Sabrina Alexandra, gadis bar-bar yang frontal dan minus akhlak, hidupnya mendadak jungkir balik. Pulang ke kampung halaman, tiba-tiba saja ia di nikahkan paksa oleh bapaknya, Abiyan Fauwaz, dengan seorang lelaki yang lebih tua 9 tahun darinya. Siapa lelaki itu? Gus Sulaiman Faisal Zahid-seorang ustaz dengan aura santun, tampilan alim, dan bahasa serba syariah. Masalahnya? Sabrina yang biasa bebas, santai, dan dikejar banyak pria, dipaksa menikah dengan lelaki yang mengatakan, "Saya melamar putri bapak, karena beliau sudah saya sentuh." WHAT?! Seorang Sabrina yang bahenol dan penuh pesona malah jadi rebutan ustadz tak dikenal?! "Bapak, apa-apaan sih? Aku gak kenal dia!" protes Sabrina sambil menjambak rambut sendiri. Tapi, bapaknya tak peduli. Demi menyelamatkan anaknya dari kehidupan yang sudah miring 180 derajat, Abiyan tetap bersikeras. Tapi Abiyan tak peduli. Dengan santai, ia menjawab, "Kalau kalian gak saling kenal, ngapain nak Aiman jauh-jauh buat lamar kamu? Pokoknya bapak tetap pada pendirian! Kamu harus menikah dengan dia!" "Bapak egois banget!!!" protes Sabrina. "Ini demi kebaikan kamu, agar gak terlalu tersesat ke jalan yang salah," jawab Abiyan tegas. Sabrina merasa dunia tak lagi adil. Tapi apa yang terjadi saat dua orang dengan dunia yang bertolak belakang ini dipaksa bersanding? Akankah Sabrina yang bar-bar ini berubah, atau justru Gus Sulaiman yang pusing tujuh keliling menghadapi Sabrina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29
Saat mereka akhirnya masuk ke dalam rumah, suasana terasa begitu tenang dan hangat. Ruangan pertama yang mereka masuki adalah ruang tamu, dengan sofa-sofa empuk berwarna netral yang tertata rapi di sekeliling. Meja kayu besar di tengahnya dihiasi dengan beberapa vas bunga segar. Di sisi dinding, tampak beberapa foto keluarga terpajang dengan bingkai yang elegan.
Sabrina berhenti sejenak, menatap sekeliling dengan penuh keheranan. Udara di dalam rumah terasa jauh lebih hangat daripada yang ia bayangkan. Semua terasa rapi, bersih, dan terorganisir dengan baik. Tidak ada kesan menakutkan atau intimidasi yang ia kira sebelumnya.
Aiman berdiri di sampingnya, membimbing dengan lembut. "Bina, ini keluargaku. Mereka bukan orang yang akan menilai hanya dari penampilan. Mereka lebih melihat dari hati, dan bagaimana kamu memperlakukan orang-orang di sekitar kamu."
Di tengah ruang tamu, seorang wanita paruh baya dengan senyum hangat menghampiri. Wanita itu mengenakan pakaian sederhana namun tampak anggun, rambutnya tertata rapi. Wajahnya penuh kelembutan, tetapi ada rasa percaya diri yang kuat terpancar dari matanya.
Anggota keluarga yang sudah menunggu langsung memperhatikan kedatangan mereka dengan senyuman penuh perhatian.
Ya Allah, cantiknya mantu Ummi! Masya Allah," kata Ummi sambil menatap Sabrina dengan penuh kasih sayang, kedua tangan ummi terulur untuk merangkul Sabrina. "Amanat dari Allah, ya, Aiman mendapatkan gadis yang indah seperti ini."
Sabrina terkejut, matanya bertemu dengan pandangan penuh cinta dari Ummi. Ia mencoba tersenyum meski gugup. "Terima kasih, Ummi," jawabnya pelan.
Sementara itu, dari sudut lain, seorang pria yang terlihat lebih tua dari Aiman dengan wajah ramah dan hangat, menyela dengan tawa renyah. "Memang dek Aiman matanya jeli banget kalau soal yang bening beginian," celetuknya sambil tersenyum.
Ummi kemudian menatap Aiman yang berdiri di samping Sabrina dengan senyuman lembut. "Kami semua sudah menunggu kedatanganmu, Nak. Aiman sudah cerita banyak tentangmu."
Tidak lama kemudian, datang seorang pria tampan dengan tatapan ramah. Pria itu adalah Hafiz, kakak tertua Aiman. Wajahnya sedikit mirip dengan Aiman, tetapi dengan aura yang lebih dewasa. Hafiz menatap Sabrina dari ujung rambut hingga ujung kaki, dengan senyum jenaka di wajahnya.
" Kenalin, ini Hafiz, anak pertama Ummi," kata Ummi sambil menunjuk Hafiz.
Hafiz tersenyum ramah, "Assalamualaikum, Sabrina. Saya Hafiz, kakak sulung Aiman."
Sabrina membalas dengan anggukan kecil. "Waalaikumsalam, Kak Hafiz. Senang bertemu."
Hafiz terkekeh kecil, "Cantik juga istri Aiman, ya. Memang adik bungsu ini matanya jeli banget kalau soal yang begini."
Sabrina tersipu mendengar celetukan itu, sementara Aiman menatap kakaknya dengan tatapan tidak enak. "Kak Hafiz, jangan bikin dia tambah gugup," ujarnya.
Tak lama, seorang pria lain datang. Wajahnya sedikit lebih lembut, tapi tatapannya penuh rasa ingin tahu. "Kenalin, ini Amar, anak kedua Ummi," kata Ummi memperkenalkan.
Amar mengulurkan tangan, "Assalamualaikum, Sabrina. Saya Amar, kakak tengah Aiman. Selamat datang di keluarga ini."
"Waalaikumsalam, Kak Amar. Terima kasih," jawab Sabrina.
Kemudian, Ummi melanjutkan, "Dan ini kedua menantu Ummi. Fatimah, istrinya Hafiz, sudah punya empat anak. Dan ini Rina, istrinya Amar, punya dua anak."
Fatimah dan Rina tersenyum hangat, lalu bergantian menyalami Sabrina. "Assalamualaikum, Sabrina. Selamat datang di keluarga besar ini," kata Fatimah, yang terlihat tegas tapi ramah.
"Waalaikumsalam," jawab Sabrina, sedikit gugup tapi tetap ramah.
Terakhir, seorang pria paruh baya dengan wajah teduh menghampiri mereka. Ummi langsung mengenalkannya. "Ini Abi kamu, mertua kamu. Namanya Miftah. Dan saya, Khadijah, ibu mertuamu."
Abi Miftah tersenyum lebar. "Titip salam buat besan, ya, Aiman. Alhamdulillah, akhirnya anak Abi yang satu ini menikah juga," katanya, lalu menatap Sabrina. "Selamat datang di keluarga ini, Nak Sabrina."
Sabrina tersenyum gugup, menundukkan kepala sedikit. "I-iyah, s-saya Sabrina Alexandra. Salam kenal, semuanya."
"Bagus, bagus. Keluarga ini makin ramai. Aiman, kamu hebat juga ya, langsung nikah tanpa banyak cerita," celetuk Amar, membuat yang lain tertawa kecil.
Sabrina hanya tersipu malu sambil menggenggam tangan Aiman, sementara suaminya itu berusaha menjaga wajah tetap tenang.
Sabrina menatap sekitar dengan perasaan campur aduk—antara gugup, lega, dan bingung dengan kehangatan keluarga besar yang menyambutnya. Ia tidak pernah membayangkan akan berada di tengah-tengah keluarga seperti ini, yang tampak begitu harmonis dan penuh canda.
"Baiklah, ayo kita duduk dulu di ruang tamu," kata Ummi sambil menggandeng tangan Sabrina. "Kamu pasti capek setelah perjalanan panjang."
Sabrina mengikuti langkah Ummi dengan patuh. Aiman berjalan di belakang mereka, sesekali menoleh ke arah Abi dan kedua kakaknya, seolah meminta mereka untuk tidak terlalu banyak menggoda Sabrina.
Setelah mereka duduk di ruang tamu yang luas dengan dekorasi sederhana namun elegan, Fatimah datang membawa minuman. "Ini teh hangat, Sabrina. Buat ngilangin capek di jalan," katanya ramah sambil meletakkan gelas di hadapan Sabrina.
"Terima kasih, Kak Fatimah," jawab Sabrina sambil tersenyum tipis.
"Jadi, Sabrina," Amar mulai membuka percakapan sambil duduk di sebelah Hafiz, "gimana ceritanya bisa ketemu sama Aiman? Kok tiba-tiba menikah? Biasanya adik kami ini paling susah didekati perempuan."
Sabrina menatap Aiman dengan gugup, tidak tahu harus menjawab apa. Aiman yang menyadari hal itu langsung mengambil alih. "Dek Amar, nggak perlu bahas itu sekarang. Biarkan Sabrina istirahat dulu. Perjalanannya panjang."
"Tapi kan penasaran, Man," sela Hafiz sambil tertawa kecil. "Gimana caranya kamu bisa ngeluluhin hati perempuan ini? Jelas-jelas kamu nggak punya pengalaman soal cinta-cintaan."
"Ummi juga penasaran, loh," tambah Ummi sambil tersenyum menggoda. "Ayo ceritain sedikit aja, Nak Aiman. Gimana caranya kamu bisa bawa Sabrina ke sini?"
Sabrina tertawa kecil, mencoba mengurangi rasa tegangnya. "Sebenernya, Om Amar, Kak Hafiz, Ummi, nggak ada yang terlalu istimewa. Kami ketemu secara nggak sengaja, terus... ya... lama-lama jadi cocok. Aiman juga orangnya jujur, jadi ya... saya pikir, kenapa nggak?"
Hafiz mengangguk-angguk, berpura-pura serius. "Ah, cocok katanya. Keren juga kamu, Man. Bukan cuma dakwah, sekarang kamu bisa dakwah sambil bawa istri. Paket lengkap."
Aiman hanya menggeleng pelan, menahan tawa. "Sudah, sudah. Nanti cerita lengkapnya lain waktu."
Abi yang sejak tadi mendengarkan dengan tenang akhirnya angkat bicara. "Sudah cukup ganggu mereka. Mereka baru datang, biarkan Sabrina dan Aiman istirahat dulu. Kalian masih punya banyak waktu untuk ngobrol nanti."
"Aiman, bawa istrimu ke kamar. Nanti pas jam makan siang kalian turun, ya. Kita makan bareng-bareng. Istirahat saja dulu," kata Ummi Khadijah lembut sambil tersenyum, memperhatikan Sabrina yang tampak kikuk berdiri di samping Aiman.
"Iya, Ummi. Ayo." Aiman menoleh ke Sabrina, memberi isyarat agar mengikutinya.
Sabrina tersenyum canggung, lalu sedikit membungkuk sopan. "Bina ke kamar dulu, Ummi, Abi, semuanya. Permisi."
"Iya, nggak apa-apa, Nak. Kamu nggak perlu sungkan gitu. Santai aja di sini," sahut Ummi, mencoba membuat Sabrina lebih nyaman.
Namun, suasana kembali cair ketika Amar, kakak kedua Aiman, menyelipkan celetukannya. "Jangan jaim-jaim, Bin. Keluarkan aja sikap aslimu di sini. Rumah ini nggak seserius yang kamu bayangin kok. Anak-anaknya malah kadang mirip anak utan."
Sabrina yang masih berusaha menenangkan diri spontan tertawa kecil mendengar komentar Amar. "Hahaha... anak utan?"
"Ck, kamu ini!" potong Rina, istrinya Amar, sambil menggeleng malas. "Itu sih lebih menggambarkan kamu sama anak-anak, bukan yang lain."
"Tapi kan betul, Dek," Amar nyengir lebar, membuat Sabrina makin tergelak.
"Sudah, cukup bikin istri Aiman takut," Hafiz, kakak pertama Aiman, ikut menimpali sambil tertawa. "Sabrina jadi mikir, ini keluarga beneran apa kebun binatang."
"Udah, udah." Aiman akhirnya angkat bicara, menatap Amar dan Hafiz dengan sedikit jengkel bercampur geli. "Nanti Sabrina trauma lihat kalian."
"Ah, kami bercanda aja, Man. Santai." Amar mengangkat bahunya santai, lalu kembali bersandar di sofa.
"Bina, ayo istirahat dulu," ajak Aiman sambil menatap Sabrina, yang masih mencoba menahan senyumnya.
"Iya." Sabrina kembali melangkah mengikuti Aiman, meninggalkan ruang tamu di mana keluarganya masih asyik bercanda dan mengobrol.