Mbak Bian itu cantik.
Hampir setiap pagi aku disambut dengan senyum ramah saat akan menikmati secangkir kopi hangat di kafe miliknya.
Mbak Bian itu cantik.
Setiap saat aku ingin membeli produk kecantikan terbaru, maka mbak Bian-lah yang selalu menjadi penasehatku.
Mbak Bian itu cantik.
Setiap saat aku butuh pembalut, maka aku cukup mengetuk pintu kamar kost tempat mbak Bian yang berada tepat di sampingku.
Ah, mbak Bian benar-benar cantik.
Tapi semua pemikiranku sirna saat suatu malam mbak Bian tiba-tiba mengetuk pintu kamarku. Dengan wajah memerah seperti orang mabuk dia berkata
"Menikahlah denganku Cha!"
Belum sempat aku bereaksi, mbak Bian tiba-tiba membuka bajunya, menunjukkan pemandangan yang sama sekali tak pernah kulihat.
Saat itu aku menyadari, bahwa mbak Bian tidaklah cantik, tapi.... ganteng??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Difar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Putu Bambu
Pria kekar itu memandangku dengan tatapan dingin, membuat bulu kudukku seketika berdiri. Rasanya ada sesuatu hal di dalam diri pria kekar itu yang membangkitkan rasa takut di alam bawah sadarku.
"Lo sebenarnya penjaga kos atau admin lambe-lambean sih? Kepo amat sama urusan orang!"
Dengus mbak Bian yang entah sejak kapan sudah berdiri di sebelahku.
Mbak Bian merapatkan tubuhnya ke arahku, memasang sikap defensif yang aku tak tahu apa alasannya. Yang pasti, mbak Bian bersikap seakan pria kekar itu adalah ancaman yang patut di waspadai.
"Nama gue Johan. Gue cuma pengen tahu. Tadi gue liat ada yang ngerekam dari balkon atas."
Jelasnya sambil memperkenalkan diri dengan suara ketus. Sepertinya dia sangat kesal dengan perlakuan mbak Bian terhadap dirinya. Sekalipun Johan sedang bertanya, tapi sikapnya sama sekali tak mencerminkan orang yang sedang bertanya. Mata dan sikapnya seakan mengatakan bahwa dia tahu akulah orang yang dia cari.
Memang tadi aku sempat merekam tindakan kasar Johan dengan mbak Nina, bahkan videonya tersimpan di ponselku.
"Nggak ada kok, dari maghrib tadi kita udah main Uno."
Mas Jems menjawab santai. Dia menyenderkan tubuhnya di dinding, memandang Johan dengan tatapan geli.
Seketika aku menyadari bahwa hanya akulah manusia yang normal di antara mereka semua. Mbak Bian yang tiba-tiba super defensif, Johan yang bersikap sangat mencurigakan dan mas Jems yang terlihat seperti sedang menikmati sesuatu. Johan terlihat tak puas dengan jawaban mas Jems. Dia kembali melangkahkan kakiknya ke dalam kamar mbak Bian dan berhenti tepat di depanku.
"Siniin HP lo"
Ucapnya, penuh nada perintah.
Tangannya terulur tak sabaran seakan memberi sinyal bahwa baku hantam dapat terjadi sewaktu-waktu jika aku tak menuruti keinginannya.
Aku bisa merasakan keringat dingin mengucur di punggungku. Jika tadi aku begitu sesumbar akan menghajar Johan karena perlakuan kurang ajarnya ke mbak Nina, entah kenapa saat ini keberanianku seperti tersedot habis.
"Hak lo apa minta HP Icha?"
Mbak Bian melangkah maju, berdiri tepat diantara aku dan Johan.
"Lo gak usah ikut campur perempuan sialan!. Ini urusan gue sama ni bocah!"
Bentaknya kasar, menoyor dahi mbak Bian dengan telunjuknya.
Mbak Bian dengan kasar menepis tangan Johan, lagi-lagi membuatku tercengang saat melihat tubuh Johan hampir tejengkang ke samping. Percayalah, sebagai seseorang yang sempat mendalami ilmu beladiri, aku belum pernah melihat perempuan sekuat mbak Bian. Selama ini aku hanya melihat sisi lembut dan feminin milik mbak Bian, membuat naluri ke-adekanku selalu ingin melindungi mbak Bian.
Begitu juga dengan Johan. Saat melihatnya dari atas, aku pikir Johan hanyalah preman kacang-kacang yang sering nangkring di halte bus sambil ngopi dan menanti setoran uang keamanan. Tapi ternyata aku salah! Begitu melihat dari dekat, barulah aku menyadari bahwa Johan lebih mirip bos terakhir di game yang biasa mendiami dungeon dengan emas atau hadiah langka terbanyak.
"Op, santai mas bro. Lo juga sayang, jangan emosian gini dong."
mas Jems merangkul pundak mbak Bian yang langsung membuat ekspresi jijik muncul di wajah mbak Bian. Hmm, sepertinya mas Jems dan mbak Bian sedang terlibat pertengkaran antar kekasih. Mas Jems lalu mengalihkan pandangannya ke arahku, memasang senyum hangat dan menenangkan di sudut bibirnya
"Kasih aja Cha."
"Kalau nggak ada apa-apa, lo mesti minta maaf sama kita. Malam-malam gini ganggui momen asyik orang aja lo"
Mbak Bian mendorong bahu Johan kesal, tetapi senyum lembut langsung muncul di wajahnya saat berbicara kepadaku
"Kasih aja Cha."
Ucapan mbak Bian semakin membuat keringat dingin membanjiri punggungku. Aku sangat yakin video itu masih tersimpan di ponselku. Bagaimana kalau seandainya Johan melihat videonya masih ada di ponselku?.
Sebenarnya, sekalipun aku takut, aku tak masalah kok kalau seandainya Johan melihat video dirinya sedang menganiaya mbak Nina. Aku yakin 100 persen mbak Bian dan mas Jems pasti berpihak kepadaku. Mereka pasti mau kuajak bekerjasama untuk melaporkan tindak kekerasan yang dilakukan oleh Johan. Dengan pemikiran positif itulah, aku menyerahkan ponsel yang sedari tadi kugenggam kepada Johan. Dengan kasar dia merampas ponselku, hampir saja membuat mbak Bian bereaksi dan mencakar wajanya.
Johan mulai memeriksa ponsel dengan teliti, kerut samar mulai terbentuk di kening licinnya, sejalan dengan cahaya lampu yang menari-nari di kepalanya. Kalaulah saja Johan tak mengeluarkan aura berbahaya di sekujur tubuhnya, sudah pasti aku akan tertawa terkekeh melihat kepalanya yang bersinar terang, bak bola lampu yang baru saja di pasang.
"Nih."
Tiba-tiba dia melempar ponselku sembarangan, hampir saja membuat pnselku jatuh mencium lantai. Dengan panik aku meraih ponselku, bersyukur karena bisa menangkapnya tepat waktu. Aku memandang Johan galak, emangnya dia pikir ponselku ini gorengan tiga buah seharga dua ribu, gampang dicari dan gampang dibeli?. Apa dia tak tahu aku terpaksa mengajar privat hingga larut malam disela-sela kegiatan lab yang begitu padat demi ponsel ini?. Bahkan aku pernah hampir pingsan karena kelelahan.
Dasar gundul geblek!
Kalau sempat ponselku terjatuh dan berderai di tanah, sudah kupastikan aku akan menyingkirkan rasa takutku dan mulai menuntutnya, bahkan hingga titik darah penghabisan sekalipun.
"Minta maaf lo!"
Ucap mbak Bian sambil menarik kerah baju Johan kesal.
Mbak Bian memang sangat tinggi untuk ukuran wanita, tapi jika dibandingkan dengan Johan, mbak Bian masih kalah beberapa centi.
Johan menepis tangan mbak Bian kasar, mencengkramnya hingga bekas merah terbentuk di pergelangan tangan mbak Bian. Sepertinya dia memang tipe orang yang tak pandang bulu dalam memperlakukan seseorang, entah itu laki-laki ataupun perempuan.
Mbak Bian berdecih, dengan gerakan cepat dia memutar tangannya, membuat tubuh Johan kini berbalik dengan tangan terpelintir.
"Lo jangan suka sepelein orang lek!"
Desis mbak Bian sinis. Dia lalu mendorong tubuh Johan ke depan hingga jatuh tersungkur.
Wajah Johan tak hanya sekedar memerah, bahkan nyaris membiru menahan amarah. Rasanya aku bisa melihat uap keluar dari telinga Johan. Dia lalu bangkit, bersiap menerjang mbak Bian. Tetapi gerakan Johan berhenti begitu suara ketukan di pintu terdengar diiringi dengan suara riang seseorang
"Putu bambu, putu bambu!"
Suasana tegang mendadak luruh diantara kami, semua mata kini tertuju ke arah seseorang yang sedang berdiri di pintu dengan tatapan polos tanpa dosa. Mas Raka yang sedang cengengesan di depan pintu terdiam begitu menyadari suasana canggung di antara kami. Dia memiringkan kepalanya bingung sambil menggaruk kepalanya yang aku yakin sama sekali tak gatal.
"Mau.. Putu bambu?"
Tawarnya tak yakin sambil mengangkat bungkusan putih di tangannya.
Johan mendecih kesal, lalu kembali menatap mbak Bian
"Eh, perempuan sialan! Urusan kita belum selesai!"
Ucapnya ketus, sarat akan nada mengancam.
Dia lalu berjalan meninggalkan kami yang hanya bisa menatap punggung kekarnya dengan berbagai pikiran masing-masing. Setelah Johan pergi, kami kembali memfokuskan tatapan ke arah mas Raka yang terlihat kebingungan.
"Apa?"
Tanya mas Raka dengan ekspresi polos, sepolos pantat bayi baru lahir.