Rumah sudah kokoh berdiri, kendaraan terparkir rapi, tabungan yang cukup. Setelah kehidupan mereka menjadi mapan, Arya justru meminta izin untuk menikah lagi. Istri mana yang akan terima?
Raya memilih bercerai dan berjuang untuk kehidupan barunya bersama sang putri.
Mampukah, Raya memberikan kehidupan yang lebih baik bagi putrinya? Apalagi, sang mantan suami hadir seperti teror untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Si pengungkit masa lalu
"Kamu?" panggil pria yang menggunakan seragam pasien.
Raya menoleh, namun tidak menjawab. Ia membalas tatapan pria itu, namun detik berikutnya, ia langsung menundukkan pandangan.
Pria itu, memancarkan aura yang kuat, dingin, tatapannya tajam dan mengintimidasi. Suara baritonya terdengar tegas, seolah tidak ingin dibantah. Ia berwajah tampan nan rupawan, namun seperti lebah yang memiliki sengatan beracun. Ia sulit didekati.
"Buka maskermu!" perintahnya. Raya menurut dan kembali memunguti sobekan kertas dan tisu.
Raya hanya mendengar suara pria yang sedang berdiri didepan bed. Dari tadi, ia terus berbicara entah apa, Raya tidak mengerti. Karena pekerjaannya sudah selesai, ia memilih keluar dan sekali lagi tanpa berpamitan.
"Bagaimana? Dia tampan, bukan?" Dian langsung menyodorkan pertanyaan.
"Tampan, tapi berbisa," jawab Raya, yang membuka sarung tangannya, "dia pria yang tidak mudah untuk didekati."
"Kau benar. Lagi pula, status seperti kita hanya bisa memandang dari jauh. Mengharapkannya itu terlalu berdosa."
Tanpa terasa, waktu bergulir dengan cepat. Bahkan, Raya sama sekali tidak merasa lapar, karena perutnya sudah banyak terisi cemilan. Ia juga tidak merasa lelah, padahal dua jam berturut-turut membersihkan kamar pasien. Entah karena terlalu bersemangat atau karena suasananya yang begitu terasa nyaman.
"Sebentar lagi, jam dua. Ayo, beres-beres!"
Raya menatap jam dinding, tinggal 10 menit, pergantian shift. Ia membuka APD dan seragamnya. Memeriksa tas, jika ada barang miliknya yang ketinggalan. Padahal, ia hanya membawa ponsel dan dompet yang berisi uang pecahan 10 ribu tiga lembar.
Rekan kerja yang akan bekerja di shift siang, sudah tiba. Raya mengisi absen lebih dulu, sebelum keluar.
"Bagaimana perasaan kamu bekerja disini?"
"Alhamdulillah, Kak. Aku suka dan nyaman." Raya memperhatikan lobi, yang agak sepi tidak seperti pagi tadi.
"Baguslah. Kamu pulang arah mana? Mau ikut? Aku bawa motor."
"Terima kasih, Kak. Tapi, teman kos aku sudah diperjalanan mau jemput. Kebetulan, dia juga baru pulang kerja."
"Ya, sudah. Ayo, kita kedepan."
"Raya," panggil seseorang. Raya dan Dian menoleh ke asal suara.
Raya menatap, wanita yang pernah menjadi mertuanya itu. Ia teringat, wanita itu akan selalu datang check in ke rumah sakit seminggu sekali.
"Sedang apa, kamu disini?" tanya ibu Arya, dengan pandangan menyelidik. "Oh, kamu tahu kalau ibu akan periksa hari ini dan datang menemuiku, begitu? Mau memintaku, membujuk Arya untuk rujuk dengan kamu, iya? Jangan mimpi, kamu!"
"Jangan terlalu percaya diri. Anak Anda tidak seberharga itu!" Raya tersenyum mengejek dalam hitungan detik ibu Arya naik pitam, seperti biasa.
"Kurang ajar, kamu!" Ibu Arya melotot, "akta cerai kalian akan terbit minggu depan. Sebaiknya, kamu datang mengambilnya sendiri, ke rumah."
"Baik. Terima kasih, sudah mengurusnya dengan cepat."
Dian menatap Raya dan ibu Arya secara bergantian. Awalnya ia bingung, namun ia cepat membaca situasi dan mengerti hubungan kedua orang didepannya, yang tampak tidak akur.
"Tentu saja. Benalu seperti kamu harus cepat dibersihkan," ujar ibu Arya dengan senyum lebar dengan mengangkat dagunya.
Emosi Dian terpancing. Ia ingin sekali membuka mulutnya yang sudah gatal. Namun, otak warasnya memberi peringatan, agar tidak ikut campur. Terlebih, ia baru mengenal Raya hari ini.
"Baguslah. Akhirnya, benalu ini tidak perlu lagi, merawat orang yang tidak tahu terima kasih sepertimu." Raya melangkah pergi, namun ibu Arya mencegah dengan menarik tangannya.
"Menantu sialan!" Ibu Arya mencengkram kuat pergelangan tangan Raya. Tiba-tiba, netranya memperhatikan ID Card yang menggantung dileher Raya. "Apa ini? Cleaning Servis? Hahaha ... Kau ngotot ingin bercerai, hanya ingin bekerja seperti ini." Ibu Arya tergelak, alisnya terangkat menatap mantan menantunya.
Raya membalas tatapan ibu Arya, tanpa ekspresi. Ia langsung beranjak tanpa mengatakan apa-apa. Dian yang tersulut emosi, hanya bisa membelalakkan mata kepada wanita yang ia tidak ketahui namanya itu.
"Kenapa kamu diam saja?" bentak Dian, saat mereka tiba diparkiran.
"Aku sudah jadi menantunya selama tiga tahun. Jadi, aku sudah mengetahui bagaimana sifatnya. Aku tidak akan pernah menang, jika hanya beradu mulut dengannya. Kecuali, aku mengangkat tangan, untuk membengkokkan mulutnya."
Dian langsung terbahak-bahak, amarahnya hilang seketika. "Kau benar. Beradu mulut tidak akan selesai, kecuali salah satunya langsung bertindak untuk menutup mulut lawannya."
Samar-samar, Raya mendengar suara Retno. Ia menoleh. Sebuah motor matic warna merah, menuju arahnya.
"Maaf aku telat, agak macet." Retno memberikan helm pada Raya.
"Tidak apa. Kenalkan, ini temanku, Dian." Raya memperkenalkan Dian pada Retno. Kedua gadis itu, saling mengulurkan tangan dan menyebut nama masing-masing.
"Kau masih disini, rupanya." Ketiga gadis itu menoleh. "Jadi, ini teman barumu?" Ibu Arya tersenyum tipis, bibirnya tertutup rapat. "Sok minta cerai, tahunya hanya ingin hidup susah. Tapi tidak apa. Itu, cocok untukmu."
Raya tidak merespon, ia hanya menatap datar tanpa ekspresi. Berbeda dengan Retno dan Dian, yang memiliki sumbu pendek.
"Apa Tante sangat kesepian? Kenapa terus mengusik hidup Raya?" Dian melotot, dengan posisi berkacak pinggang.
"Jangan ikut campur, kamu! Begini, kalau pendidikan cuman setengah-setengah. Tidak tahu cara menghargai orang tua."
"Apa? Kau bilang apa?" teriak Retno, sudah maju dengan kedua mata yang sudah mau melompat keluar. "Kau mau dihargai, tapi tidak menjaga perasaan orang lain."
Akhirnya, dua orang gadis itu beradu mulut dengan ibu Arya. Seperti, yang Raya katakan mereka tidak akan menang.
"Cukup!" teriak Raya, membuat tiga orang wanita beda usia, menoleh bersamaan, "tiga tahun! Sudah cukup, kau ikut campur dalam rumah tanggaku. Sekarang, tidak lagi."
"Ikut campur?" bentak ibu Arya, "memangnya kamu siapa? Aku ibunya, aku yang menyekolahkannya. Apa yang kamu berikan pada putraku, selain menjadi beban? Hah!"
Tanpa disadari, Raya maju, mendorong dan menyudutkan mantan mertuanya di sebuah mobil yang parkir di sebelah mereka. Ia menatap nyalang.
"Kami sudah bercerai, tapi kau masih memakiku? Apa hakmu? Apa maumu? Aku bicara baik-baik mengingat usiamu yang sudah sangat tua. Katakan, apa maumu? Kenapa terus mengganguku?"
"Le ... lepas! Aku akan melaporkanmu ke pihak berwajib." ibu Arya terbata dan mengalihkan pandangan. Ia tidak mampu menatap kedua manik Raya, yang mengerikan.
"Silahkan!" tantang Raya, sembari menyeringai, "Putramu bekerja di perusahaan asing. Aku ingin tahu, apa dia akan tetap bekerja, jika aku menyebarkan perbuatannya. Dua orang karyawan dalam satu perusahaan, terlibat perselingkuhan."
"Ka ... kau mengancamku?"
"Iya," tegas Raya, dengan tatapan yang masih sama. "Jadi, jangan menggangguku. Jika kau tidak mau melihat putramu menjadi pengangguran."
Tubuh wanita tua itu, mendadak lemas dan gemetar. Ia terpaku, dalam kebisuan. Ia hanya menatap Raya pergi begitu saja.
🍁🍁🍁
tidak mau memperjuangkan raya
bntar lg km ketemu sm laki2 yg tulus yg mampu bahagiakan km.
plg suka crita klo perempuannya tangguh & kuat