Seorang wanita yang hilang secara misterius, meninggalkan jejak berupa dokumen-dokumen penting dan sebuah jurnal yang penuh rahasia, Kinanti merasa terikat untuk mengungkap kebenaran di balik hilangnya wanita itu.
Namun, pencariannya tidak semudah yang dibayangkan. Setiap halaman jurnal yang ia baca membawanya lebih dalam ke dalam labirin sejarah yang kelam, sampai hubungan antara keluarganya dengan keluarga Reza yang tak terduga. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Di mana setiap jawaban justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan.
Setiap langkah membawanya lebih dekat pada rahasia yang telah lama terpendam, dan di mana masa lalu tak pernah benar-benar hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aaraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Museum Kota
Pagi itu, sebelum jam pelajaran pertama dimulai, Kinanti, Reza, dan Nadia sudah berada di sekolah. Tetapi kali ini mereka tidak hanya bertiga, melainkan berempat dengan Dimas, sahabat sekaligus rekan Reza dalam kepengurusan osis dan juga basket. Setelah perdebatan panjang dan banyaknya pertimbangan, akhirnya mereka bertiga sepakat untuk memasukan Dimas dalam tim pencarian ini.
Singkatnya, akhirnya mereka berhasil menyelinap ke area gudang sekolah berkat kunci cadangan yang Reza miliki sebagai ketua OSIS.
"Menurut catatan Kartika, ruang bawah tanah sekolah harusnya di sekitar sini," bisik Kinanti sambil menyorotkan senter ke sudut-sudut gelap gudang.
Setelah setengah jam mencari, mereka menemukan sebuah pintu kayu tua tersembunyi di balik tumpukan bangku rusak. Namun, ketika mereka membukanya, yang mereka temukan hanya ruangan kosong dengan lantai semen yang retak.
"Tunggu," Reza menunjuk ke dinding. Ada ukiran samar yang hampir tak terlihat
Kebenaran tersimpan di tempat yang terlalu jelas untuk dicurigai. Museum menyimpan kuncinya
"Museum?" Nadia mengerutkan kening. "Museum Kota maksudnya?"
"Itu masuk akal," Reza mengangguk. "Museum itu kan dulunya gedung pemerintahan Belanda. Kartika mengajar anak-anak pejabat Belanda..."
Dimas, yang baru bergabung dengan mereka, menambahkan, "Dan gedung sekolah kita dulunya juga milik Belanda. Mungkin ada terowongan yang menghubungkan keduanya?"
"Atau mungkin..." Kinanti membuka kembali catatan harian Kartika, "ruang bawah tanah ini hanya petunjuk untuk menemukan lokasi yang sebenarnya."
Mereka memutuskan untuk menyelidiki Museum Kota sepulang sekolah. Dengan bantuan Reza dan Dimas yang mengurus surat izin penelitian dari sekolah, mereka berhasil mendapatkan akses ke museum menjelang jam tutup.
Sesampainya di Museum
"Kita tidak seharusnya di sini," bisik Nadia, matanya melirik was-was ke arah penjaga museum yang baru saja lewat. Museum Kota Yogyakarta sudah hampir tutup, dengan hanya beberapa pengunjung tersisa di galeri utama.
"Justru ini waktu yang tepat," jawab Dimas dengan penuh keyakinan. Sebagai wakil ketua OSIS, Dimas memang terkenal lebih berani mengambil risiko walaupun agak sembrono. "Lagipula, kita punya izin resmi untuk penelitian sejarah."
Kinanti mengeluarkan surat izin penelitian yang ditandatangani oleh Pak Kepala Sekolah – hasil dari kemampuan diplomasi Reza sebagai ketua OSIS. Di sampingnya, Reza sibuk membolak-balik catatan harian Kartika, mencari petunjuk yang mereka butuhkan.
"Ini," Reza menunjuk salah satu entri. "Tanggal 25 September 1945. Kartika menulis tentang pertemuan rahasia di museum ini."
*Museum menyimpan lebih dari sekadar sejarah. Di bawah lantai marmer yang dingin, rahasia-rahasia menunggu untuk diungkap. Hardjo berkata dokumen-dokumen itu akan aman di sini. Tidak ada yang akan mencari di tempat yang terlalu jelas.*
"Nah, itu dia masalahnya," Dimas menggaruk kepalanya. "Bagaimana kita bisa mencari ruang rahasia kalau museumnya akan tutup dalam..." dia melirik jam tangannya, "...lima belas menit?"
"Serahkan padaku," Nadia tersenyum penuh arti. Dia mengeluarkan kameranya dan berjalan menghampiri salah satu penjaga museum. "Pak, saya dari klub fotografi SMA Bhakti Nusantara. Kami sedang mengerjakan proyek dokumentasi untuk lomba fotografi sejarah. Boleh kami tinggal sebentar lebih lama? Cahaya senja begini bagus untuk foto."
Sementara Nadia mengalihkan perhatian penjaga museum, Kinanti dan Reza bergerak ke bagian arsip museum. Dimas berjaga di pintu, berpura-pura tertarik pada lukisan tua di dinding.
"Lihat ini," Kinanti menunjuk sebuah katalog tua. "Ada catatan tentang dokumen yang hilang pada tahun 1945. Tepat setelah tanggal dalam catatan harian Kartika."
"Dan lihat siapa yang tercatat sebagai pengunjung terakhir sebelum dokumen itu hilang," Reza menunjuk sebuah nama yang familiar. "Hardjo dari toko Pusaka Sejati."
Tiba-tiba, mereka mendengar suara langkah kaki mendekat. Kinanti cepat-cepat menyimpan katalog itu kembali, tapi selembar kertas terjatuh dari dalamnya. Reza mengambilnya – sebuah denah tua museum.
"Kalian tidak seharusnya di sini," sebuah suara mengagetkan mereka. Pak Darmawan, ayah Kinanti, berdiri di ambang pintu ruang arsip. Di belakangnya, pria berjas yang mereka lihat di toko antik dan kedai kopi mengintip dengan tatapan tajam.
"Papa?" Kinanti terkejut. "Apa yang Papa lakukan di sini?"
"Harusnya Papa yang bertanya begitu," Pak Darmawan menghela nafas berat. "Kinanti, ini bukan permainan. Ada hal-hal yang lebih baik tetap tersembunyi." Ucap Pak Darmawan dengan penuh penekanan.
"Seperti ruang rahasia di bawah museum ini?" Reza memberanikan diri bertanya, tangan kirinya menggenggam denah yang baru mereka temukan, sementara tangan kanannya menggenggam tangan Kinanti yang mulai gemetar karena takut.
Sebelum Pak Darmawan bisa menjawab, terdengar keributan dari arah galeri utama. Suara Nadia yang panik memanggil nama Dimas, diikuti suara benda yang jatuh dan pecah.
"Ada yang mencuri artefak!" teriak seorang penjaga museum.
Dalam kebingungan yang terjadi, Kinanti melihat pria berjas itu menyelinap ke arah gudang museum. Dia segera memberi isyarat pada Reza, yang langsung mengerti maksud dari isyarat tersebut.
"Pak," Reza berkata pada Pak Darmawan, "kalau memang ada yang harus tetap tersembunyi, mungkin sekarang saatnya memberitahu kami sebelum orang lain menemukannya lebih dulu."
Pak Darmawan menatap mereka lama, sebelum akhirnya menghela nafas panjang. "Ikut Papa. Tapi ini harus jadi rahasia. Kartika..." dia terdiam sejenak, "...ada alasan kenapa dia menghilang. Dan alasan yang sama masih berbahaya hingga hari ini."
Di galeri utama, Nadia berhasil menangkap "pencuri" yang ternyata adalah pengalihan perhatian yang dia dan Dimas atur. Mereka berdua tersenyum penuh arti ke arah Kinanti dan Reza.
Sementara Pak Darmawan memimpin jalan ke arah gudang museum, Kinanti tidak bisa tidak menyadari bagaimana tangan Reza secara protektif berada di dekatnya, siap melindungi. Di belakang mereka, derap langkah samar menandakan bahwa petualangan mereka baru saja dimulai.
"Papa," Kinanti bertanya pelan, "apa yang sebenarnya Kartika simpan di bawah sini?"
"Bukan apa," Pak Darmawan menjawab sambil mendorong sebuah lemari tua, mengungkap pintu tersembunyi di baliknya, "tapi siapa."
Saat mereka mengikuti Pak Darmawan menuruni tangga rahasia di gudang museum, Kinanti teringat ukiran di ruang bawah tanah sekolah. Semuanya mulai masuk akal – Kartika sengaja meninggalkan petunjuk di sekolah untuk mengarahkan pencari yang tepat ke museum ini.
"Papa," Kinanti bertanya pelan lagi, "apa ruang bawah tanah di sekolah juga bagian dari rencana Kartika?"
"Ya," Pak Darmawan mengangguk sambil terus menuruni tangga. "Dia membuat jaringan petunjuk yang hanya bisa dipecahkan oleh orang yang cukup pintar dan peduli untuk mencari tahu kebenarannya. Dan sepertinya..." dia melirik ke arah Kinanti dan teman-temannya, "...dia memilih dengan tepat."