Update Sebulan Sekali (Opsional)
*Author Sedang Melakukan Remake Pada Karya Ini
Local Galactic Group, dimensi yang menjadi ajang panggung pertarungan para dewa dalam siklus pengulangan abadi. Noah, Raja Iblis pertama harus menghadapi rivalitas abadinya, Arata, Dewa Kegilaan akan tetapi ia perlahan menemukan dirinya terjebak dalam kepingan-kepingan ingatan yang hilang bagaikan serpihan kaca.
The LN dewa pembangkang yang telah terusir dari hierarki dewa. Mendapatkan kekuatan [Exchange the Dead] setelah mengalahkan dewa Absurd, memperoleh kitab ilahi Geyna sebagai sumber kekuatan utama.'Exchange the Dead' kemampuan untuk menukar eksistensi dan mencabut jiwa sesuka hati, mampu menukar kematian ribuan kali, menjadikannya praktis tak terkalahkan menguasai kitab ilahi Dathlem sebagai sumber kekuatan tambahan menciptakan makhluk-makhluk rendah dengan satu bakat sihir sebagai perpanjangan kekuasaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewa Leluhur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Konfrontasi di Ruang Takdir
Tawa itu menggetarkan seluruh dunia Adomte. Bukan suara yang keras, tapi mengandung resonansi yang membuat cermin-cermin takdir bergetar. Arata berbalik, Agroname terangkat dalam posisi siaga.
"Sungguh menghibur," suara itu datang dari segala arah sebelum akhirnya mengkristal menjadi sosok tinggi dalam jubah hitam pekat. "Melihat seorang pemburu dewa akhirnya memahami keterbatasannya sendiri."
Shiesgeld, sang Dewa Pengawas Takdir, melayang beberapa meter di atas platform kristal. Matanya yang keemasan berkilat dengan humor gelap, seolah menikmati setiap detik kebingungan Arata.
"Kau sudah melihatnya, bukan?" Shiesgeld melanjutkan, gesture tangannya yang elegan menunjuk ke cermin takdir. "Bagaimana kisahmu akan berakhir. Seluruh perburuan ini, pengumpulan essence divine... semuanya hanya menuntunmu pada kehancuran di tangan Noah."
Arata tidak menurunkan pedangnya. "Kau menikmati ini."
"Tentu saja!" Shiesgeld tertawa lagi. "Bagaimana tidak? Aku telah menyaksikan ribuan sepertimu — para pemburu realitas yang mengira bisa menantang tatanan divine. Semuanya berakhir sama... hancur oleh ambisi mereka sendiri."
"Kalau begitu katakan padaku," Arata menatap tajam sang dewa, "dalam cermin mana takdirmu tertulis? Apa kau juga sudah melihat bagaimana akhir hidupmu?"
Tawa Shiesgeld terhenti. Untuk sepersekian detik, kilat keemasan di matanya meredup.
"Kau pikir bisa mengintimidasi Dewa Pengawas Takdir?" nada suaranya berubah dingin. "Aku yang menulis takdir! Aku yang—"
"Pembohong," Arata memotong. "Kau tidak menulis takdir. Kau hanya pengawas — seperti penjaga perpustakaan yang tidak bisa mengubah isi buku-bukunya."
Shiesgeld turun ke platform, jubah hitam pekat berkibar tanpa angin. "Hati-hati dengan kata-katamu, pemburu. Kau berada di wilayahku sekarang."
"Kalau begitu tunjukkan," Arata mengambil satu langkah maju. "Tunjukkan cermin takdirmu. Atau kau takut melihat bahwa kedatangan aku, Arata akan mengakhiri hidupmu juga dengan pedang perusak jiwa Agroneme?"
Keheningan yang menyusul terasa begitu berat. Cermin-cermin di sekeliling mereka berpendar lebih terang, seolah merespon ketegangan yang mengental di udara.
"Kau..." Shiesgeld akhirnya berbicara, suaranya nyaris berbisik, "...berani sekali menantangku di sini."
"Aku hanya meminta kejujuran," Arata menjawab tenang. "Dari seseorang yang mengaku sebagai pengawas kebenaran takdir."
Shiesgeld mengangkat tangannya, dan udara di sekitar mereka berubah padat. Cermin-cermin takdir berpendar semakin terang hingga cahayanya menyilaukan.
"Kau ingin melihat takdirku?" suaranya kini mengandung amarah dingin. "Baiklah, akan kutunjukkan padamu kesombongan yang akan membawamu pada kehancuran."
Seluruh dunia Adomte seakan berputar. Cermin-cermin takdir bergerak dalam spiral, menciptakan tornado cahaya yang memaksa Arata memejamkan mata. Ketika dia membukanya kembali, mereka berdiri di hadapan sebuah cermin raksasa yang permukaannya segelap obsidian.
"Lihatlah," Shiesgeld menggerakkan tangannya. "Takdir seorang Dewa Pengawas."
Permukaan cermin hitam itu beriak seperti air, kemudian menampilkan serangkaian bayangan yang bergerak cepat. Arata melihat Shiesgeld dalam berbagai wujud dan masa — mengawasi para dewa, menuliskan takdir mereka, menjaga keseimbangan realitas.
Tapi ada sesuatu yang janggal.
"Cermin ini..." Arata menggenggam Agroname lebih erat, "...tidak menunjukkan masa depanmu."
Shiesgeld tersenyum tipis. "Karena aku berada di luar takdir. Aku pengawasnya, ingat?"
"Atau karena kau takut melihatnya," Arata melangkah maju. Agroname mulai berpendar dengan essence divine yang terkumpul. "Kau bersembunyi di balik tugasmu sebagai pengawas, menertawakan takdir orang lain, tapi kau sendiri takut menghadapi kenyataan."
"DIAM!" Shiesgeld menghentakkan tangannya. Gelombang energi menyapu platform, tapi Arata tetap berdiri tegak. "Kau tidak tahu apa-apa tentang beban yang kupikul! Berabad-abad aku mengawasi, memastikan setiap entitas divine menjalankan takdirnya..."
"Dan itu membuatmu merasa berkuasa," Arata memotong. "Tapi kau salah, Shiesgeld. Kekuasaanmu hanya ilusi. Sama seperti cermin-cermin ini — mereka memantulkan takdir, tapi tidak bisa mengubahnya."
Shiesgeld melayang lebih tinggi, jubah hitamnya berkibar liar. "Kau ingin bukti kekuasaanku? Baik! Akan kutunjukkan padamu!"
Dunia di sekitar mereka mulai retak. Cermin-cermin takdir bergetar hebat, beberapa pecah menjadi serpihan cahaya. Shiesgeld mengangkat kedua tangannya, dan dari kegelapan di antara cermin-cermin, muncul sosok-sosok familiar.
"Para pemburu sebelum dirimu," Shiesgeld tersenyum kejam. "Mereka yang berani menantang tatanan divine... dan berakhir menjadi bagian dari koleksiku."
Puluhan, mungkin ratusan arwah pemburu bermaterialisasi di sekeliling mereka. Mata mereka kosong, tubuh mereka transparan seperti kaca retak.
"Lihat akhir yang menunggumu, Arata," Shiesgeld mengumumkan dengan nada kemenangan. "Kau akan bergabung dengan mereka... setelah Noah menghancurkanmu."
Tapi Arata tidak gentar. Dia mengangkat Agroname, membiarkan essence divine dari para dewa yang telah dia kalahkan mengalir ke seluruh pedang.
"Ada satu hal yang kau lupakan, Shiesgeld," Arata menatap tajam sang Dewa Pengawas. "Mereka tidak memiliki apa yang kumiliki."
"Dan apa itu?" Shiesgeld mendesis.
"Keberanian untuk menentang takdir itu sendiri."
Agroname bersinar terang, memancarkan gelombang energi yang membuat arwah-arwah pemburu lenyap seperti asap tertiup angin. Cermin-cermin takdir bergetar lebih hebat, beberapa mulai retak dari ujung ke ujung.
Shiesgeld mundur selangkah — sebuah gerakan yang tidak luput dari pengamatan Arata.
"Kau..." sang Dewa Pengawas menggeram, "...tidak mungkin..."
"Sekarang kau melihatnya, bukan?" Arata mengambil posisi menyerang. "Takdirmu sendiri... yang selama ini kau sembunyikan."
Cermin-cermin takdir terus bergetar, kini mengeluarkan suara gesekan yang memekakkan telinga. Shiesgeld terlihat semakin gusar, wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi amarah dan... ketakutan?
"Tidak..." dia berbisik, matanya terpaku pada satu cermin yang perlahan muncul dari kegelapan. Cermin ini berbeda — permukaannya seolah terbuat dari darah yang membeku, memancarkan cahaya merah gelap yang menyesakkan.
Arata melihatnya juga. Di dalam cermin itu, terpantul sosok Shiesgeld yang tergeletak dengan Agroname menembus dadanya, essence divine-nya mengalir keluar seperti kabut yang perlahan memudar.
"Jadi ini yang kau takutkan," Arata berkata pelan, pemahaman membanjiri pikirannya. "Kau tahu sejak awal, bahwa aku akan mengakhiri hidupmu."
"TIDAK!" Shiesgeld menjerit, gelombang kekuatan divine menyapu seluruh dunia. "AKU TIDAK AKAN MEMBIARKAN INI TERJADI!"
Tapi sebelum sang Dewa Pengawas bisa melancarkan serangannya, Arata menghilang dari pandangan. Dalam sekejap mata, dia muncul di belakang Shiesgeld, Agroname terangkat tinggi.
"Kau salah tentang satu hal," Arata berbisik di telinga sang dewa. "Aku bukan pemburu biasa yang bisa kau remehkan, simpan namaku di otak kecilmu aku adalah Dewa Utama penciptaan Arzhanzou Arthur Fartha The Arata."
Tepat setelah Agroname menghujam, Arata merasakan perubahan di udara. Essence divine Shiesgeld berubah, mengembang dengan kekuatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
"Dan kau juga salah tentang diriku," suara Shiesgeld berubah, lebih dalam dan lebih tua dari waktu itu sendiri. Jubah hitamnya terkoyak, menampakkan armor dengan simbol-simbol sabit bintang yang berpendar. Arata mengucapkan sihir kuno [Ancient Art: Zoyle Jisc].
"Apa yang kau lakukan?" dia berusaha melawan, tapi proses itu tidak bisa dihentikan.
"Mengubahmu," Arata menjawab tenang, mengangkat Agroname lebih tinggi. "Menjadi apa yang seharusnya — takhta untuk mengendalikan takdir itu sendiri."
Partikel-partikel Shiesgeld berputar semakin cepat, membentuk pola-pola rumit yang menyerupai konstelasi bintang. Essence divine-nya tidak lenyap, melainkan bertransformasi.
"Tidak... TIDAAAK!" jeritannya terdengar semakin jauh, seolah berasal dari dunia lain.
Dalam ledakan cahaya yang membutakan, partikel-partikel itu akhirnya memadat. Di tempat Shiesgeld berdiri sebelumnya, kini muncul sebuah singgasana megah — Shigesties.
Takhta itu memancarkan aura divine yang bahkan membuat Arata terpana. Setiap detail ukirannya menceritakan kisah takdir yang pernah ada. Armrest-nya terbuat dari essence divine yang mengkristal, sandaran punggungnya dihiasi simbol-simbol sabit bintang yang berpendar dengan kekuatan Shiesgeld.
Arata melangkah maju, menyentuh permukaan Shigesties yang dingin namun berdetak dengan kehidupan. Dia bisa merasakan kesadaran Shiesgeld di dalamnya — tidak lagi sebagai entitas, tapi sebagai bagian dari singgasana takdir.
"Sekarang kau benar-benar menjadi pengawas," Arata berbisik. "Bagian dari takhta yang akan kugunakan untuk memimpin Adomte."
Cermin-cermin takdir di sekeliling mereka mulai mereorganisasi diri, menciptakan formasi baru dengan Shigesties sebagai pusatnya. Arata duduk di singgasana itu, merasakan kekuatan tak terbatas mengalir ke dalam dirinya.
Dari Shigesties, dia bisa melihat seluruh Adomte — masa lalu, sekarang, dan segala kemungkinan masa depan. Sebagai Dewa Utama yang kini menguasai takdir, dia akan membawa perubahan yang sudah terlalu lama ditunda.
"Adomte," dia mengumumkan, suaranya bergema di seluruh dunia, "tidak lagi akan diatur oleh takdir yang kaku. Di bawah kekuasaanku, setiap jiwa akan menulis kisahnya sendiri."
Dan dari singgasana takdirnya, Arata tersenyum. Perburuannya telah mencapai puncak yang bahkan tidak pernah dia bayangkan.
Cermin-cermin takdir berpendar merespons pikirannya, menampilkan berbagai kemungkinan masa depan Adomte. Semuanya teratur, semuanya terprediksi. Bahkan dengan kebebasan yang dia berikan, para penghuni dunia masih terikat pada pola-pola yang bisa dia lihat dengan jelas dari singgasananya.
Arata bangkit, Agroname bergetar di tangannya seolah merasakan kegelisahan tuannya.
"Dunia ini sudah selesai denganku," dia mengumumkan pada dunia kosong di hadapannya. "Atau mungkin aku yang sudah selesai dengannya."
Shigesties berdenyut, esensial Shiesgeld di dalamnya beresonansi dengan emosi Arata. Ada kesedihan di sana, tapi juga... pemahaman?
"Kau mengerti, bukan?" Arata menyentuh permukaan singgasana itu. "Bahkan kau, yang dulu begitu terobsesi dengan kontrol, kini bisa melihat bahwa kekuatan sejati tidak datang dari mengawasi takdir... tapi dari terus bergerak, terus mencari."
Arata mengangkat Agroname, membiarkan pedang itu menyerap sedikit essence divine dari Shigesties — cukup untuk membuka jalan ke dunia berikutnya, tapi tidak cukup untuk mengganggu keseimbangan Adomte.
"Aku meninggalkan Shigesties untuk sementara," Arata berbicara pada esensial Shiesgeld — tapi itu tidak ada. "Melakukan perburuan lagi, aku akan merubah takdir ku sendiri untuk tidak pernah lari sekaligus tidak terbunuh oleh raja iblis pertama Noah."
Cermin-cermin takdir bergetar lembut, menciptakan melodi yang terdengar seperti persetujuan. Di kejauhan, portal dimensional mulai terbentuk, menampakkan sekilas pemandangan dunia Endignyu yang menanti.
"Terima kasih," Arata tersenyum pada singgasana yang kini akan dia tinggalkan. "Kau mengajarkanku pelajaran — memikirkan cara lain untuk mengalahkannya."
Dengan satu gerakan mulus, Arata melompat dari platform kristal. Tubuhnya melayang sejenak di udara sebelum mendarat di ambang portal. Di belakangnya, Shigesties bersinar terang, memancarkan aurora kehijauan yang menerangi seluruh Adomte.
Dengan langkah mantap, dia melangkah memasuki portal. Essence divine Endignyu sudah terasa berbeda — lebih liar, lebih tidak terprediksi. Jenis kekuatan yang akan memberikan pertarungan yang jauh lebih menarik dari apa yang bisa ditawarkan dunia takdir.
Saat portal menutup di belakangnya, senyum tipis menghiasi wajah Arata.
Portal dimensional menutup di belakang Arata, namun pemandangan yang menyambutnya jauh dari ekspektasi. Alih-alih dunia Endignyu yang hebat dan penuh pengawasan, justru yang terbentang di hadapannya hanyalah hamparan kosong dengan sebuah gunung mungil dan hamparan pasir.
"Ini..." Arata mengerutkan kening, Agroname bergetar pelan di genggamannya. "Benar Endignyu?"
Dia melangkah maju, mengamati dunia miniatur yang terasa janggal ini. Gunung yang seharusnya menjulang tinggi tampak seperti gundukan tanah, sementara hutan yang biasanya lebat hanya terlihat seperti kumpulan semak-semak kecil. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, tidak ada jejak peradaban.
"Dunia yang terdistorsi?" gumamnya pada diri sendiri. "Atau mungkin..."
Sebelum dia menyelesaikan perkataannya, essence divine di sekitarnya bergetar dengan cara yang aneh dan asing.
Arata terus melangkah, menembus keheningan dunia Endignyu yang tampak begitu kosong. Waktu seolah mengalir seperti pasir di padang tandus ini, Namun dia terus mencari, terus bergerak, didorong oleh sesuatu yang bahkan dia sendiri tak bisa jelaskan
Agroname bergetar semakin kuat di tangannya, resonansinya berbeda — lebih liar, lebih haus. Atau mungkin itu bukan pedangnya yang haus, tapi dirinya sendiri?
"Kenapa..." Arata berbisik pada kekosongan, "semakin jauh aku melangkah, semakin kuat rasa ini?"
Rasa haus yang tak tertahankan. Gairah yang tak pernah terpuaskan. Hasrat untuk membunuh yang semakin membara. Keinginan akan kekuatan yang tak pernah cukup. Dan di atas semua itu — obsesi untuk mengalahkan Noah yang semakin menggerogoti setiap sel dalam tubuhnya.
Langkahnya terhenti saat pusaran angin di sekitarnya tiba-tiba berputar, membentuk badai pasir tipis yang perlahan memadat. Dari dalam kabut itu, muncul sosok yang membuat Arata membeku.
Dirinya sendiri — tapi berbeda.
Sosok itu memiliki wajahnya, tubuhnya, bahkan Agroname yang sama. Tapi auranya... auranya memancarkan kedamaian dan penerimaan yang begitu asing bagi Arata.
"Kau..." Arata menggenggam erat Agroname-nya.
"Aku adalah kau," sosok itu tersenyum lembut, "versi yang memilih untuk menerima, bukan mengejar. Yang memahami bahwa kekuatan sejati tidak datang dari membunuh atau menguasai."
"Omong kosong," Arata mendesis. "Kau bukan aku. Aku tidak akan pernah—"
"Berhenti mengejar Noah?" sosok itu melanjutkan. "Berhenti memburu kekuatan? Atau berhenti membunuh? Tapi bukankah itu yang membuatmu terus terjebak dalam lingkaran yang sama?"
Arata mengangkat Agroname-nya, esensial energi divine dewa perang berkobar di sekitar pedang itu. "Diam! Kau tidak mengerti apa-apa tentang diriku!"
"Justru karena aku adalah dirimu, aku memahami semuanya," sosok itu tetap tenang. "Rasa haus yang tak pernah terpuaskan itu, gairah yang terus membakar itu — itu semua karena kau menolak untuk melihat ke dalam dirimu sendiri. Mengapa sekarang kamu terkejut!"
Arata menerjang ke depan, Agroname terayun dalam gerakan mematikan.
Agroname berbenturan dengan Agroname milik sosok itu, menciptakan gelombang magis yang menggetarkan tanah kosong di sekitar mereka. Percikan-percikan energi bertebaran, menyilaukan Endignyu dengan cahaya kekuningan.
"Kau pikir dengan terus membunuh, terus mengejar kekuatan, kau akan bisa mengalahkan Noah?" sosok itu menahan serangan Arata dengan mudah. "Bukankah itu yang selama ini kau lakukan? Dan lihat ke mana itu membawamu."
Arata melancarkan serangan bertubi-tubi, setiap ayunan Agroname dipenuhi kemurkaan. "Kau tidak tahu apa-apa tentang penderitaanku!"
Sosok itu mengelak dan menangkis dengan gerakan yang begitu familiar — tentu saja, karena itu adalah gerakannya sendiri.
"Menerima tidak berarti lemah," sosok itu melompat mundur, matanya menatap Arata dengan pemahaman yang dalam. "Justru butuh kekuatan yang lebih besar untuk berhenti berlari dari diri sendiri."
"Aku tidak berlari!"
"Bukankah selama ini kau terus berlari? Dari satu pembunuhan ke pembunuhan lain, dari satu kekuatan ke kekuatan lain?" Sosok itu menurunkan Agroname-nya. "Kau bahkan meninggalkan Shigesties karena takut terjebak dalam ketenangan."
Kata-kata itu menghantam Arata lebih keras dari serangan apapun. Tangannya yang memegang Agroname bergetar.
"Kau takut," sosok itu melanjutkan dengan lembut, "bahwa jika kau berhenti sejenak, semua rasa sakit itu akan menghujam mu. Semua kenangan itu akan menghancurkanmu. Jadi kau terus berlari, terus membunuh, terus mencari kekuatan — bukan untuk mengalahkan Noah, tapi untuk melarikan diri dari dirimu sendiri."
Arata terdiam, essence divine-nya bergejolak liar merespon emosi yang memuncak dalam dadanya. Kebencian, amarah, dan... ketakutan?
"Tapi lihat aku," sosok itu tersenyum. "Aku adalah bukti bahwa kau bisa memilih jalan lain. Bahwa ada kekuatan dalam penerimaan, dalam pemahaman, dalam..."
"SALAH!"
Essence divine Arata meledak, menghancurkan tanah di sekitarnya. Agroname bersinar terang, merespon amarah tuannya yang tak terbendung.
Sosok itu tetap berdiri tenang, seolah badai kemarahan Arata hanyalah angin sepoi yang mengusik rambutnya.
"Kau tahu apa yang paling menyedihkan?" sosok itu melangkah maju, tidak gentar dengan essence divine Arata yang semakin liar. "Setiap kali kau membunuh dewa, setiap kali kau menyerap kekuatan baru, yang kau cari sebenarnya bukan cara untuk mengalahkan Noah..."
"KUBILANG DIAM!" Arata melesat dengan kecepatan yang bahkan mata dewa sulit mengikuti, Agroname terayun dalam tarian maut.
Tapi sosok itu bergerak menyamakan kecepatan, lebih efisien — seolah dia bisa membaca setiap gerakan Arata. Tentu saja, karena dia adalah Arata sendiri.
"Yang kau cari adalah pengampunan," sosok itu berbisik tepat di telinga Arata saat mereka berpapasan. "Pengampunan dari dirimu sendiri."
Arata membeku. Untuk sepersekian detik yang terasa seperti keabadian, semua bergerak dalam gerak lambat. Essence divine-nya yang bergejolak, Agroname yang bergetar di tangannya, dan... air mata yang entah sejak kapan mengalir di pipinya.
"Kau salah..." suara Arata bergetar. "Aku... aku hanya ingin..."
"Ingin apa?" sosok itu berdiri di hadapannya. "Ingin membuktikan bahwa kau bukan pecundang yang melarikan diri dari Noah? Ingin membuktikan bahwa kau layak hidup setelah semua yang terjadi?"
"AAAAARGH!"
Arata menerjang dengan seluruh kekuatannya, mengerahkan semua essence divine yang dia miliki ke dalam Agroname. Pedang itu bersinar terang dan darah dewa perang melukis disetiap lapisan Agroneme, memancarkan energi darah yang bisa membutakan dewa sekalipun.
Tapi sosok itu hanya mengangkat tangannya, menangkap bilah Agroname dengan telapak tangan kosong.
"Kau tidak perlu membuktikan apapun," sosok itu berkata lembut. "Tidak pada Noah, tidak pada dunia, tidak pada siapapun — kecuali pada dirimu sendiri."
"Bagaimana..." Arata jatuh berlutut, "bagaimana kau bisa menerima semua ini dengan begitu mudah?"
"Tidak ada yang mudah," sosok itu berlutut di hadapan Arata. "Tapi saat kau berhenti berlari dan mulai menghadapi bayanganmu sendiri... kau akan menemukan kekuatan yang jauh lebih besar dari yang bisa diberikan oleh pembunuhan seribu dewa sekalipun."
apa maksudnya begini,
Mengapa Dia hanya memikirkan hiburan untuk dirinya hingga membuat kita mati mempertahankan sebuah 'nyawa'.
mungkin bagus jika kalimatnya begitu. coba dipertimbangkan.