Pada abad ke-19, seorang saudagar China yang kaya raya membawa serta istri dan anaknya menetap di Indonesia. Salah satu anak mereka, Jian An, tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan berwibawa. Ketika ia dewasa, orang tuanya menjodohkannya dengan seorang bangsawan Jawa bernama Banyu Janitra.
Pada malam pertama mereka sebagai suami istri, Banyu Janitra ditemukan tewas secara misterius. Banyak yang menduga bahwa Jian Anlah yang membunuhnya, meskipun dia bersikeras tidak bersalah.
Namun, nasib buruk menghampirinya. Jian An tertangkap oleh orang tidak dikenal dan dimasukkan ke dalam sumur tua. berenang di permukaan air sumur yang kini tidak lagi berada di abad ke-19. Ia telah dipindahkan ke kota S, tahun 2024. Dalam kebingungannya, Jian An harus menghadapi dunia yang jauh berbeda dari yang ia kenal, berusaha menemukan jawaban atas misteri kematian suaminya dan mencari cara untuk kembali ke masa lalu yang penuh dengan penyesalan dan rahasia yang belum terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
08
Pelarian yang penuh ketegangan itu berakhir tragis. Dalam gelapnya malam, saat Jian An dan Gendis berlari menjauhi rumah besar keluarga Jian, langkah mereka dipenuhi ketakutan dan kecemasan. Mereka berdua tahu bahwa setiap detik sangat berarti, bahwa setiap suara langkah kaki yang semakin mendekat bisa menjadi akhir dari kebebasan mereka. Gendis yang selalu setia mendampingi, berusaha melindungi Jian An meskipun tubuhnya semakin lelah dan terengah-engah.
Namun, nasib berkata lain. Saat mereka menyusuri jalan setapak yang sunyi, sekelompok orang yang mengenakan pakaian gelap dan dengan senjata terhunus muncul dari balik bayang-bayang. Mereka datang begitu cepat, menyergap dengan kekuatan yang tak terduga. Gendis berusaha melindungi Jian An, mendorongnya untuk berlari, namun ia sendiri tertangkap. Dalam keributan itu, teriakan Gendis memecah keheningan malam, tetapi tak ada yang bisa menolongnya.
Dengan cepat, salah satu orang yang tampaknya pemimpin dari kelompok itu menyerang Gendis. Sebuah pukulan keras membuat tubuhnya terjatuh ke tanah, darah mengalir dari luka yang begitu dalam. Jian An terdiam, tak bisa bergerak karena ketakutan yang mencekam. Ia ingin berteriak, ingin melawan, namun tubuhnya begitu kaku. Ia hanya bisa menyaksikan dengan hati hancur saat Gendis, yang selama ini menemaninya, terjatuh dan tewas di hadapannya. Nyawa temannya melayang begitu cepat, dan Jian An merasa seakan dunia ini kehilangan warna.
Dengan tubuh gemetar, Jian An dipaksa untuk berdiri, ditarik dengan kasar oleh para penculik. Mereka tidak memberinya kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal, apalagi untuk meratapi kehilangan Gendis yang begitu mendalam. Dalam ketakutan, Jian An hanya bisa menatap tubuh Gendis yang terbujur kaku di tanah, sebelum akhirnya dibawa pergi ke dalam kegelapan malam.
Mereka membawanya tanpa berkata sepatah kata pun, menariknya melewati jalan-jalan yang sepi menuju tempat yang belum ia ketahui.
Dengan kasar, para penculik menyeret Jian An ke sebuah sumur tua yang terletak di tengah hutan yang gelap dan terpencil. Suasana sekitar begitu sunyi, hanya terdengar suara angin yang berdesir melalui pepohonan tinggi, seolah-olah alam sendiri pun menahan napas menyaksikan apa yang terjadi. Tanah yang lembab dan becek di sekitar sumur membuat setiap langkah terasa berat, tetapi itu tak menghalangi niat mereka. Jian An, yang lemah dan ketakutan, hanya bisa meronta, namun cengkeraman mereka begitu kuat.
Ketika mereka sampai di tepi sumur, Jian An menatap ke bawah, melihat kegelapan yang dalam menyambutnya. Sumur itu tampak sangat tua, dengan dinding-dinding batu yang tertutup lumut dan tanaman merambat yang tumbuh liar. Bau tanah dan kelembapan membuat udara terasa semakin berat, dan Jian An merasa dunia seakan berputar dengan cepat.
Mereka tidak memberinya kesempatan untuk berbicara atau berusaha melawan. Dengan gerakan cepat, salah satu dari mereka memaksa Jian An untuk turun, menurunkannya dengan cara yang begitu kasar, hingga tubuhnya jatuh ke dasar sumur yang sempit dan gelap. Sebelum Jian An bisa berteriak, mulutnya tertutup dengan cepat, dan sumur itu menelan suara teriakan terakhirnya. Tubuhnya terjatuh dengan keras, membuatnya terhempas ke permukaan tanah yang keras dan dingin.
Kegelapan menyelimuti, tubuh Jian An terasa sakit, namun ia berusaha tetap tenang, mengumpulkan sisa-sisa kekuatan yang ada dalam dirinya. Tak ada yang dapat dilihatnya kecuali kehitaman yang pekat dan suara-suara samar dari luar sumur yang perlahan-lahan memudar. Hanya suara napasnya yang bisa ia dengar, dan dunia terasa begitu sunyi.
Dengan tubuh yang kesakitan dan jiwa yang diliputi ketakutan, Jian An merasa terperangkap dalam kegelapan. Suasana itu begitu menekan, seakan memisahkannya dari segala hal yang pernah dikenalnya, dari masa depan yang pernah ia impikan bersama Banyu. Namun dalam hatinya yang penuh dengan luka dan kehilangan, ada satu hal yang masih tersisa, keinginan untuk bertahan hidup. Dalam ketidakpastian yang mencekam, Jian An tahu bahwa ia harus mencari jalan keluar, meskipun segalanya tampak begitu mustahil.
Di dalam kegelapan sumur yang dingin, Jian An terombang-ambing, tubuhnya terasa lemah dan tubuhnya mulai menggigil akibat air yang masuk ke dalam sumur. Setiap gerakan terasa berat, namun dia berusaha untuk tetap bertahan. Saat itu, dalam kesunyian yang begitu dalam, tiba-tiba ada sesuatu yang berbeda—sebuah bayangan muncul di hadapannya.
Sesuatu yang terasa tidak nyata, namun begitu nyata dalam benaknya. Jian An, dengan mata yang perlahan menyesuaikan diri dengan kegelapan, melihat seorang lelaki yang tengah berenang ke arahnya. Air yang dingin tidak menghalangi sosok itu bergerak dengan lincah, dan perlahan-lahan, bayangan itu menjadi semakin jelas. Wajah lelaki itu muncul dalam ingatan Jian An, wajah yang begitu familiar—wajah yang telah lama hilang dari hidupnya, wajah suaminya, Banyu Janitra.
Jian An terkejut, matanya terbelalak, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bagaimana mungkin Banyu ada di sini, di dalam sumur ini, berenang ke arahnya seolah tak ada apa-apa yang terjadi? Jian An ingin berteriak memanggilnya, tetapi suaranya terhenti di tenggorokan, seperti suara itu tersumbat oleh keheranan yang begitu mendalam.
Banyu mendekat, dan meskipun wajahnya nampak memudar di tengah gelapnya air, Jian An bisa merasakan kehangatan yang tidak bisa dijelaskan. Ada sesuatu dalam tatapan Banyu yang tidak pernah ia lupakan—rasa sayang, kepedulian, dan rasa aman yang selalu ada saat Banyu ada di dekatnya. Tapi bagaimana ini bisa terjadi? Apakah ini hanya khayalan, ataukah semacam pertanda?
Dengan tangan yang gemetar, Jian An meraih tangan Banyu, berharap agar semuanya menjadi nyata, berharap bahwa keajaiban yang sedang terjadi ini bisa memberi jawaban atas semua penderitaan dan kehilangan yang ia alami. Namun, ketika jemari mereka hampir bersentuhan, Banyu tampaknya mulai menghilang, perlahan-lahan, seperti kabut yang menguap di pagi hari.
Jian An terkejut, hatinya dipenuhi rasa takut dan kerinduan yang mendalam. Dia tidak ingin kehilangan Banyu lagi. Dengan segala kekuatan yang masih tersisa, dia mencoba meraih dan menahan sosok itu, tetapi bayangan itu mulai menghilang, menyatu dengan kegelapan air sumur yang dalam.
Perasaan cemas, bingung, dan rindu bercampur aduk dalam dada Jian An. Dalam momen itu, dia merasakan sesuatu yang kuat, sebuah panggilan dari dunia lain mungkin Banyu ingin menyampaikan sesuatu padanya. Mungkin ini adalah pesan terakhir dari suaminya, sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh logika, namun bisa dirasakan dengan hati yang penuh cinta dan kehilangan.
Lelaki itu, yang wajahnya begitu mirip dengan Banyu, berenang dengan percaya diri menuju Jian An yang sudah hampir tak berdaya. Tuxedo hitamnya yang sempurna, lengkap dengan sepatu pesta hitam yang mengilap, tampak tak biasa di tengah situasi yang mencekam ini. Namun, lelaki itu bergerak tanpa hambatan, seolah pakaian yang dikenakannya tak menjadi beban sama sekali, mengingatkan Jian An pada sosok suaminya yang selalu tenang dan penuh keberanian.
Air di sekitar mereka mulai berubah. Sumur tua yang gelap dan dingin, tempat Jian An terperangkap dalam keputusasaan, perlahan-lahan bertransformasi. Dinding sumur yang kasar dan retak mulai menghilang, digantikan oleh tebing-tebing batu yang halus dan berbatu licin, membentuk sungai dalam yang mengalir tenang. Air yang semula keruh dan dingin, kini menjadi bening dan jernih, mencerminkan bulan yang bersinar di atas mereka, seolah membawa harapan baru bagi Jian An.
Lelaki itu semakin mendekat, wajahnya semakin jelas terlihat. Senyum lembut mengembang di bibirnya, dan meskipun Jian An hampir tidak bisa mempercayai keberadaannya, hatinya merasa tenang. Ada rasa yang dalam, perasaan yang tak bisa dijelaskan, seolah dia mengenal lelaki ini lebih dari sekadar wajah yang mirip Banyu.
Dia mengulurkan tangan dan meraih tubuh Jian An yang sudah lemah, dengan gerakan yang penuh kepastian dan kelembutan. Ketika Jian An merasakan sentuhan itu, ada kehangatan yang mengalir dalam dirinya, sebuah kekuatan yang membangkitkan semangat hidupnya yang hampir hilang. Tangan lelaki itu begitu kuat dan kokoh, tetapi penuh kasih sayang, seperti sentuhan Banyu yang selalu melindunginya. Perlahan, lelaki itu menarik Jian An, mengarahkan tubuhnya menuju permukaan air yang semakin jernih dan menyegarkan.
Sungai yang semula dalam dan mencekam kini terasa seolah-olah menuntun mereka menuju jalan keluar, ke suatu tempat yang lebih terang dan lebih baik. Dengan setiap dorongan dan langkah kuat lelaki itu, Jian An merasa sedikit demi sedikit kekuatan kembali mengalir dalam tubuhnya. Walaupun lelah, perasaan itu semakin menguat—bahwa dia tidak sendiri, bahwa ada seseorang yang selalu ada untuknya, meskipun dalam bentuk yang tidak bisa ia jelaskan.
Ketika mereka akhirnya mencapai tepian sungai yang baru terbentuk, lelaki itu mengangkat Jian An keluar dari air, dan air yang mengalir tenang di sekitarnya mulai mereda. Meskipun tubuh Jian An masih terasa lemah dan penuh keletihan, dia merasakan kedamaian yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Air yang bening itu, sungai yang seakan membawa mereka keluar dari dunia gelap itu, seolah memberi Jian An kesempatan baru untuk hidup, untuk melanjutkan perjalanan yang belum selesai.
Lelaki itu, dengan senyum di wajahnya, menatap Jian An dalam diam. Dalam mata lelaki itu, ada sesuatu yang dalam, sebuah pesan yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata, namun bisa dirasakan di hati. Jian An, dengan tubuh yang masih gemetar, tahu bahwa ini bukan sekadar mimpi atau ilusi. Meskipun wajahnya mirip dengan Banyu, ada sesuatu yang lebih dari itu—sesuatu yang menghubungkan mereka melampaui waktu dan ruang.
"Sekarang kamu bebas," kata lelaki itu, suaranya dalam dan penuh makna. "Jangan pernah lupakan siapa kamu, Jian An."
Dengan kata-kata terakhir itu, lelaki itu mulai menghilang, perlahan-lahan menyatu dengan udara malam yang sejuk, meninggalkan Jian An di tepian sungai yang tenang, di dunia yang berbeda dari yang ia kenal. Namun, perasaan yang membekas di hatinya akan selalu ada sebuah janji, sebuah harapan, dan sebuah cinta yang tak pernah benar-benar pergi.