Cinta yang datang dan menetap di relung hati yang paling dalam tanpa aba-aba. Tanpa permisi, dan menguasai seluruh bilik dalam hati. Kehadiran dirimu telah menjadi kebutuhan untukku. Seolah duniaku hanya berpusat padamu.
Zehya, seorang gadis yang harus bertahan hidup seorang diri di kota yang asing setelah kedua orang tuanya berpisah. Ayah dan ibunya pergi meninggalkan nya begitu saja. Seolah Zehya adalah benda yang sudah habis masa aktifnya. Dunianya berubah dalam sekejap. Ayahnya, cinta pertama dalam hidupnya, sosok raja bagi dunia kecilnya, justru menjadi sumber kehancuran baginya. Ayahnya yang begitu sempurna ternyata memiliki wanita lain selain ibunya. sang ibu yang mengetahui cinta lain dari ayahnyapun memutuskan untuk berpisah, dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata Zehya bukanlah anak kandung dari wanita yang selama ini Zehya panggil ibu.
Siapakah ibu kandung Zehya?
yuk, ikuti terus perjalanan Zehya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yunacana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Betapa bodohnya aku?
Detik-detik berlalu. Reni, yang tengah dilanda keterpurukan dan kesedihan yang mendalam setelah mengetahui kebenaran yang selama ini Bagas sembunyikan, masih tenggelam dalam lara yang menyesakkan dadanya. Seolah paru-parunya di hampir oleh beban ribuan ton. Kawan, sesak sekali rasanya, bahkan untuk sekedar bernapaspun Reni kesulitan.
" Huuuh.... " Reni membuang nafasnya dengan berat. Jejak air mata terlihat sangat jelas di wajahnya. Rupanya wanita itu terus menangis beberapa hari ini. Belum lagi rindu kepada Zehya, putri yang begitu dia cintai. Dia susui, Rawat dan kasihi sepenuh hati. Terlepas dari kenyataan bahwa Zehya bukanlah bayi yang dia kandung dan lahirkan dari rahimnya sendiri, tapi cintanya kepada Zehya tidak pernah meninggalkan hatinya.
" Zehya... Ibu rindu. Haaaah.... ini berat, sangat berat". Keluhnya sembari mengusap kasar wajahnya.
Di tengah kesedihan nya, Kata-kata Bagas terngiang di kepalanya.
" Temuilah sepupumu. Dia memiliki jawaban yang kamu inginkan..."
" Apa benar lelaki yang memeluk tubuhku sepanjang malam adalah dia? Jika memang itu kebenarannya. Bagaimana aku menghadapi keluarga besarku? " Lagi-lagi Reni mengusap wajahnya, kali ini dia juga mengacak rambutnya frustasi.
" Jadi begini akhirnya ketika aku memaksakan cintaku pada sahabatku sendiri. Apa ini hukum sebab akibat yang harus aku terima karena aku memanfaatkan keterpurukannya dulu?" Gumam Reni.
" Oh Tuhan... rupanya akulah yang jahat di sini" Reni menengadahkan wajahnya, menatap langit malam yang di penuhi benda langit yang berkilauan bernama bintang.
Keesokan harinya. Reni yang telah memnatapkan hatinya untuk kembali ke kampung halamannya. Hari ini juga dia harus menemui Reyhan, Sepupunya. Reni juga ingin berkunjung ke makam anaknya, sungguh rasa bersalah karena mencintai Zehya dan tidak mengetahui keberadaan anak kandungnya kian mendera.
Perjalanannya menuju kediaman Reyhan sangatlah lancar. Seolah semua telah diatur oleh seseorang. Kini, Reni telah berdiri di depan pintu gerbang yang megah, tempat dimana Reyhan tinggal. Berulang kali Reni menghembuskan nafas beratnya. Jonathan yang sedari tadi berdiri di samping Reni hanya mampu diam dan menunggu, hingga Reni beranjak.
" Betapa rumit masalah orang kaya" Komentar Jo dalam hati.
" Apa Reyhan ada di rumah sekarang?" Akhirnya setelah setengah jam hanya berdiri mematung di depan gerbang, Reni bersuara. Jonathan segera menjawab dengan semangat.
" Benar, nyonya. Tuan sudah menunggu kedatangan Nuonya".
" Apa Bagas yang memberitahukan pada Reyhan?" Pertanyaan itu sontak terlintas di kepala Reni begitu mengingat betapa erat hubungan persahabatan antara Bagas dan Reyhan. Jonathan mengangguk kecil. Enggan untuk menjawab.
" Apa hanya aku yang tidak mengetahui kebenarannya, Jo?" Reni menghela nafasnya. " Ayo, kita selesaikan ini secepat mungkin" .
" Mari nyonya" Jo mempersilahkan Reni untuk masuk ke mini cooper yang sedari tadi sudah terparkir dengan rapi di samping pos satpam. Reni mengikuti semua arahan dari Jonathan tanpa protes. Bukan hal asing baginya, Keluarga besar ibunya melangkah sangat kaya. semua keluarga inti memiliki rumah yang lebih pantas dia sebut mansion karena luas dan megahnya bangunan itu.
Mobil yang mereka tumpangi melewati taman yang luas dan terawat, ada juga berbagai tumbuhan buah dan bunga yang tumbuh dengan subur. Sejenak, Reni melupakan segala rasa yang menyiksanya selama dia fokus menikmati suguhan alam yang tersedia di depannya.
Mobil berhenti di depan pintu besar dari bangunan utama mansion milik Reyhan. Jo membukakan pintu dan mempersilahkan Reni untuk turun. Pintu besar itu terbuka, menampilkan pemandangan yang mampu membuat dahi Reni terlipat. Bagaimana tidak terkejut? jika kedatangannya di sambut oleh dua belas pelayan dengan seragam hitam putih yang rapi dan modis.
" Selamat datang, Nyonya" Ucap mereka serentak sembari membungkuk kecil. Reni mengelus dahinya yang tidak berkeringat.
" Jo. kau tau ? ini sangat berlebihan" Protesnya. Jo menggaruk tengkuknya.
" Lama tidak bertemu, Nyonya " Sapaan dari Tomo, kepala pelayan di Mansion ini mengalihkan arensi Reni.
" Tomo!" Seru Reni. " Kamu di sini? "
" Ya, Nyonya besar meminta saya untuk berada di samping Tuan Reyhan. "
" Begitu, Tomo aku harus segera menemui Reyhan, ada masalah yang aku selesaikan dengannya. Senang bertemu lagi denganmu"
" Silahkan nyonya, saya harap anda merasa nyaman selama anda tinggal disini " Tomo berkata sembari membungkuk kecil dan memberikan kode kepada pelayan untuk segera kembali ke tugas masing-masing.
" Mari nyonya " Jonathan kembali mengambil alih tugasnya, mengantarkan Reni ke ruang kerja Reyhan.
Mereka menaiki lift ke lantai tiga, berjalan lurus melewati koridor yang bernuansa modern klasik yang memanjakan mata dan berhenti di depan sebuah pintu kayu berwarna coklat tua.
Jonathan mengetuk pintu dan berkata lantang.
" Tuan, Nyonya sudah datang" Tak lama, suara Reyhan yang berat menyahut dari dalam.
" Antar dia masuk, Jo" Mendengar suara Reyhan, bayangan malam panas itu memenuhi benak Reni. Sekujur tubuhnya merinding, dia masih ingat dengan jelas bahwa suara itu yang terus mendesah dan memanggilnya dengan sayang. Reni menggelengkan kepalanya berulang kali, mengusir segala bayangan kotor dalam kepalanya. Jonathan menoleh heran, terlebih ketika mendapati wajah Reni yang memerah.
" Apa ada masalah, nyonya?" tanyanya sebelum membuka pintu di depannya. Reni menggeleng, suaranya seolah tercekat di tenggorokan.
" Silahkan nyonya " Jo membuka pintu dan mempersilahkan Reni untuk masuk. Reni menatap lurus ke dalam, dan tatapannya bertemu dengan mata tajam Reyhan. Lagi, seluruh syaraf tubuhnya menegang. Tatapan Reyhan membuat dia dejavu.
" kalau begitu saya permisi, tuan, nyonya" Jonathan undur diri dan menutup kembali pintu besar itu. Sedang Reni mematung di tempatnya.
" Apa kamu sakit?" Pertanyaan Reyhan membawa kesadaran Reni kembali.
" Tidak" jawabnya singkat.
" Kamu terlihat pucat, Reni" Ujar Reyhan lagi.
Reni memejamkan matanya, kedua tangannya mengepal, semua kekecewaan dan kemarahan yang beberapa hari ini dia simpan akhirnya meledak. Wanita lembut itu berjalan cepat dan menerjang Reyhan. Memukulkan kedua tangan nya pada dada bidang Reyhan. Lelaki itu mundur beberapa langkah dan akhirnya punggungnya membentur lemari, namun dia hanya membiarkan Reni melampiaskan semua kekesalannya.
Pukulan Reni tidak mereda hingga Reyhan merasa geli. Ya, bukan sakit tapi geli.
" Cukup. tanganmu sudah memerah" Ujar Reyhan sembari menangkap kedua tangan Reni dengan tangan kokohnya. Reni mendongak, air mata sudah mengalir dengan bebas di kedua pipinya. Reyhan termenung. Selama mereka saling mengenal, baru kali ini dia melihat tangis penuh luka dari sepupunya.
" Reyhan, dimana kau memakamkan anak ku?" Pertanyaan itu mengejutkan Reyhan. Lelaki itu menatap Reni intens.
" Putra kita, Reni. Dan apa kamu bilang? Makam? Hei, siapa yang mengatakan padamu bahwa putra kita sudah mati?"
" Bagas" Jawab Reni pelan. Reyhan menghela napas, dan memejamkan matanya. Menahan gejolak yang mulai muncul karena posisi mereka sangat ambigu.
" Hah.. dia melimpahkan semua tanggung jawab untuk menjelaskan padamu padaku.. Ayo. lebih baik kita duduk, dan dengarkan ceritaku" Reyhan melepaskan tangan Reni dan menjauhkan tubuh mereka. Melangkah dengan pelan dan duduk di sofa yang tersedia di dalam ruang kerjanya.
Reni mengikuti Reyhan dan duduk sedikit berjarak dari sepupunya.
" Jadi, bisa jelaskan semua sekarang? " Tanya Reni, dia tak ingin berlama-lama di satu ruangan dengan Reyhan. Entah mengapa tubuhnya memberikan alarm bahaya jika terus bersama Reyhan.
" Berjanjilah untuk tidak menyelaku" Reni memicingkan matanya, namun akhirnya menyetujui syarat dari Reyhan.
Lelaki itupun mulai bercerita, sepanjang mendengarkan cerita dari Reyhan, Reni mengekspresikan berbagai perasaan, mulai dari membelalakan matanya, membekap mulutnya, dan menangis.
" Kamu tidak bisa menyalahkan Bagas maupun Syeina, juga diriku dan dirimu. Keadaan saat itu memaksa kami yang belum dewasa untuk mengambil keputusan yang berakhir seperti sekarang. Aku harap, kita semua bisa berdamai dengan keadaan, Reni, dan untuk putra kita. Maher, dia sudah sangat lama menantikan kehadiranmu, ibunya"
Reyhan menutup sesi cerita masalalunya. Dengan telaten dia mengulurkan sekotak tisu pada Reni. Membantu wanita itu menenangkan diri dengan ucapan lembut di punggung, dan menyandarkan kepala Reni ke pundaknya.
" Oh tuhan... betapa bodohnya aku... Berulang kali Bagas menunjukan keputusannya untuk berpisah denganku sejak Zehya berusia satu tahun... walau tidak dengan cara yang kasar dan jahat, tapi Bagas selalu berusaha untuk membuatku sadar bahwa hatinya, hidupnya sudah dia berikan lada Syeina... " Reni menyesali ke egoisan dirinya." Benar... Bagas, lagi, lagi Benar. Bukan cinta yang aku miliki untuknya, tapi hanya dedikasi sebagai seorang istri, ibu dan menantu.. Reyhan. Bagaimana caraku menembus semua ke egoisanku pada kalian?"
Reni, wanita baik hati yang berpikiran luas dan mampu mengetahui semua kesalahannya, Wanita yang tulus dan berdedikasi tinggi untuk keluarganya, namun tidak mampu memahami perasaannya sendiri.
Reyhan tersenyum pada Reni.
" Jalani hidupmu dengan baik dan bahagia, Reni"