NovelToon NovelToon
Mardo & Kuntilanaknya

Mardo & Kuntilanaknya

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Fantasi / Mata Batin / Hantu / Roh Supernatural / Pendamping Sakti
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Riva Armis

Mardo, pemuda yang dulu cuma hobi mancing, kini terpaksa 'mancing' makhluk gaib demi pekerjaan baru yang absurd. Kontrak kerjanya bersama Dea, seorang Ratu Kuntilanak Merah yang lebih sering dandan daripada tidur, mewajibkan Mardo untuk berlatih pedang, membaca buku tua, dan bertemu makhluk gaib yang kadang lebih aneh daripada teman-temannya sendiri.

Apa sebenarnya pekerjaan aneh yang membuat Mardo terjun ke dunia gaib penuh risiko ini? Yang pasti, pekerjaan ini mengajarkan Mardo satu hal: setiap pekerjaan harus dijalani dengan sepenuh hati, atau setidaknya dengan sedikit keberanian.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riva Armis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 33: Bulan Pucat dan Alasannya

Gue bermimpi, sedang saling berpandangan sama Dea. Senyum di bibirnya yang selalu gue lihat, gak gue temukan saat ini. Hanya ada titik-titik air mata yang mengalir pelan dari kelopak matanya. Lalu, ketika perlahan dirinya menjadi kepingan-kepingan kelopak mawar, di situlah terakhir kalinya gue melihat senyum itu.

Gue terbangun dalam keadaan gelap. Gue ketiduran sampai malam dan semua lampu belum dinyalain. Jendela yang masih terbuka membawa angin dingin, memaksa gue untuk segera berdiri dan menutupnya.

Gue keluar dan memperhatikan dapur yang juga gelap. Terasa kecewa ketika melihat gak ada Dea yang suka ngomel-ngomel di sana. Selesai nyalain semua lampu, gue menatap ke dalam kamar mandi yang kosong. Sekarang, gue berharap keran itu terbuka sendiri.

Gue terduduk di depan pintu, memandangi bulan dengan cahayanya yang pucat. Dalam hati, gue mencoba bertanya padanya: Apa gue salah? Apa gue sudah bikin sedih seorang cewek? Tentu aja dia cuma diam menatap gue. Seakan mengiyakan semuanya.

Sambil mengaduk kopi di lantai, gue teringat ucapan bapak-bapak yang sering mancing bareng gue. Dia bilang, "Bersikap sama cewek harus hati-hati. Salah-salah, semuanya bisa jadi masalah."

Deru hujan gerimis membelai bersama angin malam. Benar-benar malam yang sempurna untuk perenungan, sembari berbesar hati mengakui kalau diri ini terlalu banyak menyimpan kebodohan. Tentu, sekaligus menyamarkan suara dari tangis yang terisak tanpa sengaja.

Setiap emosi yang mengalir malam ini, entah kenapa justru perasaan serta bayang-bayang yang bermunculan selalu aja tentang Naya. Gue merasa berjuta kali sering bikin dia kecewa. Walaupun berulang kali juga dia berusaha menerima semua hal bodoh yang gue pelihara. Mencoba menerima kembali gue apa adanya. Namun, gue yang bodoh ini masih aja menjadi orang yang sama.

Tujuh tahun? enggak ... bahkan ditambah tiga tahun sebelumnya, gue lah orang yang gak berubah, gak berkembang, justru bertambah payah. Lalu dengan sintingnya gue malah bilang kalau hubungan ini adalah salahnya karena mau menerima gue yang banyak kurangnya.

Ternyata benar kata orang-orang. Ketika orangnya sudah pergi, barulah kita menyadari bahwa setiap hal kecil darinya selalu berarti. Dan semua rindu itu, meluap menjadi kenangan malam ini. Sialan. Gue nangis.

Daripada gue jadi melankolis sepanjang malam, gue memutuskan buat hujan-hujanan menuju kantor ketika mereguk kopi terakhir. Gue mau ngambil pedang gue kembali, nyari info sebanyak mungkin soal Dea, terus mau minta maaf sama dia.

Setelah mengantongi kado buat Mery, gue ninggalin kado satu lagi buat Dea di atas meja makan. Siapa tahu aja dia pulang waktu gue lagi gak ada di rumah. Gerimis sudah semakin tipis, tapi dinginnya malam masih bikin laju motor gue ragu-ragu. Mau ngebut takut masuk angin, mau pelan takut keanginan. Serba salah.

Kantor kelihatan sepi saat gue datang. Mbak-mbak resepsionis tanpa alis cuma diam saat gue melewatinya. Gue langsung menuju ruang informasi. Seperti waktu pertama gue ke sini, pandangan gue kembali teralihkan sama ruangan kaca tempat Torgol berada.

Langkah gue terhenti, pandangan gue gak beralih waktu melihat Torgol berada dalam akuarium tanpa bergerak! Banyak selang-selang menancap di akuarium itu yang terhubung dengan akuarium lainnya.

Dari ruang informasi yang gak jauh dari ruangan Torgol ini, seorang cewek keluar dari sana dengan terburu-buru. Gue segera berlari kecil menghampirinya.

"Mery!"

Mery kaget melihat gue.

"Mardo!? Kenapa lo di sini!?"

"Gue mau ngambil pedang gue. Lo sendiri ngapain?"

Mery membenarkan kacamatanya, lalu menarik lengan gue.

"M-mer? Kita mau k-ke mana?"

Mery terus aja menarik lengan gue hingga kami tiba di kantin. Gue disuruh duduk sementara dia menuju kedai kopinya. Secangkir kopi dia suguhkan pada gue yang sedang megangin kado buat dia.

"Apaan, tuh?" tanyanya.

Gue menyerahkannya.

"Buat lo."

Mery tersenyum dan duduk di depan gue.

"Boleh gue buka, nih?"

"Eh ... mending nanti aja. Lo belum jawab pertanyaan gue tadi."

Mery melirik kiri-kanan sebelum mendekatkan wajahnya.

"Gue nyari info soal Kak Kila."

"Buat apa?"

Mery diam aja, tapi dari tatapannya, gue yakin itu berarti dia gak bisa ngomong di sini sekarang.

"Sekarang gue buka, ya."

Mery membuka kado itu. Tangan kirinya menutupi mulut saat mengangkat sebuah kacamata yang gue beli di pasar gaib waktu itu.

"Do ... lo baik banget, deh ... tahu aja lo gue suka kacamata kayak gini."

"Syukur, deh kalau lo suka."

Mery mengganti kacamatanya dengan yang baru.

"Jernih banget! Gue berasa punya mati batin."

Gue ketawa aja sambil minum kopi bikinannya.

"Bagus nggak, Do?"

"Bagus, kok. Walau gak sebagus cincin ini, sih."

Mery tersenyum lebar waktu melihat cincin pemberiannya yang sudah gue pakai.

"Eh, itu kalung baru, ya?" tanyanya.

"I-iya, bonus waktu beli kacamata itu."

Dari balik kacamata barunya, dia menatap tajam kalung gue.

"Lo ... yakin mau pakai kalung itu, Do?"

"I-iya, emang kenapa? Gak cocok ya sama muka gue?"

"Enggak ... cocok-cocok aja, sih. Bagus, kok. Agak serem aja bentuknya."

Ketika beberapa orang mendatangi kedai Mery buat beli kopi, dia izin ninggalin gue. Gue memperhatikan kakinya yang sempat terluka oleh serangan Dea. Dari cara jalannya, sih kayaknya dia sudah gak apa-apa. Kenapa dia pengin nyari tahu soal Kak Kila yang sudah nyembuhin dia, ya? Apa Mery pengin beralih profesi jadi dokter?

Cowok-cowok terus aja berdatangan buat pesan kopi, padahal malam semakin larut. Apa Mery gak capek, ya? Apa dia gak ngantuk? Terus gue juga teringat kalau Sulay pernah bilang kalau kedai kopi Mery ini buka 24 jam!

Inilah yang selalu bapak-bapak teman mancing gue ingatkan sama gue. Soal bahaya menganggur. Iya. Coba aja gue dapat pedang gue kembali, terus gue sama Sulay lagi ada kerjaan, pasti pikiran-pikiran dan pertanyaan-pertanyaan kayak gini gak bakalan ada.

Iya juga, ya! Kenapa gue malah duduk di sini!? Gue, kan mau ke ruang informasi! Lagi-lagi, inilah bahaya kedua yang selalu diingatkan bapak-bapak itu. Soal bahaya berteman sama cewek berambut panjang kepang dua berwarna cokelat, berkacamata bulat dan bertahi lalat di dagu sebelah kiri. Bikin lupa waktu!

Kami bertukar senyum ketika gue meninggalkan kantin dan kembali menuju ruang informasi. Di depan pintunya, gue mengatur napas terlebih dahulu sebelum masuk, biar gue gak salah-salah lagi. Cewek-cewek bermuka pucat dengan pakaian putih itu serempak menoleh ke arah gue. Semua pandangan mereka tertuju pada kalung yang gue pakai.

"Ada yang bisa kami bantu, Pak Mardo?" tanya seorang cewek dengan muka nggak pucat.

"Ini ... anu ... saya mau tahu soal kenapa pedang saya disita."

"Oh ... tunggu sebentar, ya, Pak."

Dia berjalan ke sebuah meja yang terdapat komputer menyala di atasnya. Karena dipandangi oleh cewek-cewek berbaju putih ini, waktu lima menit menunggu terasa begitu lama sampai terdengar suara printer ngeluarin beberapa lembar kertas.

"Ini, Pak. Ada lagi yang bisa kami bantu?"

"Saya ... saya mau tahu soal Dea."

Semua lampu di ruangan berkedip seketika. Komputer yang tadi tiba-tiba mati dan semua cewek bermuka pucat menghilang entah ke mana. Cewek di depan gue sekarang tampak ketakutan karena alasan yang gak jelas. Dia kayak buru-buru mengemasi berkas dan gak jelas mau ngapain. Yaudah, gue pergi aja. Daripada gue disuruh benerin lampu.

Gue berniat membawa empat lembar kertas yang masih belum gue baca ini ke kantin. Sayangnya, niat gue terpaksa dibatalin setelah melihat Torgol berdiri di depan ruangannya. Dia menghadang gue dengan pedang terhunus. Itu 'kan pedang gue!? Apaan, nih!?

"Mardo.”

1
Minartie
kutunggu lanjutan ....bikin penasaran
Riva Armis: Perjalanan akan panjang. Siapkan tenagamu
total 1 replies
Minartie
mungkin itu wujud asli dea
Riva Armis: masoook
Riva Armis: Bisa jadi. Siapa yang tahu kan?
total 3 replies
Minartie
mantappppp
Riva Armis: tengkyuuu
total 1 replies
Minartie
cerita yg berani tampil beda...bagus thor ....lanjut ...aku suka
Riva Armis: Tengkyu sudah berani baca yang berbeda. Ayo kita lanjutkan!
total 1 replies
Minartie
cerita bagus and lucu ..pokoknya suka banget
Riva Armis: Tengkyu, semoga suka terus sama bab-bab selanjutnya
total 1 replies
Minartie
ceritanya menghibur 👍👍👍👍
Riva Armis: Tengkyu sudah mampir dan baca ya
total 1 replies
Affan Ghaffar Ahmad
gass lanjut bang
Riva Armis: Tengkyu support nya Bang
total 1 replies
Ryoma Echizen
Gak kebayang gimana lanjutannya!
Riva Armis: tengkyu udah mampir ya
total 1 replies
art_zahi
Gak sabar pengin baca kelanjutan karya mu, thor!
Riva Armis: tengkyu udah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!