GURUKU ADALAH CINTAKU, BIDADARI HATIKU, DAN CINTA PERTAMAKU.
******
"Anda mau kan jadi pacar saya?" Seorang pria muda berjongkok, menekuk satu kakinya ke belakang. Dia membawa sekuntum mawar, meraih tangan wanita di hadapannya.
Wanita itu, ehm Gurunya di sekolah hanya diam mematung, terkejut melihat pengungkapan cinta dari muridnya yang terkenal sebagai anak dari pemilik sekolah tempatnya bekerja, juga anak paling populer di sekolah dan di sukai banyak wanita. Pria di hadapannya ini adalah pria dingin, tidak punya teman dan pacar tapi tiba-tiba mengungkapkan cintanya ... sungguh mengejutkan.
"Saya suka sama anda, Bu. Anda mau kan menerima cinta saya?" lagi pria muda itu.
"Tapi saya gurumu, Kae. Saya sudah tua, apa kamu nggak malu punya pacar seperti saya?"
Sang pria pun berdiri, menatap tajam kearah wanita dewasa di hadapannya. "Apa perlu saya belikan anda satu buah pesawat agar anda menerima cinta saya? saya serius Bu, saya tidak main-main,"
"Tapi..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 9. Manusia Es dari Kutub
"Itukan nama masa kecilku. Aku pernah memberikan nama itu ke Kak Zarina sewaktu kita masih berteman. Apa ... Bu Tyas itu .. kak Zarina?
Tapi tunggu! nama panjang Bu Tyas kan Zarina Tyas Ayushita. Apa jangan-jangan ..!!" Kaesang terus berucap dalam hati.
Pikirannya melayang pada desas-desus tentang Tyas, yang sepertinya adalah teman masa kecilnya.
Dulu, saat masih kanak-kanak, dia berteman dengan seorang gadis yang mengenalkan dirinya sebagai Zarina. Saat itu, Kaesang baru berusia lima tahun, sementara Zarina sepuluh tahun. Di usia semuda itu, Kaesang meragukan perasaannya terhadap Zarina. Dia masih terlalu kecil untuk memahami arti cinta.
"Bu," tanya Kaesang, suaranya sedikit gemetar, "Ibu pengen ketemu lagi sama dia?"
Tyas, yang sedari tadi melamun, tersentak dan menjawab dengan gugup. Air matanya masih menetes. "Iya, saya pengen ketemu dia, lihat keadaannya. Penasaran, sekarang dia kayak gimana. Dulu kan dia ceroboh banget, masih sama kayak dulu nggak ya?" tanyanya sambil tersenyum, tapi air matanya tetap mengalir.
"Lalu?" Kaesang kembali bertanya.
"Ya, Saya ingin melihatnya saja. Saya ingin melihatnya dari kejauhan dan memastikan kondisinya. Semoga dia baik-baik aja," jawab Tyas. Ada rasa aneh yang menggerayangi hatinya saat memikirkan teman masa kecilnya itu.
Jantungnya berdebar kencang, dan ada sedikit geli yang menggelitik di dadanya saat membayangkan pria kecil itu.
Tyas sangat penasaran seperti apa wajahnya sekarang dan ingin bertemu dengannya. Tapi, setelah bertahun-tahun tak bersua, keraguan mulai menggerogoti hatinya. Mungkinkah teman masa kecilnya itu sudah lupa dengannya?
Kaesang yang tidak puas dengan jawaban Tyas kembali bertanya. "Ibu nggak pengen pacaran atau nikah sama dia gitu? Pasti sekarang dia udah dewasa kan, Ibu nggak pengen ketemu dia dan ngajak dia pacaran?" tanya Kaesang.
Sedikit kelewatan memang, tapi rasa penasarannya menggerogoti. Dia ingin tahu apakah Tyas benar-benar teman masa kecilnya atau tidak.
Pertanyaan Kaesang sedikit mengejutkan Tyas. Ada sedikit rasa geli, juga rasa penasaran, yang terbersit di hatinya. Dengan sedikit ragu, Tyas pun menjawab.
"Kamu nanya apa sih, Kae? ya nggak lah. Umur dia aja lebih muda dari saya. Lima tahun lebih muda loh. Saya nggak biasa buat menjalin hubungan dengan pria yang lebih muda dari saya.
Lagi pula Dia berasal dari keluarga berada, kedua orang tuanya pasti nggak merestui hubungan kami jika kami pacaran," jeda Tyas sambil menarik napas panjang.
"Saat itu kami masih kecil. Nggak mungkin perasaan tumbuh di umur yang masih belia. Saya juga meragukan perasaan saya ke dia. Ngomong-ngomong, kenapa kamu tanya soal dia ya?
Kamu tau teman masa kecil saya dimana? atau kamu malah kenal sama dia? jika tebakan saya benar, Kae, dia mungkin seumuran dengan kamu." Senyum merekah di wajah Tyas. Dia berharap Kaesang mengenal teman masa kecilnya itu.
Mendengar ucapan Tyas, wajah Kaesang langsung tertunduk. Raut sedih terpancar di wajahnya. Dia sudah yakin bahwa Tyas adalah teman masa kecilnya, tapi keraguan Tyas tentang perasaannya membuat Kaesang kecewa. Niatnya untuk mengenalkan diri pun urung terlaksana.
"Kae," panggil Tyas, menyadari Kaesang sedang melamun. Wajahnya tampak sendu.
Kaesang mengangkat wajahnya, menatap Tyas dengan tatapan kosong. Tak ada senyum, tak ada ekspresi apa pun.
"Maaf Bu saya nggak kenal sama orang yang ibu maksud. Saya juga nggak pernah ketemu sama orang yang memiliki nama itu."
Akhirnya Kaesang mengurungkan niatnya untuk jujur. Dia ingin bercerita kepada Tyas dan memperkenalkan dirinya sebagai teman masa kecilnya, tapi melihat keraguan di wajah Tyas, dia mengurungkan niatnya.
Tyas tampak sedikit murung, matanya berbinar sendu. Ia mengangguk pelan, lalu bibirnya terkembang membentuk senyum tipis.
"Nggak apa-apa, Kae. Ya sudah kita pulang yuk. Ini udah cukup malam. Pasti orang tua saya nyariin, orang tua kamu juga pasti nyariin kamu. Ayo kita pulang," Tyas langsung berdiri, dan Kaesang pun ikut bangkit, mengajaknya pulang.
Kaesang mengangguk setuju dan mengikuti Tyas keluar dari restoran menuju parkiran. "Saya anterin ibu sampai rumah ya, rumah ibu dimana?" tanya Kaesang begitu mereka tiba di parkiran dan di tempat dimana motor Kaesang terparkir.
Tyas menggelengkan kepalanya. "Nggak usah, Kae. Saya bisa pulang sendiri kok. Kamu pulang aja, nanti orang tua kamu nyariin."
Tyas menolak ajakan Kaesang untuk mengantarnya pulang, meskipun dalam hati ia ingin sekali. Waktu sudah larut, dan ia merasa takut pulang sendirian. Namun, ia tak ingin merepotkan Kaesang.
Kaesang tak menghiraukan ucapan Tyas. Dia langsung tancap gas, naik ke motornya, menyelipkan helm, dan menyuruh Tyas naik di boncengan.
"Udah, ibu nggak usah mikirin soal orang tua saya. Mereka sedang sibuk, jadi nggak mungkin mereka bakal mengkhawatirkan saya. Ayo Bu, saya antarkan pulang. Ini sudah cukup malam, nggak baik perempuan jalan sendirian." Kaesang bersikeras mengantar Tyas pulang.
Alasannya masuk akal. Tyas, yang sebenarnya takut pulang sendirian di malam hari, langsung naik ke motor Kaesang dan menerima tawarannya. Dengan perlahan, Tyas melingkarkan tangannya di pinggang Kaesang, memeluknya dari belakang. Dia berpegangan erat agar tidak jatuh. Motor Kaesang cukup tinggi.
"Maaf saya harus ngerepotin kamu." Tyas terlihat tidak enak kepada Kaesang, meskipun Kaesang sangat ingin mengantarnya pulang. Sejak yakin bahwa Tyas adalah teman masa kecilnya, Kaesang penasaran ingin mengenal Tyas lebih dalam.
Dia ingin mendekat, tapi bingung bagaimana caranya. Tak mungkin dia terus-terusan 'nempel' di sekolah bersama Tyas. Tyas adalah gurunya, dan dia muridnya. Mustahil bagi mereka untuk selalu bersama.
"Nggak ngerepotin kok. Saya senang bisa membantu." ucap Kaesang dengan nada yang sedikit lebih lembut dari sebelumnya. Senyum mulai terukir di bibirnya secara perlahan, sementara detak jantungnya berdegup kencang, tidak seperti biasanya. Mungkinkah ... dia menyukai Tyas?
Setelah melalui perjalanan yang cukup singkat, langit malam menyambut kedatangan mereka di depan rumah Tyas. Bangunan sederhana itu menonjol dengan kebersihan dan keterawatan yang terpancar dari setiap sudutnya.
Kaesang menghentikan motornya tepat di depan pagar kayu yang mengelilingi rumah Tyas, sementara Tyas dengan ringan turun dari belakang motor Kaesang.
"Makasih ya, Kae udah nganterin saya pulang." ucap Tyas sambil tersenyum manis.
Kaesang mengangguk, dan untuk pertama kalinya, senyum yang selama ini jarang muncul di wajahnya, kini terlukis untuk Tyas.
"Nggak masalah. Saya pulang dulu ya," setelah mendapatkan anggukan kepala dari Tyas, Kaesang pun menyalakan motornya dan melaju meninggalkan rumah Tyas, kembali menuju rumahnya.
Di tengah perjalanan, Kaesang memutuskan untuk mampir sejenak di Starlight Cafe, menikmati secangkir kopi sebelum pulang. Begitu sampai di cafe, dia langsung masuk dan mencari tempat duduk.
Dia memilih meja pojok di Starlight Cafe, menyeruput kopi hitamnya sambil memikirkan pertemuannya dengan Tyas tadi.
Hatinya masih berdebar-debar, tidak bisa menahan perasaan aneh yang muncul setelah bertemu dengan wanita itu. Apakah mungkin dia menyukai Tyas? Pikirannya melayang-layang, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang menghantuinya.
Saat itu, seorang pelayan datang menghampirinya. "Ada yang bisa saya bantu, mas?" tanya pelayan dengan ramah.
Kaesang tersadar dari lamunannya dan tersenyum kecil. "Satu lagi black coffee, tolong," ucapnya sambil menyerahkan gelas kosongnya kepada pelayan.
Setelah pelayan pergi, Kaesang kembali terbenam dalam pikirannya. Dia merasa ada yang berbeda dengan pertemuan tadi. Ada getaran yang aneh di hatinya, seperti ada magnet yang menariknya pada Tyas. Namun, dia tidak bisa memastikan perasaannya. Apakah ini cinta? Atau hanya rasa kagum pada sosok Tyas yang begitu cantik, rendah hati dan menawan?
Tapi Tyas masih beberapa hari ini bekerja di Genius High School. Jika memang Tyas adalah teman masa kecilnya, mereka sudah lama tak bertemu. Mustahil rasanya jika perasaan lama masih tersisa, bukan?
Itupun jika dia memang benar-benar menyukai Tyas.
"Masa iya gue suka sama Bu Tyas? Terus kalau dia emang Kak Zarina apa dia mau pacaran sama gue setelah tau kalau gue itu Esa?
Rasanya aneh banget kan kalau tiba-tiba gue ngomong ke Bu Tyas kalau gue itu Esa. Pasti dia bakal ketawa dan nggak percaya." Kaesang berusaha mengusir perasaan aneh yang menggerogoti hatinya.
"Lagi pula Bu Tyas juga belum lama ini ngajar di Genius High School. Aneh banget kalo gue tiba-tiba suka sama dia. Gue kan manusia es dari kutub, yakali gue bisa suka sama orang secepat ini." imbuh Kaesang.
Dia menyeruput kopinya, mencoba mengalihkan pikiran. Setelah cukup lama berdiam diri di kafe, Kaesang bangkit dari duduknya. Dia meninggalkan uang di bawah gelas kopinya, lalu melangkah keluar kafe.
Tanpa berencana ke mana-mana lagi, Kaesang langsung tancap gas, mengendarai motornya pulang. Dia berharap saat sampai rumah, mamanya sudah terlelap dan tidak akan mencarinya.
Setibanya di rumah, Kaesang langsung memasukkan motornya ke garasi. Dia menaiki lift yang ada di garasi itu yang langsung menuju ke kamarnya. Saat lift berhenti dan pintu terbuka, Kaesang terkejut melihat mamanya tertidur di atas ranjangnya, tidak memakai selimut.
Kaesang menarik napas panjang, lalu berjalan ke arah mamanya dan menyelimuti tubuhnya. Kaesang memutuskan untuk tidur di kamar lain hari ini. Tidak ingin sekamar dengan mamanya. Meskipun sebenarnya sah-sah saja.
Kaesang mengambil selimut lain dari lemari, keluar dari kamar, dan menuju kamar sebelah. Setelah tiba di kamar itu, ia langsung menutup pintu dan menuju ranjang. Tak lama kemudian, Kaesang sudah terlelap.
Bersambung ...