Bagaimana perasaanmu jika jadi aku? Menjadi istri pegawai kantoran di sudut kota kecil, dengan penghasilan yang lumayan, namun kamu hanya di beri uang lima puluh ribu untuk satu minggu. Dengan kebutuhan dapur yang serba mahal dan tiga orang anak yang masih kecil.
Itulah yang aku jalani kini. Aku tak pernah protes apalagi meminta hal lebih dari suamiku. Aku menerima keadaan ini dengan hati yang lapang. Namun, semua berubah ketika aku menemukan sebuah benda yang entah milik siapa, tapi benda itu terdapat di tas kerja suamiku.
Benda itulah yang membuat hubungan rumah tangga kami tak sehat seperti dulu.
Mampukah aku bertahan dengan suamiku ketika keretakan di rumah tangga kami mulai nampak nyata?
Jika aku pergi, bisakah aku menghidupi ke tiga anakku?
Ikuti perjalanan rumah tangga ku di sini. .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Karma Kecil Ibu Mertua
Hari terus berlalu, aku sama sekali tak menyinggung persoalan mas Anang dengan seorang wanita dan anak. Aku percaya, suatu saat nanti Allah akan menunjukkan satu persatu kelakuan suamiku tanpa aku cari tahu. Fokus ku kini hanya pada anak dan uang. Aku harus memperbanyak uangku untuk pergi jauh dari sini. Dan sepertinya rencanaku ini benar-benar di restui oleh sang Pencipta, usahaku sangat-sangat lancar dan pundi-pundi rupiah selalu mengalir ke rekening ku. Entah itu hadiah dari Risa atau pembeli.
Ya, Risa akan memberikan hadiah setiap pada semua membernya jika berhasil menjual produk hingga dua juta ke atas. Aku salah satu member yang sering mendapatkan hadiah itu. Sebenarnya hadiah dari Risa bukanlah uang, tapi berupa barang branded yang dia jual. Tapi, aku bernegosiasi dengan Risa jika barang itu aku uang kan saja. Aku berkata jujur pada Risa, bahwa aku lebih butuh uang dari pada barang branded nya. Syukurlah Risa mengerti itu, Risa memang orang yang super baik. Dia selalu ada dan bersedia membantu ku jika aku butuh bantuan. Aku merasakan beruntung mengenalnya.
"Bu, bajunya bagus. Makasih ya," kata Alif senang dengan baju baru yang aku berikan.
"MasyaAllah ganteng sekali anak ibu," jawabku yang tak kalah senang.
"Dapat uang dari mana buat beli baju?" sahut mas Anang keluar dari kamar.
"Alif main sama adik Agil ya, ibu mau beres-beres rumah." Aku tak menghiraukan pertanyaan mas Anang. Sebenarnya aku sudah muak tinggal satu atap dengannya. Sungguh hatiku sudah hancur karena pria yang sangat aku cintai ini. Tapi ini bukan salahnya sepenuhnya, ada salahku juga, karena memberi kepercayaan yang tak terbatas padanya.
"Dari jualan sois, aku bisa beli baju buat ketiga anak ku dengan usahaku sendiri." Aku pergi ke belakang setelah mengatakan itu.
"Jangan bohong ayu, memang jualan kamu itu untung berapa sih sampai bisa beli baju begitu, aku tahu harga baju itu nggak murah. Jujur kamu! Kamu mulai main sama laki-laki di luaran sana?"
"Kamu tahu dari mana kalau baju itu nggak murah? Pernah kamu beli baju buat anak-anak? Nggak kan? Atau mungkin pernah beli baju, tapi buat anak kamu yang lain." Wajah mas Anang tiba-tiba saja memucat, pasti dia bingung sekaligus gugup saat ini.
"Makin lama bicara sama kamu makin ngelantur kemana-mana." Merasa tak bisa menjawab ucapan ku, dia melipir pergi begitu saja.
*
Selepas pulang sekolah Alif, aku mengajak anak-anaknya untuk pergi makan di restoran yang sedikit jauh dari rumah. Alif yang paling mengerti mengenai kondisi keuangan kedua orang tuanya nampak bingung akhir-akhir ini.
"Ibu, kenapa kita jadi sering jalan-jalan dan beli jajan? Ayah udah punya uang banyak ya bu, apa ibu yang punya uang banyak?" tanya Alif dengan polosnya.
"Alhamdulillah, ada rezeki buat kalian bertiga. Jadi, ibu harus membuat anak-anak ibu bahagia. Uang ibu belum banyak, tapi cukup untuk buat kalian senang."
"Kenapa kita perginya selalu berempat? Kenapa nggak nunggu ayah pas libur kerja?"
"Emmmmm, ayah kan nggak suka jalan-jalan. Nanti coba deh, ibu ngajak ayah buat jalan-jalan di hari minggu. Kalau mau, nanti kita jalan-jalan berlima. Sekarang, kita jalan berempat dulu ya."
Tak berselang lama, taksi online pesanan ku sudah datang. Sengaja aku tak membawa kendaraan sendiri, aku takut jika anak-anak akan lelah duduk di motor. Nampak Alif yang terkejut dengan berhentinya mobil di depan rumah kami, sementara Agil sangat heboh memberitahu kakaknya bahwa ada mobil yang terparkir di pinggir jalan dekat rumah meraka, sedangkan Anin hanya melongo saja.
"Ayo kita berangkat," ajakku menggandeng Alif dan Agil, sementara Anin ada dalam gendongan ku.
"Kok jalan bu, nggak naik motor?"
"Kita naik itu sayang, itu ibu yang pesan." Aku menunjuk mobil hitam yang tak jauh dari kami.
"Kita naik mobil?" tanya Alif sekali lagi namun dengan wajah berbinar.
Aku hanya mengangguk senang. Namun sialnya, ketika aku hampir saja sampai di dekat taksi online, tiba-tiba saja ibu datang dengan raut wajah seperti biasa, penuh kebencian.
"Mau kemana kamu?" tanyanya ketus.
"Jalan-jalan," jawabku singkat.
"Oh, punya simpanan kamu rupanya. Kamu cari laki-laki yang lebih kaya dari anak saya? Dasar menantu tidak tahu diri, kurang ajar dan mata duitan."
Aku hanya menghembuskan nafas kasar, aku sudah sangat bosan dengan cacian yang beliau lontarkan. Tidak ada kata yang lain kah? Batinku malas.
Merasa tak aku anggap ocehan beliau, wanita itu bergegas memutar badan dan berjalan menuju mobil sejak tadi diam di sana. Mengetuk jendela mobil dengan kasar dan berteriak. Aku hanya diam saja, aku mengira kalau wanita ini sepertinya salah paham dan berpikiran kalau pemilik mobil itu adalah selingkuhan ku.
"Hey, buka. Buka kacanya!" teriak ibu dengan emosi.
Kaca mobil terbuka. Beliau langsung saja menyemprot supir itu dengan kata-kata kasar.
"Heh! Kamu mau cari istri harusnya buka mata, tuh lihat! Wanita kucel dengan tiga anak begitu kamu jadiin pacar. Cari yang gadis sana! Kamu masih muda dan ganteng, masak punya pacar kucel dan nggak bisa urus diri sendiri. Urus suami aja nggak bisa dia, tuh lihat penampilannya." Ibu terus menghinaku di depan supir taksi online yang memang punya wajah rupawan. Sungguh aku malu dibuatnya. Bahkan ada beberapa tetangga yang sedang melintas sampai memperlambat jalannya karena suara ibu. Jujur saja aku ingin menangis di tempat, tapi logika ku menolak melakukan itu. Jika aku melakukannya, ibu akan merasa senang karena sudah berhasil membuatku dipermalukan.
Anak sulung ku menggengam tanganku dengan erat seakan memberikan kekuatan. Anak ku yang satu ini memang sudah dewasa sebelum waktunya. Aku menunduk dan melempar senyum padanya, seakan aku menunjukkan bahwa aku baik-baik saja.
"Ibu sudah ngomelnya? Maaf sebelumnya ya bu, saya bukan siapa-siapanya mbak nya. Orang saya supir taksi online, masa saya harus pilih-pilih penumpang, biar kucel kalau bisa bayar taksi saya ya saya bakal tetap antar. Lagian ibu siapa, ngasih ceramah ke saya harus cari istri yang bagaimana? Ibu kalau benci menantu jangan diperlihatkan ke umum, nanti kalau keadaan berbanding terbalik, ibu yang malu." Aku sedikit terkejut dengan jawaban supir itu, sangat berani dan menyampaikan jawaban dengan halus namun menyakitkan. "Mbak, ayo naik," imbuhnya dengan senyum yang terlihat manis.
Aku lalu mengangguk dan berjalan kembali dengan melihat ekspresi ibu yang sangat malu. Astaga, berdosa kah jika aku tertawa di depan wajahnya?
"Adik yang ganteng, duduk di depan yuk sama om."
Dengan senang hati Alif berlari menuju pintu penumpang di sebelah supir. Aku sangat jarang melihat Alif sebahagia ini. Untunglah aku mendapatkan supir yang baik, ramah dan berani, jika tidak mungkin saja dia sudah ketakutan dengan omelan ibu tadi.
Supir itu menatap spion bagian dalam sebentar dan berucap, "Sesuai aplikasi ya mbak?"
"Iya pak."
ceritanya sperti di dunianya nyata.