Gilsa tak percaya ada orang yang tulus menjalin hubungan dengannya, dan Altheo terlalu sederhana untuk mengerti kerunyaman hidup Gilsa. Meski berjalan di takdir yang sama, Gilsa dan Altheo tak bisa mengerti perasaan satu sama lain.
Sebuah benang merah menarik mereka dalam hubungan yang manis. Disaat semuanya terlanjur indah, tiba-tiba takdir bergerak kearah berlawanan, menghancurkan hubungan mereka, menguak suatu fakta di balik penderitaan keduanya.
Seandainya Gilsa tak pernah mengenal Altheo, akankah semuanya menjadi lebih baik?
Sebuah kisah klise cinta remaja SMA yang dipenuhi alur dramatis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bibilena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Tahun yang Lalu
"Hei, mau cokelat?"
Pertemanan mereka dimulai karena hal kecil semacam itu. Gilsa duduk bersisian dengan Prima ketika kelas 10, seperti bagaimana dia dan Altheo sekarang.
Mereka memiliki banyak hal yang cocok dengan satu sama lain, mulai dari selera makanan, musik, hingga hobi memotret. Setiap istirahat dan pulang sekolah mereka habiskan dengan melakukan kegiata yang berhubungan dengan itu, pergi ke cafe, time zone, atau hanya diam di perpustakaan dan menunggu sore tiba. Keributan yang sering terjadi hanyalah soal Gilsa yang mengeluh kecintaan Prima pada buku yang sudah ada ditaraf tak wajar, juga Prima yang tak menyukai bagaimana Gilsa selalu menyuruhnya berdandan.
Mereka pada dasarnya tidak memiliki hal yang harus direbutkan. Tidak pada nilai, tidak pada eksistensi, tidak juga pada pergaulan. Gilsa pintar, dan meskipun Prima tak sepintar gadis itu dia tak pernah menconteki tugas Gilsa. Sebaliknya juga, meski Prima sangat cantik sampai membuatnya mendapatkan perhatian dan pujian dari orang-orang, Gilsa tak pernah bersikap cemburu. Mereka berdua pada dasarnya sama-sama mampu belajar, sama-sama memiliki penampilan yang enak dilihat, hanya saja ditaraf yang berbeda.
Lalu masalah muncul dari hal yang tak pernah mereka pusingkan itu.
"Aku aktif main Lovestagram, kamu tahu dia?" Gilsa menunjukan ponselnya pada Prima. Terlihat profil seorang pemuda membelakangi langit malam dengan flash ponsel yang menerangi, feed di bawahnya juga memiliki image yang serupa dengan suasana foto profil itu.
"Aku tidak tahu hal seperti ini." Prima menggeleng. Dia melihat wajah temannya itu sembari membenarkan letak kacamata.
"Kenapa?"
Gilsa menggeleng. "Aku juga tak tahu, dia terus mengajak berkenalan dan mengaku murid di sekolah ini. Apa dia penipu?"
"Kamu blokir saja, bukannya bisa?"
"Aku mau, tapi dia berteman dengan anak-anak dari sekolah ini."
"Memangnya itu masalah?"
Gilsa mengangguk dan mentertawakan pertanyaan itu. Kemudian tangannya mengusak pucuk kepala Prima dengan gemas.
"Kalau beneran dia murid di sini kan aku bisa terkena masalah, bodoh."
Prima menatap dengan wajah polos. "Kau memusingkan hal yang tak perlu."
Tentu saja, pada dasarnya tak ada yang ingin dibenci orang lain. Gilsa juga demikian dahulu, seperti kebanyakan murid dia ingin berteman dengan siapa saja dan memiliki banyak kenangan indah. Di sosial media gadis itu memiliki banyak pengikut dan kebanyakan adalah teman-teman sekolahnya. Koneksi dia mencapai seluruh kalangan hingga guru-guru, dan itu tanpa melibatkan Ayahnya. Gilsa cukup eksis bermain ponsel.
Namun dua hari kemudian, sosok yang biasanya Gilsa lihat dari ponsel mendatangi kelasnya bersama dua orang yang mengikuti. Dia tampak persis dengan yang ada di Lovestagram.
"Aku Morgan, sudah aku bilang kan aku benar-benar sekolah di sini," katanya. Gilsa tak tahu harus apa dengan kedatangan mendadak itu. Dia mengangguk dan dengan canggung menegakan tubuh, menatap bingung Prima, lalu menyodorkan tangannya.
"Gilsa." Dia memperkenalkan diri, dan Morgan meraih tangan itu.
"Tuh kan kita sudah saling mengenal, bagaimana kalau kita berteman? Aku selalu tertarik untuk mengajakmu bermain."
Gilsa mencoba melepaskan lengannya dari genggaman itu, tapi sepertinya Morgan sengaja menahan dia. Dalam posisi yang bingung dia berdehem pelan.
"Kak, kakak kelas 11 ya? Maaf tapi kita masih belum beradaptasi di sekolah." Prima berdiri dan membantunya melepaskan tangan itu. Tiba-tiba dua teman di belakang Morgan mendekati mereka berdua. Hal yang membuat takut adalah ketiganya adalah murid laki-laki, dan di kelas, tak ada murid yang mau memerhatikan mereka.
"Kalian temenan?" tanya salah satu dari dua orang itu pada Prima. Gilsa juga ikut berdiri melihatnya. Akhirnya karena itu Morgan melepaskan genggaman di tangan Gilsa.
"Kita belum kenalan kan?" Pria itu menatap Gilsa setelahnya. Menyodorkan tangan dengan senyum yang ramah.
"Aku Kevin, temen Morgan," katanya. Gilsa menjabat tangan itu, tapi bahkan sebelum sempat dia mengenalkan diri Kevin sudah menarik tangannya. Beralih pada Prima yang berhadapan dengannya.
"Kalau yang ini siapa?" katanya. Seperti apa yang Gilsa lakukan, Prima juga menjadi bingung, menatap temannya di samping lalu meraih ajakan berkenalan itu.
"Prima," ujarnya. Kevin tersenyum, entah mendengarkan atau tidak tapi dia melihat wajah Prima seolah masih menunggu jawaban, dengan masih sibuk menggenggam tangan Prima. Bahkan lebih parah dari yang Gilsa alami, punggung tangannya dielus berulang kali.
"Ini Gerald." Untungnya pria itu melepaskan sendiri tanpa menunggu dihentikan seperti Morgan. Dia menunjuk satu pria lagi yang hanya diam sedari tadi, orang itu tersenyum pada keduanya.
"Iya."
Keduanya sama-sama mencicit saat menjawab.
"Inget ya kita udah kenalan, jangan lupa, sok akrab aja kalau ketemu."
Firasat tak baik hari itu, seharusnya memang mereka berdua acuhkan saja dari awal.
Setiap pulang sekolah, Morgan selalu menunggunya di parkiran dan menawarkan tumpangan. Namun untungnya Gilsa masih diantar jemput Pak Birka saat kelas 10 sehingga dia mudah menghindari rayuannya. Ada beberapa kesempatan Gilsa tak bisa menolak dan pada akhirnya diantar pemuda itu, dan perjalanan pulangnya menjadi hal yang membuat risih. Namun itu hanya sebatas itu, Gilsa tak pernah mau berhubungan lebih lanjut dengan Morgan apalagi jika diluar sekolah.
Hanya saja, satu hal yang memicu semua ini, Prima diganggu dengan cara berbeda oleh Kevin.
Setiap istirahat selalu ada makanan ringan yang diantarkan sembarang orang ke meja Prima, jika dia san membaca buku di perpustakaan. Tak ada pesan pengirim ataupun kata terucap dari mereka, tapi ketika dia melihat sekeliling akan selalu ada Kevin di sekitarnya. Menatap Prima sambil tersenyum. Kadang itu permen, minuman manis, atau susu kotak. Prima tak pernah memakannya sendirian, dia selalu membawanya ke kelas dan membaginya dengan Gilsa.
Tak lama darinya pada satu waktu Kevin mulai bertindak lebih, dia merasa berani, pemuda itu mulai sering menyapa Prima, atau mengajak mengobrol gadis itu saat di dalam perpustakaan. Berbagi obrolan soal buku dan hal-hal yang Prima sukai. Dia terhitung baik dan tulus seolah tujuannya hanya untuk berteman, sehingga Prima tak merasa harus menjaga jarak darinya.
"Apa kau selalu memakai kacamata dimana pun?" Kevin tanpa permisi menarik kacamata Prima hingga gadis itu tersentak dari fokusnya membaca buku. Itu pertemuan dan obrolan mereka yang ke sekian, dan menarik kacamata ini adalah hal yang pertama kalinya terjadi sehingga Prima menjadi bingung daripada kesal.
"A-apa?" Prima berkernyit, mata bulatnya menatap terus Kevin untuk meminta penjelasan. Alih-alih merasa bersalah pemuda itu malah tertawa, duduk di kursi seberang Prima dan memakaikan kembali kacamata itu di wajah Gilsa.
"Kau lebih cantik tanpa kacamata," katanya. Itu bukan pertama kali seseorang mengucapkannya pada Prima sehingga reaksi gadis itu hanya diam, kemudian membaca kembali bukunya.
Kembali, gerakan tiba-tiba yang biasanya tak terjadi dilakukan Kevin. Dia menyampirkan rambut Prima yang jatuh ke belakang telinga. Gadis itu kembali menatapnya, dan mereka saling tatap dalam diam. Prima selalu menguncir rambut, selain dari poninya dia selalu merapihkan rambut sehingga tak perlu seseorang mengusapnya seperti itu.
"Kamu kenapa sih hari ini?" tanya Prima. Menjauhkan tangan itu dari dekat wajahnya. Wajah Prima tampak serius.
Sepertinya itu awal dari mereka tahu siapa itu Kevin.
"Kamu tahu semua ini tak akan pernah terjadi jika kamu tidak pernah mengenal Morgan!"
Pada akhirnya itu membawa mereka pada pemutusan hubungan yang menyakitkan.
•••
Gilsa kembali ke kelas setelah bel berbunyi, selepas dari kelas Morgan dia terus bersembunyi di toilet. Perutnya mual dan jujur saja rasa merinding menghampiri punggungnya hingga ke tengkuk leher. Gadis itu sudah hampir mempercayai hidupnya akan baik-baik saja sampai lulus. Ketika dia masuk kelas dan melihat sosok Prima melamun ke arah papan tulis, pijakan kakinya serasa tak menyentuh lantai.
Jika apa yang terjadi dulu terulang lagi, orang yang paling berada dalam bahaya sebelum dirinya adalah gadis itu.
Di sisi lain Altheo menangkap wajah Gilsa yang pucat saat gadis itu duduk dan menjatuhkan diri di atas meja. Segera dia menggeser kursi dan menepuk bahunya, mengkhawatirkan wajah yang muram itu.
"Kau baik-baik saja?"
Sebetulnya beberapa saat lalu telah beredar kabar soal menghilangnya gadis ini. Hampir seperti ada adegan berkelahi yang parah, seluruh sekolah hanya membicarakan Gilsa yang melabrak kakak kelasnya lalu pergi entah kemana. Lalu selain itu ada pembicaraan juga soal kejadian 2 tahun yang lalu.
"Katanya, dia melaporkan Kak Kevin ke BK sampai diskorsing dulu, sekarang apa lagi?"
"Sepertinya masalah nilai lagi, kalian ingat kan alasan Gilsa heboh dulu karena nilainya di salip Prima?"
"Oh iya, Kak Kevin juga melaporkan balik Gilsa atas perbuatan curang kalau mereka membawa kasusnya ke polisi."
Desas-desus itu terus bermunculan layaknya berita hangat di sosial media.
Gilsa tak kunjung juga menjawab pertanyaan Altheo. Bahkan meski beberapa kali pemuda itu menepuknya, Gilsa masih diam menutup wajah di balik lipatan tangan. Pada satu waktu tiba-tiba gadis itu berdiri, kursi dan mejanya berdecit kasar hingga terdengar ke seluruh kelas.
"Bisakah kau berhenti mengangguku?" Dengan suara yang rendah dan datar Gilsa menatap Altheo. Banyak murid melihat mereka, tapi tak tahu apa yang terjadi diantara keduanya. Bisik-bisik terdengar, ini seperti bensin dari api masalah saat istirahat.
"Aku hanya khawatir, apa kau terluka? Aku akan diam jika kau memberitahuku sesuatu."
"Untuk apa? Kenapa ikut campur sekali urusan orang lain?"
Altheo terdiam. Suasana saat ini berbeda dari biasanya. Dia tahu Gilsa sangat kasar dan seenaknya, tapi itu bukan sosok yang mudah marah dan dingin seperti ini.
"Kau sedang ada masalah?" Altheo menarik Gilsa, dia mencoba mengajak gadis itu duduk dengan tenang dan membicarakan masalahnya. Namun yang didapat adalah hentakan kuat hingga kursi dan meja berdecit lagi.
"Jangan ganggu aku."
"Tapi--"
"Berhenti mengangguku, apa kau paham bahasa manusia?!"
Kehebohan sontak terjadi saat Gilsa mendorong Altheo yang sedang duduk sampai jatuh ke atas lantai. Para murid langsung berdiri, ada yang berteriak, dan tak sedikit juga yang segera pergi ke meja belakang. Mereka membantu Altheo bangun, dan sisanya mendorong Gilsa menjauh.
"Apa-apaan kau? Melampiaskan kekesalanmu pada orang tak bersalah?"
"Dia yang duluan mengangguku!" Gilsa menunjuk Altheo dan beberapa tangan menahannya untuk pergi lebih jauh.
"Sudah, apa kau tak malu?!" Kedua lengan gadis itu dicekal ke belakang. Gilsa mendecak, mencoba melepaskan tapi terlalu banyak tangan yang menahannya.
"Pergi, aku tidak akan seperti ini kalau kalian tak mengangguku."
"Kau seperti anjing gila, apa kau akan menggigit semua orang seperti ini?"
"Iya!" Gilsa menatap Tiara yang berkata demikian. Dia tertegun saat melihat sosok di belakang gadis itu, Clarissa ada di sana dan melihatnya dengan wajah khawatir.
Gilsa menatap lebih bengis. "Aku tidak suka siapapun mencampuri urusanku. Apa kalian tidak bisa hanya fokus pada hidup masing-masing saja?!"
"Tapi bukankah kita teman sekelas?" Altheo membantah itu bahkan tanpa berpikir, dan Gilsa sama sekali tak mau menatapnya.
"Siapa kau berpikir bisa khawatir padaku?"
Semua orang menjadi diam. Sekarang ini adalah masalah personal karena Altheo dan Gilsa mulai berbicara pada satu sama lain lagi.
"Bukankah kita berteman?"
Gilsa tertawa. "Kau pikir aku mau berteman dengan orang sepertimu?"
Pada saat ini Altheo baru menyadari keras kepala Gilsa sudah memenangkan ego gadis itu.