakangnya, tiba-tiba bergerak cepat seolah ingin mendahului dirinya. Tapi bukannya melihat motor itu mendahului, Alisa justru mendengar suara motor itu memelan tepat di sampingnya. Belum sempat menoleh, tiba-tiba motor Alisa ditendang hingga gadis itu pun terjatuh.
“Ahk!!”
Alisa jatuh dari motornya tepat di pinggir pagar pembatas jembatan. Kepalanya sedikit terantuk di pagar beton itu, sedangkan tangan kirinya sudah menggantung di atas sungai. Beruntung tubuhnya tidak terjatuh ke dalam aliran sungai.
Mendengar suara motor lain yang berhenti, gadis itu pun berusaha bangkit sambil menahan rasa sakit di tubuhnya. Ia tidak boleh berdiam diri di sana, atau sesuatu yang buruk bisa terjadi kepadanya. Alisa hendak berlari menjauh, tapi tubuhnya membeku dan kedua bola matanya membelalak saat melihat salah satu dari dua laki-laki yang membuatnya jatuh tadi membawa sebuah pisau sambil berjalan ke arahnya.
“J-jangan…,” ucap Alisa dengan suara tertahan sambil melangkah mundur menjauhi laki-laki yang terus mendekatinya itu.
Sungguh, Alisa tidak mengerti dengan situasi ini. Apakah ia perlu dibunuh dengan cara seperti ini? Hei, bukankah ini berlebihan?
“Cepatlah! Sebelum ada yang lewat!” teriak laki-laki satunya yang masih duduk di motor.
Alisa menggeleng ribut, “jangan! Tolong jangan bunuh aku! Ambil saja motorku, tapi jangan bunuh aku! Kumohon…”
Gadis malang itu berusaha memohon demi kelangsungan hidupnya. Ia berharap laki-laki yang merupakan begal itu merasakan sedikit belas kasihan dan melepaskan dirinya. Tetapi sayang sekali, keberuntungan sedang tidak berpihak pada Alisa.
Jleb!!
Semua kata-kata yang sedari tadi ia ributkan seolah tertahan di tenggorokan, seiring dengan ujung pisau yang menghunus menembus perutnya. Dengan rasa sakit yang mulai menjalar ke seluruh tubuh, perlahan Alisa mengedarkan matanya untuk melihat wajah begal tak beradab itu. Dalam pikirannya, ia harus mengingat wajah pelaku untuk membantu polisi menangkap mereka nantinya.
Tapi sayangnya, sepertinya si begal juga cukup pintar. Laki-laki itu tahu niat Alisa yang akan melaporkan mereka jika gadis itu berhasil diselamatkan. Maka dari itu, setelah menusukkan pisau ke perut korbannya, begal itu langsung mengangkat tubuh ringan gadis itu, lalu dilemparkan begitu saja dari atas jembatan.
Alisa dilempar seperti sebuah benda yang tidak berharga.
Meskipun air sungai itu tidak terlalu dalam, tetapi kondisi Alisa yang lemas setelah tertusuk pisau membuat tubuh gadis itu tenggelam sepenuhnya di dalam air. Ia tidak punya tenaga lagi untuk bangun dan menghirup oksigen. Pasrah ketika air mulai memenuhi paru-parunya.
Apa-apaan ini? Orang biadab tadi melemparku begitu saja? Sialan! Ini sakit sekali.
Lalu… apa aku akan mati mengenaskan seperti ini? Tidak… ini tidak boleh terjadi! Aku masih ingin hidup. Ayah… ibu… bagaimana dengan mereka? Mereka akan sangat sedih kalau aku mati. Siapa yang akan menjaga mereka nanti?
Tolong… kumohon siapapun… Tuhan... tolong aku…
Tentu saja itu hanya suara isi hati Alisa. Dengan tubuh yang seluruhnya terendam air, tidak mungkin ia bisa berteriak minta tolong.
Di tengah gelapnya malam, air sungai yang jernih itu samar-samar mengalirkan warna merah pudar. Perlahan-lahan, Alisa kehilangan bagian penting untuk keberlangsungan nyawanya. Darah, nafas, kesadaran, bahkan harapan. Ketika semuanya menggelap, Alisa yakin dirinya tidak akan selamat. Benar-benar proses kematian yang menyakitkan.
...----------------...
Hai, Readers....
Kali ini author gak akan nge-ghosting lagi ya,, karena draft novel ini sudah conplete ≧∇≦
Selamat membaca...😊😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
CaH KangKung,
👣👣
2024-10-05
1
sahabat pena
part awal mengandung bawang 😭😭😭
2024-08-09
1
Marlina
baru mampir
2024-08-07
1