Zharagi Hyugi, Raja ke VIII Dinasti Huang, terjebak di dalam pusara konflik perebutan tahta yang membuat Ratu Hwa gelap mata dan menuntutnya turun dari tahta setelah kelahiran Putera Mahkota.
Dia tak terima dengan kelahiran putera mahkota dari rahim Selir Agung Yi-Ang yang akan mengancam posisinya.
Perebutan tahta semakin pelik, saat para petinggi klan ikut mendukung Ratu Hwa untuk tidak menerima kelahiran Putera Mahkota.
Disaat yang bersamaan, perbatasan kerajaan bergejolak setelah sejumlah orang dinyatakan hilang.
Akankah Zharagi Hyugi, sebagai Raja ke VIII Dinasti Huang ini bisa mempertahankan kekuasaannya? Ataukah dia akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs Dream Writer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Hangat Raja dengan Selir Hwa
Mei Li berdiri dengan tubuh gemetar, perasaan bercampur aduk memenuhi dadanya. Ia tidak pernah membayangkan momen seperti ini akan terjadi, terlebih di malam pertama Raja kembali ke istana. Ia menunduk, tidak berani menatap langsung ke wajah Raja Zharagi yang kini berdiri di dekatnya, menatapnya dengan pandangan lembut namun penuh ketegasan.
“Mei Li,” suara Zharagi terdengar rendah namun tegas, “aku tidak ingin kau merasa takut atau terbebani. Jika ada sesuatu yang membuatmu ragu, katakan.”
Mei Li menggeleng pelan, suaranya hampir tak terdengar. “Hamba tidak merasa terbebani, Yang Mulia. Kehadiran Anda di sini adalah sebuah kehormatan.”
Zharagi tersenyum kecil, mendekati Mei Li dengan langkah perlahan. Ia mengangkat tangan, menyentuh lembut dagu Mei Li, membuat wanita itu mendongak perlahan. Mata mereka bertemu, dan Mei Li merasa seperti tenggelam dalam kedalaman tatapan Raja.
“Mei Li, kau adalah seseorang yang istimewa. Bukan hanya sebagai pengasuh Putera Mahkota, tetapi juga seseorang yang memberikan kedamaian di tengah kehidupanku yang penuh gejolak,” ujar Zharagi dengan nada tulus.
Mei Li hanya mampu mengangguk, tidak tahu harus berkata apa. Ia membiarkan Raja memimpin malam ini, tubuhnya kaku namun hatinya bergejolak. Ketika Zharagi mengulurkan tangan untuk membelai rambutnya, Mei Li menutup mata, menikmati momen itu dengan perasaan bahagia yang sulit dijelaskan.
Zharagi membawa Mei Li duduk di sisi tempat tidur, jemarinya menyentuh pipi Mei Li dengan lembut. “Aku tidak ingin kau merasa takut atau terpaksa. Jika kau tidak menginginkannya, aku tidak akan memaksa.”
Mei Li membuka matanya, menatap Raja dengan penuh kepercayaan. “Yang Mulia, hamba adalah milik Anda. Apapun yang Anda inginkan dari hamba adalah sebuah kebahagiaan bagi hamba.”
Satu demi satu, simpul kain di tubuh Mei Li dilepaskan Zharagi dengan lembut dan penuh gairah. Tangannya meraih bukit kembar Mei Li, lalu memagutnya dengan lembut dan penuh kasih. Bayangan mendiang Selir Agung kesayangannya, kembali didapatkan pada tubuh wanita di depannya ini. Hal yang begitu mirip sehingga Zharagi tak lagi bisa berhenti.
Malam itu, di bawah cahaya redup lentera, Sang Raja membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan dan kelembutan yang hanya dapat diberikan oleh Mei Li. Sementara itu, Mei Li menerima semua dengan penuh kerelaan, merasakan kebahagiaan sederhana dari kesempatan melayani Raja dengan sepenuh hati.
Malam berlalu dengan penuh keintiman, meninggalkan jejak perasaan yang mendalam di hati keduanya. Bagi Mei Li, ini bukan hanya tentang kehormatan sebagai seorang selir, tetapi juga tentang perasaan yang selama ini ia pendam jauh di dalam hati.
Pagi belum tiba, namun kehangatan malam itu masih terasa dalam kamar Mei Li. Raja Zharagi berbaring di sisi tempat tidur, tubuhnya bersandar santai pada bantal yang tersusun rapi. Pandangannya tertuju pada Mei Li, yang duduk di tepi tempat tidur dengan wajah merona, berusaha menutupi tubuhnya dengan kain tipis.
Zharagi tersenyum, pandangannya tak berpaling dari Mei Li. “Mei Li, aku harus mengatakan sesuatu kepadamu.”
Mei Li menunduk, malu bertemu pandang dengan Raja. “Apakah ada yang tidak berkenan, Yang Mulia?”
Zharagi terkekeh kecil, suaranya rendah namun menggema di ruangan yang sepi. “Sebaliknya, aku ingin memujimu. Kau memiliki keindahan yang luar biasa, Mei Li. Tubuhmu seperti seni yang diciptakan para dewa. Aku... sangat puas malam ini.”
Kata-kata itu membuat wajah Mei Li semakin merona. Ia menggigit bibir bawahnya, tidak tahu bagaimana harus merespons pujian seperti itu. “Yang Mulia terlalu berbaik hati pada hamba.”
Zharagi duduk tegak, menarik tubuh Mei Li mendekat kepadanya. Jemarinya membelai lembut rambut wanita itu, lalu turun ke pipinya yang memerah. “Aku hanya mengatakan kebenaran. Kau adalah seorang wanita yang memikat, bukan hanya karena tubuhmu, tetapi juga kelembutanmu, dedikasimu pada Putera Mahkota, dan ketenangan yang kau bawa ke dalam hidupku.”
Mei Li menatap Zharagi dengan mata berkilau. Ada kehangatan dalam setiap kata yang diucapkannya, membuat hatinya terasa bergetar. “Hamba hanya ingin memberikan yang terbaik untuk Anda, Yang Mulia. Itu saja sudah cukup bagi hamba.”
Zharagi menarik Mei Li ke dalam pelukannya, membisikkan sesuatu di telinganya, "Kau telah memberikan lebih dari yang kubayangkan, Mei Li. Kau milikku."
Zharagi kembali menuntun Mei Li untuk melayaninya, dia membaringkan Mei Li lalu menghujamkan kembali pusaka kelelakiannya untuk
Malam itu, keintiman di antara mereka menjadi semakin dalam. Raja Zharagi tidak hanya melihat Mei Li sebagai selirnya, tetapi juga sebagai seseorang yang istimewa, yang mampu memberikan rasa tenang di tengah kehidupan kerajaannya yang penuh tekanan. Sementara itu, Mei Li merasa bahagia karena bisa memberikan kebahagiaan bagi Raja, meskipun ia tahu perasaan ini tidak bisa ia miliki sepenuhnya.
Sementara itu di kediaman Ratu Hwa, suasana terasa sunyi, namun ada ketegangan yang tak terlihat. Sang Ratu duduk di ruang pribadinya, memandang keluar jendela besar yang memperlihatkan bulan purnama yang menggantung di langit malam. Wajahnya yang biasanya tenang menunjukkan sedikit kegelisahan. Dia tahu bahwa malam ini, Raja Zharagi yang baru saja kembali dari medan perang tidak mengunjungi kediamannya, melainkan kediaman selir Mei Li.
Ratu Hwa menggenggam cangkir teh hangat di tangannya, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Sebagai Ratu, dia memahami perannya, bahwa cinta Raja tidak sepenuhnya menjadi miliknya. Namun, rasa cemburu yang manusiawi tetap menggerogoti hatinya. Apalagi, ia tahu bahwa Mei Li memiliki posisi istimewa di hati Zharagi, terutama karena kedekatannya dengan Putera Mahkota.
Seorang pelayan pribadi mendekat dengan sikap hati-hati. "Yang Mulia, apakah Anda memerlukan sesuatu lagi malam ini?" tanyanya lembut.
Ratu Hwa menggeleng pelan. "Tidak, aku hanya ingin waktu untuk diriku sendiri. Kau boleh pergi," jawabnya tanpa menoleh, suaranya tetap terdengar anggun meskipun sedikit dingin.
Setelah pelayan pergi, Hwa menghela napas panjang. "Aku harus tetap tenang," bisiknya pada dirinya sendiri. "Zharagi baru saja kembali dari perang. Ia pasti merindukan Putera Mahkota. Dan Mei Li... dia hanya berperan sebagai pengasuh."
Namun, dalam hatinya, Ratu Hwa tahu bahwa itu lebih dari sekadar hubungan pengasuh dan anak. Ia telah memperhatikan bagaimana Zharagi menatap Mei Li dengan penghargaan yang mendalam, sesuatu yang jarang ia temukan dalam hubungan mereka sendiri.
“Tidak. Aku tidak boleh kalah,” gumamnya dengan suara yang lebih tegas. “Aku adalah Ratu Kerajaan ini. Jika aku menyerah pada rasa cemburu, maka aku tidak akan pernah bisa memenangkan kembali hatinya.”
Ratu Hwa bangkit dari kursinya dan berjalan menuju lemari kecil di sudut ruangan. Di sana, ia mengambil sebuah kotak kecil yang berisi perhiasan indah. Dia membuka tutupnya, memandang sebuah gelang emas dengan batu safir yang pernah diberikan Zharagi kepadanya pada hari pernikahan mereka. Sentuhan benda itu mengingatkannya pada momen-momen bahagia mereka dahulu.
“Aku harus mengingatkan dia siapa aku,” kata Hwa sambil mengenakan gelang itu. “Aku adalah pasangan yang dipilihnya untuk mendampinginya di tahta. Aku akan bersabar, tetapi aku juga akan bertindak untuk memastikan tempatku tetap di sisinya.”
Malam itu, Ratu Hwa menghabiskan waktunya merencanakan strategi untuk memenangkan kembali perhatian Raja Zharagi. Ia tahu bahwa mengandalkan kecantikan saja tidak akan cukup. Ia harus menjadi seseorang yang tidak hanya membuat Raja terkesan, tetapi juga menjadi figur yang tak tergantikan di hatinya.
Keesokan harinya, Hwa memerintahkan pelayan-pelayannya untuk mempersiapkan sebuah perjamuan kecil di taman istana. Ia memastikan semua detail diatur dengan sempurna—dari dekorasi bunga, makanan favorit Raja, hingga alunan musik tradisional yang akan dimainkan oleh musisi istana. Dia tahu bahwa waktu adalah kunci, dan dia harus memanfaatkan momen ini untuk mengingatkan Raja bahwa dia, Ratu Hwa, masih layak menjadi orang yang paling dekat dengannya.
“Mei Li mungkin memiliki Putera Mahkota,” pikirnya dalam hati, “tetapi aku adalah Ratu. Aku adalah pendamping Raja, dan aku akan memastikan dia tidak melupakan itu.”