Agnes tak pernah menyangka, sebuah foto yang disalahartikan memaksanya menikah dengan Fajar—dosen pembimbing terkenal galak dan tak kenal kompromi. Pernikahan dadakan itu menjadi mimpi buruk bagi Agnes yang masih muda dan tak siap menghadapi label "ibu rumah tangga."
Berbekal rasa takut dan ketidaksukaan, Agnes sengaja mencari masalah demi mendengar kata "talak" dari suaminya. Namun, rencananya tak berjalan mulus. Fajar, yang ia kira akan keras, justru perlahan menunjukkan sisi lembut dan penuh perhatian.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Apakah cinta bisa tumbuh di tengah pernikahan yang diawali paksaan? Temukan jawabannya di cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Detik terasa berhenti. Agnes terpaku, matanya membelalak melihat Fajar yang berada tepat di atasnya. Nafasnya tercekat, sementara jantungnya berdegup kencang, nyaris tidak terkontrol. Situasi ini benar-benar di luar dugaannya, sesuatu yang bahkan tidak pernah ia pikirkan bisa terjadi.
Fajar juga terlihat terkejut, tapi ia lebih cepat menenangkan dirinya. Tatapannya berubah—bingung, lalu menjadi lebih lembut, meski masih menyiratkan ketegasan. Bibirnya sedikit terbuka, seperti ingin bicara, tapi Agnes buru-buru mendorong dadanya, mencoba mengusir jarak di antara mereka.
"Ya ampun, Bapak!" Agnes berseru, suaranya lebih tinggi dari biasanya. "Ngambil kesempatan dalam kesempitan banget, sih!"
Fajar mengangkat alis. "Kesempatan apa? Kamu yang narik aku," balasnya santai, meski nada bingung masih terdengar di suaranya.
Agnes membelalakkan mata, menatapnya penuh rasa tak percaya. "Bapak tahu nggak, itu ciuman pertamaku?" ucapnya setengah berteriak, wajahnya memerah antara malu dan kesal.
Fajar menatapnya beberapa detik, lalu menjawab dengan tenang, "Iya, tahu."
Agnes langsung bangkit. "Hah? Tau dari mana?" Suaranya penuh curiga, seperti menuntut jawaban.
"Ya, barusan kamu kasih tahu," jawab Fajar sambil mengangkat bahu, ekspresinya tetap datar tanpa dosa.
"Fajar Alaska!" Agnes mendengus kesal, memanggil nama lengkapnya seperti sedang memarahi anak kecil. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan luapan emosi yang sudah di ujung kepala.
Fajar hanya menatapnya, bingung. Apa yang salah? Ia merasa jawaban tadi sudah cukup logis. Tapi daripada memperpanjang situasi, ia akhirnya memutar tubuhnya sambil berkata, "Aku ada yang harus diurus. Kamu istirahat dulu, ya."
Tanpa menunggu balasan, ia melangkah keluar kamar.
Agnes menatap pintu yang kini tertutup, lalu membanting tubuhnya ke ranjang. Tangannya menutupi wajahnya yang masih panas. "Astaga... kenapa dia harus segitu cueknya? Gak ada rasa bersalah sama sekali," gumamnya, mencoba meredakan rasa kesal dan malu yang bercampur jadi satu.
Sementara itu, di luar kamar, Fajar menyentuh bibirnya sejenak. Matanya menatap lurus ke depan, pikirannya melayang pada apa yang baru saja terjadi. "Ciuman pertama, ya..." gumamnya pelan, senyum kecil tersungging di wajahnya sebelum ia melangkah pergi.
***
"Hah, kamu serius, Nes? Haruskah aku bikin acara potong tumpeng untuk merayakan kalau bibirmu sudah tidak perawan lagi?" sahut Berta dengan nada menggoda, setelah mendengar cerita Agnes.
Agnes menghela napas panjang. Saat ini mereka sedang berbincang lewat ponsel, dan dia butuh tempat untuk meluapkan kekesalannya. Tapi bukannya mereda, amarahnya malah semakin memuncak mendengar respons sahabatnya yang santai.
"Ta, kamu ini sahabat macam apa sih? Bukannya ikut prihatin, malah ketawa-ketawa nggak jelas!" protes Agnes. Suaranya terdengar frustasi. "Dua puluh dua tahun aku menjaga ciuman pertama itu buat suamiku yang sebenarnya, dan sekarang hilang begitu aja. Seenaknya banget!"
Di seberang, Berta malah tertawa terbahak-bahak. "Hilang begitu aja? Nes, plis deh, ini ciuman pertama, bukan sendal di masjid."
"Kamu ketawa terus, aku blokir, ya!" ancam Agnes sambil mengerucutkan bibir, meski tahu ancamannya mungkin takkan ditanggapi serius.
"Eh, santai, dong. Lagian, Nes, dengerin deh. Fajar itu suamimu sekarang, kan? Jadi teknisnya, keinginanmu buat ngasih ciuman pertama ke suami udah tercapai. Ya, walaupun nggak sesuai rencana... tapi tetep, kan?" Berta menjawab, masih dengan nada bercanda.
Agnes mendesah berat. "Aku tahu dia suamiku sekarang, tapi kamu juga tahu, aku sama dia nikahnya karena keadaan. Aku nggak cinta dia, Ta."
"Ya terus, kenapa? Mau nikah terpaksa atau enggak, tetap aja dia suamimu," jawab Berta, suaranya mendadak lebih serius. "Jujur, Nes, aku tuh kadang kasihan sama Pak Fajar, loh."
"Kasihan? Maksudmu apa?" Agnes bertanya, keningnya berkerut.
"Ya kasihan, dosa apa sih dia sampai harus dapat istri kayak kamu?" Berta meledak lagi dengan tawa.
"Sahabat laknat kau!" balas Agnes dengan nada gemas.
Berta mencoba meredam tawanya, meski suaranya masih terdengar geli. "Tapi serius, Nes. Aku lihat Pak Fajar itu bukan orang sembarangan. Dia nggak salah apa-apa, malah aku rasa kamu yang menjebak dia dalam pernikahan ini. Apalagi dengan misi gilamu itu."
"Misi apaan lagi?" tanya Agnes seakan lupa apa yang sudah ia targetkan.
"Ya, misi kamu buat bikin dia ngucap talak, apalagi! Nes, aku rasa itu bakal sulit banget. Pak Fajar itu udah matang secara usia, kepala tiga, gitu. Dia bukan tipe yang bakal main-main sama pernikahan."
Agnes mendengus. "Justru itu masalahnya, Ta. Pokoknya aku nggak mau seumur hidup nggak bisa bebas. Aku harus dapat kebebasan itu, apa pun caranya!"
Berta terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata dengan nada bercanda, "Kamu kayak aktivis kebebasan yang nyasar ke drama rumah tangga. Tapi ya udah, semangat deh, Nyonya Alaska!"
"Jangan cuma kasih semangat, kasih tahu aku gimana caranya bikin dia kesel sama aku. Tadi aku udah bilang dia tua, tahu nggak? Bukannya marah, dia malah sabarnya sepanjang Sungai Nil," keluh Agnes, frustrasi.
Berta terkekeh, "Wah, gila kamu. Pantes kalau ada yang kasih predikat istri durhaka buatmu!"
"Tata, jangan bikin aku makin kesal, dong!"
"Habis, gila kamu tuh nggak ada obatnya."
"Udah, berhenti bercanda. Kasih aku ide biar dia benar-benar kesal," pinta Agnes, suaranya penuh tekanan.
Berta di seberang sana terdiam, meski wajah berpikirnya tentu tak bisa dilihat Agnes. Tak lama kemudian, dia berkata, "Gimana kalau kamu jadi istri matre? Habisin uangnya sampai dia pusing."
"Kamu yakin itu bakal berhasil?" Agnes menyipitkan matanya, meski Berta jelas tak bisa melihat ekspresinya.
"Menurutku masuk akal. Pak Fajar itu kan orangnya sederhana banget. Pekerjaannya cuma dosen pengganti, nggak kaya pengusaha-pengusaha yang hidupnya berlebihan. Kalau kamu tekan ekonominya, dia pasti bakal marah. Atau kalau dia nggak marah, minimal keluarganya bakal curiga kamu cuma mau habisin uangnya. Lumayan kan, bikin mereka mikir dua kali soal pernikahan kalian?" jelas Berta dengan penuh keyakinan.
Agnes menarik sudut bibirnya, merasa ide itu cukup cerdas. "Oke, Ta. Kalau soal ide gini, kamu memang jagonya. Tapi jangan lupa belajar biar Cepat lulus dan nikah, kasihan Bu Rumsiah pengen cepat punya cucu."
"Dih, ini kenapa malah aku yang kena ceramah, sih?" protes Berta, setengah kesal setengah geli.
Namun, suara Berta yang meninggi itu tak lagi terdengar oleh Agnes. Dengan tenang, Agnes memutuskan sambungan telepon dan mulai merencanakan aksinya sesuai saran sahabatnya.
"Jangan salahkan aku kalau bikin kamu jatuh miskin, Fajar Alaska," gumam Agnes menarik sudut bibirnya.
Agnes menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum keluar dari kamar. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Fajar sudah berdiri di ujung lorong. Wajahnya tenang, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana.
"Mau ke mana?" tanyanya, suaranya datar dengan alis yang sedikit terangkat.
Agnes mencoba tetap tenang meski dadanya berdegup kencang. "Mencari Bapak. Ada yang mau aku bicarakan," jawabnya, suaranya terdengar lebih terkendali dari yang ia kira.
Fajar melangkah mendekat, berhenti beberapa langkah di depannya. Tatapannya datar namun tajam. "Katakan saja. Aku dengar."
Agnes meneguk ludah, hatinya sempat goyah. Namun, ia memantapkan diri, menatap langsung ke mata Fajar. "Aku minta semua tabunganmu," katanya, tegas namun dengan suara yang sedikit gemetar.
Fajar menatapnya lama, tetapi ekspresinya tetap sulit ditebak. Bukannya marah seperti yang Agnes bayangkan, sudut bibirnya justru terangkat membentuk senyum kecil. "Untuk apa?" tanyanya pelan, nada suaranya terlalu santai hingga membuat Agnes sejenak kehilangan kata.