Ayuni dan kedua temannya berhasil masuk ke sebuah perusahaan majalah besar dan bekerja di sana. Di perusahaan itu Ayuni bertemu dengan pria bernama Juna yang merupakan Manager di sana. Sayangnya atasannya tersebut begitu dingin dan tak ada belas kasihan kepada Ayuni sejak pertama kali gadis itu bekerja.
Namun siapa sangka Juna tiba-tiba berubah menjadi perhatian kepada Ayuni. Dan sejak perubahan itu juga Ayuni mulai mendapatkan teror yang makin hari makin parah.
Sampai ketika Ayuni jatuh hati pada Juna karena sikap baiknya, sebuah kebenaran akan sikap Juna dan juga teror tersebut akhirnya membawa Ayuni dalam masalah yang tak pernah ia sangka.
Kisah drama mengenai cinta, keluarga, teman, dan cara mengikhlaskan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22. MUSUH ATAU TEMAN?
..."Hati bisa berubah beku ketika terluka...
...Namun bukan berarti tidak bisa cair...
...Dan itu terjadi kali ini...
...Dimana ketika kau menatapku ...
...Dengan netra bak mentari setelah hujan...
...Tanpa aku tahu kenyataannya...
...Bahwa ada badai yang kau siapkan untukku."...
Ia berdiri di dekat lapangan, seorang pria paruh baya yang mungkin berusia pertengahan tiga puluhan dalam balutan jaket kulit yang memerjelas tinggi badannya. Perlahan aku mendekati pria tersebut, sedikit ragu kalau-kalau orang itu bisa saja berniat jahat. Tapi meyakinkan diri kalau aku akan aman, mengingat tempat ini ramai orang. Jadi kemungkinan pria tersebut melakukan hal jahat sangat kecil, kecuali ia nekad atau sinting.
Sepertinya ia menyadari kehadiranku, ia menoleh sebelum aku sampai di tempatnya berdiri. Sebuah senyum terulas, senyum ramah yang tidak menunjukan kalau ia berbahaya.
“Ayuni?” panggilnya, seakan ia sudah lama mengenalku bukannya baru bertemu.
“Anda siapa? Anda yang menelepon saya tadi, kan? Katakan apa yang Anda tahu tentang kakak saya,” celetukku beruntun tanpa jeda sedikitpun.
“Pelan-pelan, saya tidak akan pergi kemana-mana. Setidaknya biarkan saya memperkenalkan diri saya dulu. Saya Revan Afrizal, saya mantan atasan sekaligus rekan kakak kamu beberapa tahun lalu,” katanya dengan sopan, seolah tidak ingin menakutiku.
Aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya dari kakakku. “Apa Kak Indra pernah punya masalah saat Anda dengannya dulu?” tanyaku langsung.
Bibirnya membentuk kurva ke atas, sedikit miring seakan pertanyaanku remeh untuknya. Ia mendekatiku, memerpendek jarak hingga ia hanya dua langkah saja dariku. Tangannya merogoh saku dalam jaket kulitnya, mengeluarkan selembar foto dan memberikannya kepadaku.
Mataku membelalak ketika melihat foto itu, hal yang tidak mungkin terlintas dalam benakku walau sedetik pun. Cairan hangat pada mataku menggenang, kepalaku sakit dengan pemandangan tidak bisa dipercaya dalam foto di tanganku.
“Apa maksudnya ini?” tanyaku, berusaha agar tidak terprovokasi hanya karena sebuah foto.
Pria paruh baya itu mendekatkan wajahnya ke sisi kepalaku, membisikkan sesuatu di telinga yang membuatku terasa seolah oksigen keluar seluruhnya dari paru-paruku.
Aku menatap pria itu yang kini tersenyum puas. Benarkah yang ia katakan barusan? Katakan kalau ia berbohong. Katakan bahwa kakakku tidak mungkin melakukan hal sehina itu, aku kenal dengan baik seperti apa kakakku. Tidak mungkin, tidak mungkin ia seperti itu.
“Bohong,” tuduhku. “Saya yakin kalau Anda bohong. Tidak mungkin kakak saya melakukan hal itu, saya kenal dia.”
“Apa kamu yakin kalau kakak kamu itu orang baik? Tanyakan padanya tentang yang terjadi kalau kamu tidak percaya sama saya,” jawabnya begitu meyakinkan.
“Ayuni?” seseorang memanggilku dari balik punggung.
Aku berbalik untuk melihat siapa yang memanggilku. “Bos Juna?”
Ekspresinya tampak terkejut ketika ia melihatku. Mungkin sesuatu yang terpatri di wajahku saat ini yang membuat ia memasang wajah seperti itu. Dengan cepat ia berlari ke arahku, dalam sekejap sudah ada di sampingku.
“Sebaiknya saya pergi, saya rasa saya sudah mengatakan semuanya,” kata pria paruh baya yang bernama Revan tadi, kemudian melangkah pergi sebelum aku menanyakan hal lebih banyak.
“Tunggu, saya belum selesai. Masih ada yang harus saya tahu!” seruku berusaha mengejar pria yang mungkin pantas kupanggil ‘Pak Revan’ itu.
“Ayuni?! Hei, tunggu. Jangan mengejarnya, dia berbahaya!” Bos Juna menahanku untuk tidak mengejar Pak Revan, tidak peduli aku memberontak dan berusaha melepaskan diri.
Aku terus berteriak agar Pak Revan menghentikan langkahnya sebelum ia masuk ke dalam mobil yang tengah terparkir tak jauh dari gerbang masuk. Aku tidak bisa menahan amarahku ketika akhirnya pria paruh baya itu pergi begitu saja tanpa sempat aku bertanya lebih banyak tentang kakakku dan kebenaran mengenai yang ia katakan padaku.
“Apa masalah Bos Juna?! Kenapa Bos Juna nggak biarin saya ngejer Bapak itu?!” seruku melepaskan kekesalanku pada atasanku yang bersikap seenaknya.
“Kamu mau pergi gitu aja ke orang yang nggak mau kenal, hah?!” Ia belas berteriak, membungkamku dengan suara tinggi yang tidak pernah kusuka darinya. “Kamu lupa kalau ada orang yang mau nyulik kamu, dan kamu malah nawarin diri kamu ke orang itu?! Berhenti melakukan hal yang buat saya khawatir, bisa kan?! Saya pikir sesuatu yang buruk terjadi sama kamu pas liat kamu lari kayak orang kesetanan, seenggaknya dengerin saya sekali aja. Dia itu berbahaya, matanya jelas nunjukin itu,” sambungnya.
Aku tidak ingin berdebat dengannya. Aku sedang tidak ingin ada seseorang yang memarahiku sekarang. Hal yang kudengar tadi sudah cukup membuat hatiku tak tenang, berharap kalau aku tidak pernah pergi ke taman ini dan bertemu dengan Pak Revan. Setiap kata yang pria paruh baya itu bisikan padaku masih terngiang, seolah itu diteriakkan padaku cukup keras. Aku benar-benar kacau hari ini.
Kuraih lengan bajunya, menariknya pelan agar ia menghentikan ucapannya. Pandanganku terus tertunduk, masih memikirkan ucapan dari Pak Revan.
“Apa Mas mau temenenin saya makan?” tanyaku tanpa memandangnya.
Untuk beberapa saat ia tidak menjawab. Bisa kurasakan kalau Bos Juna memandangiku, menilai sikapku saat ini. Tak lama, ia menepuk kepalaku pelan, kemudian menggenggam tanganku untuk menuntunku layaknya anak kecil.
Aku tidak protes atau pun mengeluh dengan sikapnya. Mungkin hal ini lebih baik agar aku tetap sadar dimana aku berada. Rasanya tubuhku hancur berkeping-keping jika saja Bos Juna tidak berada di dekatku, menuntutku entah kemana. Kupandangi foto pemberian Pak Revan tadi sebelum akhirnya kumasukan dalam tas selempangku, tak ingin ada orang yang melihat kejadian mengerikan dalam foto itu yang melibatkan kakakku.
Bos Juna rupanya membawaku ke sebuah cafe kecil di dekat taman. Suasananya amat tenang, didukung dengan lagu-lagu yang bertempo lambat menambah keadaan cafe cocok untuk suasana hati saat ini.
Bos Juna tidak melepaskan pegangan tangannya padaku meskipun kami sudah berada di dalam cafe, ia terus menggiringku ke tempat duduk yang ia rasa cocok untuk kami tempati. Mengabaikan pandangan banyak orang khususnya wanita yang penasaran melihatku dalam genggamannya.
Bos Juna mendudukanku di kursi yang bersampingan dengan jendela kaca menghadap ke jalan, kemudian ia duduk berseberangan denganku. Ia memesankan makanan untukku, sepertinya tahu kalau aku tidak sedang dalam mood baik untuk memilih makanan.
Aku tahu dengan jelas bagaimana ekspresiku saat ini, setengah kosong. Beberapa kali Bos Juna mengajakku bicara, mencoba mengubah suasana tidak menyenangkan ini. Namun, sepertinya aku tidak terlalu menanggapinya, hanya membalas ucapannya dengan senyuman kecil tak bersemangat.
“Dulu kakak Mas pernah bilang kalau nggak ada masalah yang nggak bisa diselesaikan. Mas rasa kamu jangan terlalu memikirkan apa yang terjadi. Mas takut kalau kamu bakal jatuh sakit lagi kalau terus kayak gini,” Bos Juna berkata, mencoba menghiburku. “Kamu bisa cerita apa pun sama Mas, itu pasti bisa buat kamu lebih baik,” sambungnya.
“Sejak kecil saya diasuh oleh orang tua yang sangat menyayangi saya, mereka memberikan cinta yang begitu besar kepada saya dan kakak saya,” entah kenapa mulutku mulai bicara tanpa kusadari sekarang, “sampai saya harus rela ketika kehilangan orang tua saya dalam kecelakan. Saat saya nggak tahu harus bagaimana, saat saya dalam keadaan benar-benar terpuruk pas tahu kalau dua orang yang berharga untuk hidup saya nggak akan pernah bisa saya lihat lagi, kakak saya ada di sana. Pela-pelan dan dengan sabar dia mengembalikan kebahagian saya, berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan saya dan dirinya. Tidak peduli ia harus bekerja saat kuliah demi melanjutkan sekolah saya, ia selalu memikirkan saya dibandingkan dirinya.” Aku mengehentikan ucapanku, menerawang jauh ke masa-masa laluku.
“Dan kamu menyayanginya juga.” Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan yang memang terlihat kalau itulah kebenarannya.
“Tentu. Walau beberapa tahun belakangan kakak saya bekerja di luar kota, justru saya semakin sayang sama dia. Dia selalu mengkhawatirkan saya setiap saatnya, bahkan rela meninggalkan apapun yang dia kerjakan dan langsung lari ke tempat saya kalau dia dengar sekecil apa pun. Yang saya tahu kakak saya adalah orang baik. Dan hari ini saya dengar tentang hal buruk mengenai kakak saya, hal yang saya sangat yakin kalau dia nggak akan pernah ngelakuinnya. Menurut Mas Juna kayak mana perasaan saya? Saat ada orang yang memberikan bukti perbuatan kakak saya dan menyebutnya sebagai ‘pembunuh’, bagaimana mungkin saya nggak merasa hancur.” Air mataku sudah menggenang ketika mengingat bagaimana Pak Revan tadi menyebut kakakku adalah seorang pembunuh dengan foto kakakku yang bersama pria berlumuran darah yang tak lagi bernyawa.
Mata Bos Juna membelalak, sepertinya terkejut saat aku mengatakan semua itu. Matanya menatapku langsung, entah mencari apa di sana. Ada keterkejutan yang tidak bisa kumengerti dari ekspresi Bos Juna saat ini, seolah ia sangat tidak ingin mendengar hal itu.
“Saya kenal kakak saya dengan baik. Kak Indra nggak mungkin ngelakuin hal itu. Kak Indra bukan pembunuh,” kataku dengan isak tangis yang pecah, tidak peduli jika orang-orang memerhatikanku.
“Kamu takut kalau kakak kamu sungguh seorang kriminal? Kamu takut kalau ternyata orang yang kamu anggap baik ternyata tidak sebaik itu?” tebak Bos Juna.
Aku menatap Bos Juna dengan mata basah, tertawa lirih atas ucapan yang ia lontarkan. “Kak Indra seorang kriminal? Kak Indra bukan orang baik? Bukan itu yang saya takutkan. Saya nggak takut kalau ternyata Kak Indra bukan orang yang baik seluruhnya, karena nggak ada manusia yang sempurna.”
“Lalu kenapa? Ketika kamu mendengar satu kebenaran tentangnya seolah dunia sudah hancur, jika bukan itu yang kamu takutkan lalu apa?” tanya Bos Juna dengan nada mengintimidasi.
“Saya takut kalau saya akan kehilangan kakak saya. Saya takut karena masalah ini saya nggak bisa ngeliat kakak saya lagi. Dia satu-satunya keluarga yang saya punya sekarang,” isakku tak terbendung lagi.
Air mata ini terus mengalir, tak peduli sebanyak apa aku menyekanya cairan hangat itu tidak juga berhenti. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Bos Juna mengenaiku, tak peduli jika ia menganggapku cengeng atau apalah. Aku sudah tidak sanggup menahannya lagi, aku hanya ingin mengeluarkan segala rasa gundah yang kurasakan sejak dua bulan ini.
Hingga aku berhenti menangis, Bos Juna tidak mengatakan apa pun. Ia hanya memerhatikanku dengan saksama, tampak tersiksa saat memandangi raut kacau wajahku. Aku tidak tahu kenapa ia terlihat bersalah sekarang, mungkin karena ia tidak bisa menenangkan wanita yang sedang menangis.
Makanan yang ada di hadapanku dan juga Mas Juna tidak kami sentuh sama sekali, terabaikan atas apa yang mengganggu pikiranku. Dan akhirnya Mas Juna meminta pelayan membungkus makanan tak tersentuh kami dan membayarnya.
“Sebaiknya kita pulang. Mas antar kamu supaya kamu bisa istirahat.” Mas Juna membantuku bangkit, kali ini merangkul pundakku agar aku tidak sampai terjatuh ketika jalan dalam keadaan pikiran kacau.
Jujur aku merasa lelah saat ini, aku tidak tahu kalau menangis seperti tadi bisa menghabiskan banyak energi. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku menangis seperti tadi.
Mas Juna mengantarku pulang dengan taksi. Sepertinya ia membiarkan aku mengambil waktu seorang diri, dengan tidak mengajakku bicara. Itu keputusan yang bagus untuknya, karena jika ia bicara bisa jadi aku akan kembali menangis seperti tadi.
Setelah apa yang terjadi hari ini, untuk pertama kalinya aku tidak ingin bertemu kakakku. Aku takut bertemu dengannya. Aku takut akan ditinggalkan ketika aku mendengar kebenaran yang bahkan tidak kutahu apakah benar atau tidak.