NovelToon NovelToon
Exchange The Dead Bahasa Indonesia

Exchange The Dead Bahasa Indonesia

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Sistem
Popularitas:367
Nilai: 5
Nama Author: Dewa Leluhur

Muak seluruh semesta saling membunuh dalam pertikaian yang baru, aku kehilangan adikku dan menjadi raja iblis pertama kematian adikku menciptakan luka dalam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewa Leluhur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perfect Imitation

Dengan penuh konsentrasi, Arata mulai mengikuti setiap instruksi Dewi Eika. Tangannya bergerak hati-hati mengukir garis-garis spiritual di atas sebongkah kayu pilihan yang telah diberi signature magis. Keringat mengalir di dahinya sementara dia berusaha mengingat setiap detail yang telah dijelaskan.

"Pelan-pelan," Dewi Eika memperingatkan, mengamati gerakan Arata dengan seksama. "Setiap garis harus presisi. Sedikit saja melenceng, resonansinya akan kacau."

Arata mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari pekerjaannya. Dia telah menghabiskan berjam-jam mempelajari diagram-diagram rumit, memahami aliran energi spiritual, dan berlatih membuat signature magis. Sekarang, dengan hati-hati, dia mulai menyusun bagian-bagian manekin pertamanya.

"Bagus," Eika mengangguk saat Arata berhasil menyelesaikan rangka dasar. "Sekarang, mulailah dengan circuit spiritualnya. Ingat, setiap titik harus terhubung dalam harmoni sempurna."

Dengan tangan sedikit gemetar, Arata mulai menarik garis-garis energi. Kristal Essence di tangannya berdetak lembut, seolah merespons setiap gerakannya. Namun, saat dia hampir menyelesaikan rangkaian pertama, tangannya terpeleset.

"Tidak!" Dewi Eika berseru, tapi terlambat.

Garis yang salah itu menciptakan distorsi dalam aliran energi. Dalam sekejap, seluruh rangkaian spiritual mulai bereaksi tak terkendali. Cahaya keemasan yang tadinya mengalir lembut berubah menjadi kilatan-kilatan liar.

"Mundur!" perintah Eika, menarik Arata menjauh dari meja.

Di hadapan mereka, manekin yang belum selesai itu mulai bergetar. Garis-garis spiritualnya menyala terang, saling bertabrakan dalam kekacauan energi. Kayu yang telah diberi signature magis retak, menciptakan suara gemeretak mengerikan.

"Apa yang terjadi?" Arata bertanya panik.

"Resonansi kacau," Eika menjawab tegas. "Satu garis yang salah mengacaukan seluruh harmonisasi. Lihat!"

Manekin itu kini berpendar dalam cahaya yang menyilaukan. Retakan-retakan muncul di seluruh permukaannya, memancarkan energi spiritual yang tak terkendali. Dalam hitungan detik, seluruh struktur mulai runtuh.

PRANG!

Suara ledakan kecil memenuhi ruangan saat manekin itu akhirnya hancur berkeping-keping. Serpihan kayu dan kristal berhamburan di lantai, masih menyisakan jejak-jejak cahaya keemasan yang perlahan memudar.

Arata terduduk lemas, menatap hasil kerjanya yang kini berserakan. "Aku... gagal."

Dewi Eika menghela napas panjang. "Ya, kau gagal." Dia berjalan mendekati serpihan-serpihan manekin. "Tapi kegagalan ini mengajarkan sesuatu yang penting."

"Apa itu?"

"Bahwa menciptakan kehidupan bukanlah hal yang bisa dianggap remeh." Eika mengambil sepotong kayu yang masih menyimpan sisa signature magis. "Setiap detail, setiap garis, setiap titik koneksi—semuanya harus sempurna. Tidak ada ruang untuk kesalahan."

Dia berbalik menghadap Arata. "Dalam penciptaan manekin, kesalahan sekecil apapun bisa berakibat fatal. Bukan hanya pada manekinnya, tapi juga pada jiwa yang akan menempatinya."

Arata bangkit perlahan, memandangi kekacauan di hadapannya. "Aku mengerti sekarang. Ini bukan sekadar tentang membuat wadah yang sempurna, tapi juga tentang tanggung jawab terhadap kehidupan itu sendiri."

"Tepat," Eika mengangguk puas. "Dan sekarang, setelah kau memahami konsekuensinya..." Dia mengambil sebongkah kayu baru. "Mari kita coba lagi."

Arata menegakkan bahunya, determinasi baru terpancar di matanya. Kegagalan ini bukan akhir, melainkan langkah pertama dalam perjalanan panjangnya memahami seni penciptaan kehidupan.

"Kali ini," Dewi Eika berkata sambil meletakkan sebongkah kayu baru di hadapan Arata, "perhatikan aliran energimu sendiri. Energi spiritualmu harus tenang dan terkendali saat membuat signature magis."

Arata menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih berdebar akibat kegagalan sebelumnya. Dia menutup mata sejenak, merasakan energi yang mengalir dalam dirinya.

"Bagus," Eika mengangguk melihat sikap Arata yang lebih tenang.

"Sekarang, mulailah dengan signature dasar." Kali ini, gerakan tangan Arata lebih mantap. Dia membuat garis-garis signature dengan lebih perlahan namun lebih presisi.

Kristal Essence di tangannya berdetak harmonis, seolah mengikuti ritme napasnya. "Lihat bagaimana energinya mengalir," Eika menunjuk pada garis-garis keemasan yang mulai terbentuk. "Setiap signature yang kau buat harus memiliki resonansi yang sama dengan energi

Arata mengangguk tanpa menghentikan gerakannya. Perlahan tapi pasti, signature magis mulai terbentuk sempurna di permukaan kayu.

Tidak seperti sebelumnya yang terkesan dipaksakan, kali ini aliran energinya mengalir natural.

"Sekarang," Eika melanjutkan, "mulailah dengan circuit spiritualnya. Ingat, jangan terburu-buru. Biarkan energinya mengalir secara alami." Dengan ketelitian tinggi, Arata mulai menggambar circuit spiritual.

Setiap garis dia buat dengan penuh perhitungan, memastikan setiap titik koneksi terhubung dengan sempurna. Keringat kembali mengalir di dahinya, tapi kali ini bukan karena ketegangan, melainkan konsentrasi mendalam. "Lihat itu," Eika tersenyum puas. "Circuit-nya—" Arata membuat kesalahan yang membuatnya terlepas kendali energi magisnya tidak beraturan seperti menit sebelumnya.

"Padahal sudah sejauh ini—" Eika menggeleng kepala, tidak heran Arata terlepas kendali itu terlihat seperti tipe orang yang langsung puas dengan hasil.

Dewi Eika menghela nafas panjang. Setelah kegagalan kedua Arata, dia memutuskan strategi berbeda mungkin akan lebih baik.

"Arata, kurasa kau butuh waktu untuk fokus sendirian," ujar Eika sambil bangkit berdiri. "Terkadang kehadiranku malah membuatmu terlalu tegang. Aku akan berkeliling kota sejenak bersama para maidku."

"Tapi Dewi—" Arata hendak memprotes.

"Tidak apa-apa," Eika tersenyum lembut. "Gunakan waktu ini untuk menemukan ritme naturalmu sendiri. Aku akan kembali saat matahari mulai terbenam."

Empat maid pribadi Dewi Eika yang selama ini berdiri diam di sudut ruangan segera mendekat. Mereka adalah manekin-manekin sempurna, dengan gerakan yang begitu halus dan natural hingga nyaris tak bisa dibedakan dari manusia sungguhan.

Eika melangkah keluar bersama para maidnya, meninggalkan Arata yang masih duduk termenung di depan meja kerjanya. Udara siang yang hangat menyambut sang Dewi begitu dia keluar dari bangunan kastil.

Sepanjang jalan menuju pusat kota, para penduduk—yang sebagian besar adalah manekin—membungkuk hormat melihat kedatangan sang Dewi. Eika membalas dengan senyum dan sapaan ramah.

"Dewi Eika!" seorang pedagang manekin memanggil dari kedainya. "Mohon terima persembahan buah-buahan segar ini!"

"Terima kasih," Eika menerima keranjang buah itu dengan sukacita. Meski para manekin tidak membutuhkan makanan, mereka tetap menjalankan aktivitas layaknya manusia normal—bertani, berdagang, bahkan memasak.

Sementara itu, Arata bekerja dalam diam. Tanpa tekanan kehadiran sang Dewi, dia mulai menemukan ritmenya sendiri. Tangannya bergerak lebih bebas namun tetap presisi, menciptakan signature dan circuit spiritual dengan tingkat akurasi yang belum pernah dia capai sebelumnya.

Jam demi jam berlalu. Matahari mulai condong ke barat saat Arata akhirnya menyelesaikan manekin pertamanya—sebuah replika dirinya sendiri. Dia tersenyum puas memandangi hasil karyanya.

"Dewi Eika? Bagaimana menurut Anda?" tanya Arata penuh harap. Sang Dewi mengamati manekin buatan Arata dengan seksama, wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun.

Tanpa kata, Eika mengangkat tangannya. Dalam sekejap, manekin yang telah susah payah dibuat Arata hancur berkeping-keping.

"Apa—kenapa?!" Arata berseru kaget.

"Kau membuat replika dirimu sendiri," Eika berkata dingin. "Itu adalah bentuk kesombongan tertinggi dalam seni penciptaan manekin. Kau masih belum memahami esensi sejati dari apa yang kuajarkan."

Arata terduduk lemas memandangi serpihan karyanya yang berserakan. Hari itu dia belajar bahwa dalam menciptakan kehidupan, bukan hanya teknik yang penting—tapi juga kerendahan hati dan kebijaksanaan.

1
Fastandfurious
Gemesin banget nih karakternya, bikin baper!
Leluhur: tidak ada karakter menggemaskan kaka
total 1 replies
yeqi_378
Gila PPnya cakep bangeeet, cepetan thor update lagi please!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!