"Ingat, saat di kampus kita adalah dosen dan mahasiswa, jadi bersikap sewajarnya."
"Hayolo, dosen mana yang ngajak mahasiswanya ke rumah?"
~
Lolos SNBP jurusan keperawatan ternyata tak membuat impian Jihana Soraya menjadi perawat bisa terkabul. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat bunda melarangnya kuliah. Apalagi bunda memang menganggap kuliah itu sia-sia.
Kecewa dengan pemikiran pendek bundanya, Jihan malah tanpa sengaja berkeluh kesah pada tetangga barunya yang ia panggil Om Lino. Pria itu cukup ramah, tapi dia tampak sangat kaku dan bahasanya pun baku sampai Jihan menggelarinya KBBI berjalan.
Om Lino menyarankan satu solusi pada Jihan, yang menurutnya sangat gila. Menikah dengan pria itu, maka dia akan membiayai seluruh pendidikan Jihan. Tadinya Jihan menolak, tapi ketika keadaan semakin mendesak dan ia tidak memiliki pilihan lain, Jihan pun menerimanya.
Jihan seketika merasa Om Lino sudah seperti sugar daddynya saja. Tapi tunggu dulu! Ternyata Om Lino juga dosennya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Licia Bloom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Skenario Besar
Ting tong!
Bel pintu berbunyi berkali-kali, nyaris tidak memberi jeda. Aku menekan tombol bel itu lebih keras, berharap sang tuan rumah segera membukakan pintu.
Ting tong! Ting tong! Ting—
Ceklek!
Pintu akhirnya terbuka, menampilkan sosok Om Lino dengan ekspresi kaget. “Jihan? Kamu?” tanyanya dengan nada heran. “Ada apa? Kamu kenapa?”
Tangisku langsung pecah. “Huaaa!”
Aku menunduk, menutup wajah dengan kedua tangan. Air mata mengalir tanpa bisa kuhentikan.
“He-hei, kenapa kamu menangis?” tanyanya, panik. Suaranya lembut tapi terdengar bingung. “Kamu marah soal tawaran saya tadi sore, ya? Maaf kalau itu membuat kamu tidak nyaman.”
Om Lino terlihat gelisah. Ia menggaruk belakang kepalanya, wajahnya menunjukkan penyesalan. “Saya baru sadar, mungkin penawaran saya terlalu tiba-tiba. Saya hanya berpikir … mungkin bisa membantu kamu, tapi—”
“Saya bilang ke Bunda kalau Om itu pacarku,” potongku di antara isakan.
Dia terdiam sesaat. “Apa?”
“Saya .…” Aku mengusap air mata dengan punggung tangan. “Saya bilang ke Bunda kalau Om mau nikahin saya.”
Ekspresinya tampak terkejut sesaat, hanya sesaat karena setelahnya ekspresinya kembali datar. “Benarkah?”
Aku menarik napas panjang, mencoba menjelaskan meski suara masih gemetar. “Saya gak tega, Om. Saya lihat Bunda capek banget, tapi dia tetap kerja keras demi saya. Terus ... saya juga gak tahan dengan tekanan dari semua orang soal kuliah. Tawaran Om tadi bikin saya mikir, mungkin ini jalan keluarnya.”
Dia hanya memandangku, menatapku lamat tanpa membantu menenangkanku. Yah, tidak mungkin juga, kan, orang kaku itu tiba-tiba memelukku?
“Jadi sekarang gimana, Om?” tanyaku, suaraku terdengar lebih putus asa. “Bunda udah percaya kalau kita pacaran. Dia bahkan bilang bakal nunggu Om datang buat melamar. Kalau Om gak serius, saya bakal ketahuan bohong!”
Om Lino menghela napas panjang sebelum menjawab dengan nada mantap, “Ya sudah, nanti saya datang melamar kamu.”
Aku melongo. “Om serius?!”
Dia mengangguk kecil, menatapku dengan tatapan yang tidak menunjukkan keraguan sedikit pun. “Sejak awal saya serius, Jihan. Apa saya terlihat seperti orang yang suka main-main?”
Aku terdiam. Dia memang kaku, orang yang serius, bahkan terlalu serius. Persis seperti kanebo kering, pikirku sarkastis.
“Tetap aja, Om.” aku berusaha memastikannya dulu. “Kenapa saya? Kenapa bukan cewek lain? Om cuma mau menghindari perjodohan, kan?”
Om Lino menatapku dalam-dalam, seperti menimbang kata-katanya. “Saya ingin membantu kamu. Kamu punya tekad kuat untuk melanjutkan pendidikan, dan saya menghargai itu.”
“Jadi cuma karena itu?” tanyaku, masih tak percaya.
“Kenapa tidak? Saya lebih memilih gadis yang pintar dan bertekad daripada hanya cantik.”
Aku terpaku. Kata-katanya terasa seperti pujian, tapi di saat yang sama membuatku bingung.
“Jadi Om pilih saya?” tanyaku pelan.
“Ya,” jawabnya tanpa ragu. “Saya memilih kamu untuk saya bantu.”
“Maksudnya pilih saya buat dinikahi, kan?”
Dia mengangguk lagi, seolah itu sudah jelas sejak awal.
“Ini kayak pernikahan kontrak gitu, Om? Kayak di novel?” tanyaku, mencoba mencairkan suasana.
“Maksud kamu?” dia menatapku bingung.
Aku tersenyum kecil di tengah isakan. “Di novel tuh biasanya mereka nikah pura-pura, terus akhirnya saling jatuh cinta ....”
Om Lino hanya tersenyum tipis, lalu berkata, “Kita lihat saja nanti, Jihan.”
Hatiku semakin tidak karuan. Apa aku baru saja melangkah ke dalam sesuatu yang lebih rumit daripada masalahku sebelumnya?
“Pernikahan ini gak serius-serius banget, kan?” tanyaku pelan. “Maksudnya, walaupun kita nanti nikah, tujuannya cuma buat kepentingan masing-masing, kan?”
Om Lino mengangguk kecil, wajahnya tenang seperti biasanya. “Iya,” jawabnya. “Tenang saja, Jihan. Saya berjanji kamu tidak akan kehilangan apa pun setelah menikah dengan saya. Terutama kebebasan kamu.”
Aku mendengar nada keyakinan di suaranya, tapi tetap saja hati ini gelisah. “Om yakin?”
“Seperti yang kamu tahu, saya melakukan ini hanya untuk menghindari tuntutan menikah dengan wanita pilihan orang tua saya,” katanya sambil menatapku tajam. “Daripada kebebasan dan ketenangan saya hilang karena dijodohkan, lebih baik saya memilih calon saya sendiri.”
Kata-katanya terdengar masuk akal, tapi ... ini tetap pernikahan. Ikatan yang sangat sakral.
“Dengan begini, kita bisa membuat kesepakatan untuk tidak mengusik satu sama lain,” lanjutnya. “Pernikahan ini hanyalah formalitas.”
Aku mengangguk pelan, mencoba mencerna semuanya. “Terus nanti setelah nikah kita ngapain, Om?” tanyaku lagi, suara masih ragu. “Maksudnya, kita gak bakal hidup kayak suami istri, kan?”
Om Lino tersenyum tipis. “Tidak,” jawabnya tegas. “Kita masing-masing akan menjalani hidup seperti biasa.”
Aku mulai merasa lega, tapi dia menambahkan, “Tapi saya rasa kita harus tinggal serumah, mengingat Bunda kamu .…”
“Oh, iya juga.” aku menghela napas panjang. “Ah, gimana dong? Bayanginnya aja saya udah ngerasa aneh, Om.”
“Tenang saja,” katanya lagi, nadanya menenangkan. “Saya berjanji tidak akan mengusik kamu. Anggap saja saya adalah kakak laki-laki kamu sekarang.”
Aku menaikkan alis, bingung. “Kakak?”
“Tidak aneh, kan, jika tinggal bersama saudara?” Dia menatapku penuh keyakinan. “Hanya untuk beberapa waktu ke depan, Jihan.”
Aku terdiam, berpikir keras. Semuanya terdengar tidak masuk akal memang, dan aku masih merasa ragu. Tidak ada yang menjamin ini tidak akan jadi berantakan. Tapi aku tidak punya pilihan lain.
“Oke .…” aku menggigit bibir, menahan gugup. “Ah, tapi saya masih ragu!”
Tanganku refleks mencubit jari sendiri, kebiasaan buruk saat aku terlalu banyak berpikir. Om Lino dengan sabar menunggu. Tapi setelah mempertimbangkan semua, aku sadar memang tidak ada jalan lain. Aku sudah terlanjur membuat cerita ngawur ke Bunda.
“Ya udah,” ucapku akhirnya. “Saya setuju.”
Om Lino mengangguk sekali, tampak biasa saja seolah pernikahan adalah hal enteng baginya. “Baiklah. Besok saya akan mengajak orang tua saya datang ke rumah kamu.”
“Besok juga, Om?!” aku sampai terlonjak ke belakang.
“Lebih cepat lebih baik, kan?” katanya tenang. “Sisa waktu pendaftaran ulang kuliah kamu tinggal seminggu.”
Aku mendengus kesal. “Ck, gini banget hidup saya!”
Om Lino tidak bereaksi, hanya menatapku dengan mata penuh ketegasan. Sementara aku hanya bisa pasrah.
Gak tahu ini keputusan yang tepat atau enggak. Apalagi, umur segini lagi labil-labilnya. Mungkin karena itu aku terlalu gampang bilang “iya” buat tawaran menikah ini.
Aku cuma berharap satu hal: semoga Om Lino gak nipu aku. Udah, itu aja.
Selebihnya, aku harus menyiapkan mental buat besok. Karena setelah ini, hidupku pasti gak akan sama lagi.
***
Aku memandang Tante Jenna dengan senyum kaku. Rasanya udah panas dingin dari tadi mendengar celotehannya. Tante Jenna benar-benar cerewet, tapi aku gak bisa nyalahin dia juga. Mungkin ini ekspresi kegembiraannya karena akhirnya Om Lino, anaknya, mau menikah.
“Pantas aja Lino waktu itu ngeyel pindah rumah ke daerah sini,” katanya, matanya melirik tajam ke arahku.
Aku cuma bisa tersenyum canggung, sementara beliau melanjutkan, “Dari tahun lalu saya maksa dia cari perempuan buat dinikahi, dia bilangnya nanti-nanti terus. Katanya tunggu sebentar, belum saatnya. Itu ternyata karena kamu toh, Jihan?”
Aku tersentak, langsung gugup. “H-hah? O-oh, iya, Tante .…” jawabku terbata-bata.
Tante Jenna menghela napas panjang. “Saya pikir siapa perempuan yang dia tunggu-tunggu selama ini. Saya kira Lino ditinggalin sama dia. Ternyata itu kamu. Dia nunggu kamu lulus SMA dulu, ya?”
“I-iya, Tante. Hehe .…” aku hanya mampu mengangguk sambil tersenyum paksa. Dalam hati aku mengutuk skenario aneh ini.
Tapi ternyata, Tante Jenna justru tertawa. “Kok masih panggil Tante?” tanyanya, mengangkat alis.
Aku mendongak bingung. “Engh ... terus saya panggilnya apa dong?”
“Ih, panggil mama dong, Jihan!” Bunda yang sedari tadi duduk di sebelahku tiba-tiba nyeletuk. “Aduh, kamu tuh gimana sih? Dia ‘kan calon mertua kamu!”
“O-oh gitu?” aku tambah canggung, tapi Tante Jenna malah makin terbahak.
“Saya masih gak nyangka Lino ternyata jatuh cinta sama gadis yang umurnya jauh terpaut dari dia,” katanya lagi sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Setelah saya pikir-pikir, Jihan ini bahkan perempuan pertama yang dia bawa ke rumah.”
Aku berusaha menenangkan diri sambil melirik Om Lino yang duduk di sebelahku. Dia kelihatan santai banget, padahal aku udah hampir meledak dalam hati.
“Ah, berarti alasan terpaksa dibawa waktu itu cuma kebohongan kamu, ya, Lino?” Tante Jenna melanjutkan, tatapannya berubah usil. “Taunya dia memang pacar kamu.”
Bunda ikut tertawa kecil. “Wah, sama. Jihan juga membohongi saya. Saat saya memergoki dia bermesraan sama nak Lino, dia langsung ngelak dengan alasan gak jelas. Terus bilang kalau mereka gak ada apa-apa. Taunya ... hmm. Malah tiba-tiba mau menikah, haha!”
Aku tertawa kecil, lebih ke arah menutupi rasa gugupku. Yah, kebohongan kami ternyata lebih dipercaya daripada kejujuran waktu itu. Lucu sih, tapi juga miris.
Aku mendekat ke Om Lino, berbisik pelan, “Psst… Om.”
“Hm?” dia menoleh sekilas, ekspresinya tetap datar.
“Kalau ketahuan gimana?” bisikku cemas.
“Tidak akan,” jawabnya singkat.
“Tapi kalau iya gimana? Nanti saya diomelin habis-habisan sama Bunda. Bisa-bisa saya dicoret dari kartu keluarga!”
Dia melirikku dingin. “Tidak akan, kalau kamu bisa lebih pintar akting, Jihan.”
Aku mendelik. “Dih?”
Tiba-tiba Bunda melirik kami. “Duh, ngapain tuh? Bisik-bisik terus.”
Aku langsung refleks menjawab dengan suara lebih keras. “Ih, Om Lino makin ganteng deh kalau dilihat dari deket. Jadi makin cinta!”
Om Lino menatapku bingung, tapi aku hanya mengangkat bahu. Bukankah tadi dia bilang aku harus pintar akting?
“Jihan, ih. Kok masih manggil Om?” Bunda menegur lagi.
“Kenapa emangnya, Bun?” balasku dengan nada manja. “Panggilan Om itu panggilan kesayangan, tahu. Kan gemes kedengarannya, Bun. Om Lino udah kayak sugar daddy-nya Jihan aja.”
Om Lino melirikku tajam, matanya seperti memberi kode agar aku diam. Tapi aku malah menahan tawa. Seru juga ngejek dia kayak gini.
Dia akhirnya angkat suara, mencoba mengalihkan perhatian. “Jadi, seperti yang saya bilang tadi, walaupun nanti kami menikah, Jihan tetap akan melanjutkan pendidikannya. Saya tidak akan melarang dia berkuliah.”
Bunda tersenyum lega. “Terima kasih, nak Lino. Saya senang mendengarnya. Tapi gimana dengan orang tua Lino? Kalian tidak masalah jika calon istri Lino melanjutkan pendidikannya?”
Tante Jenna menjawab sambil tersenyum. “Kenapa kami harus keberatan? Justru kami senang punya menantu yang pintar seperti Jihan.”
Ayahnya om Lino menambahkan dengan nada datar tapi tegas, “Pendidikan adalah hal penting di keluarga kami. Kami akan memberi dukungan penuh kepada Jihan.”
Aku melirik Bunda yang kelihatan semakin lega. Rasanya seperti beban berat sedikit terangkat.
“Baiklah,” ujar Om Lino akhirnya. “Sekarang mari kita tentukan tanggal pernikahannya sebelum Jihan memulai masa kuliahnya.”
Dan diskusi panjang pun dimulai. Tentang tanggal, tempat, konsep, semua dibahas. Aku sih cuma diam, mengiyakan apa pun yang mereka putuskan. Yang penting cepat selesai.
Dalam hati, aku masih gak percaya semua ini terjadi. Kalau teman-temanku tahu, aku bakal dikatain habis-habisan. Tapi ya sudahlah, sekarang aku harus fokus dengan skenario besar ini. Semoga saja semuanya berjalan lancar.