Sebuah kota kecil bernama Reynhaven, seorang pria ditemukan tewas di rumahnya, tepat lima menit sebelum tengah malam. Di pergelangan tangannya, ada tanda seperti lingkaran berwarna hitam yang terlihat seperti dibakar ke kulitnya. Polisi bingung, karena tidak ada tanda-tanda perlawanan atau masuk secara paksa. Ini adalah korban kedua dalam seminggu, hingga hal ini mulai membuat seluruh kota gempar dan mulai khawatir akan diri mereka.
Di lain sisi, Naya Vellin, seorang mantan detektif, hidup dalam keterasingan setelah sebuah kasus yang ia ambil telah gagal tiga tahun lalu hingga membuatnya merasa bersalah. Ketika kasus pembunuhan ini muncul, kepala kepolisian memohon pada Naya untuk kembali bekerja sama, karena keahliannya sangat diperlukan dalam kasus ini. Awalnya ia sangat ragu, hingga akhirnya ia pun menyetujuinya. Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa kasus ini akan mengungkit masa lalunya yang telah lama dia coba lupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurul Wahida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Korban Keempat
Malam itu dingin menusuk, meski tanpa angin. Kota kecil itu terlelap dalam keheningan, hanya terdengar suara langkah sepatu di atas jalan berbatu. Sosok berjubah hitam berjalan menyusuri gang sempit menuju sebuah rumah besar di pinggiran kota. Wajahnya tersembunyi di balik tudung, hanya matanya yang tajam dan dingin terlihat.
Di dalam rumah itu, Rudi, seorang mantan pejabat, duduk di kursi ruang kerjanya. Anggur merah di gelasnya tinggal setengah. Pikirannya melayang pada masa lalunya yang penuh kemewahan. Namun, malam ini, rasa gelisah menyusup ke benaknya.
Lampu di rumah Rudi mendadak padam. Gelap menyelimuti seluruh ruangan.
"Sial, apa lagi ini?" Rudi menggerutu.
Dia meraba meja mencari ponsel, tetapi tidak menemukannya. Dengan senter kecil yang selalu dia simpan di laci, dia berdiri dan mulai memeriksa rumah.
Langkah kakinya terdengar di sepanjang lorong. Tapi langkah itu tidak sendiri. Di ujung lorong, bayangan hitam tampak berdiri, menatapnya dalam diam.
"Siapa di sana?" Rudi bertanya keras, mencoba menutupi ketakutannya.
Sosok itu tidak menjawab. Sebaliknya, dia melangkah maju dengan gerakan halus, hampir seperti melayang. Suara langkahnya tak terdengar, seolah-olah dia tidak menyentuh lantai.
"Hei, aku tanya siapa kau?!" Rudi menggenggam senter erat, mengarahkannya ke arah sosok itu.
Namun, sinar senter hanya menembus udara kosong. Sebelum dia sempat bereaksi, kain hitam menutupi wajahnya. Aroma tajam menyeruak, membuat tubuhnya limbung hingga jatuh pingsan.
Rudi membuka matanya perlahan. Kepalanya berdenyut, tubuhnya terasa berat. Ketika dia berusaha bergerak, dia menyadari tangannya terikat erat ke kursi. Kakinya juga terikat, membuatnya tidak bisa berdiri.
"Di mana aku?" Rudi bergumam.
Matanya menyipit menyesuaikan diri dengan cahaya lampu redup yang tergantung di atasnya. Ruangan itu luas, kosong, dengan dinding bata tua yang penuh lumut. Bau apek bercampur karat memenuhi udara.
Dari sudut gelap ruangan, langkah kaki mulai terdengar. Perlahan, sosok berjubah hitam muncul. Wajahnya masih tertutup, tapi kini terlihat lebih jelas. Dia membawa sebuah tas hitam di tangannya.
"Siapa kau? Apa yang kau inginkan?" Rudi mencoba terdengar tegas, meski suaranya gemetar.
Sosok itu tidak menjawab. Dia membuka tasnya, mengeluarkan sebuah alat pembuat tato. Suara mendesis kecil terdengar saat alat itu menyala.
"Kau gila? Apa yang akan kau lakukan?" Rudi berteriak, meronta, tapi tali di tubuhnya terlalu kuat.
Akhirnya, ia pun berbicara, suaranya rendah dan tenang. "Aku adalah seseorang yang sangat terkenal belakangan ini. Apa kau mengenal bayangan hitam? Yah, itulah aku."
"Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh keadilan."
Rudi mengerutkan kening, bingung sekaligus ketakutan. "B...bayangan hitam? Keadilan? Apa maksudmu? Aku tidak melakukan apa pun!"
Bayangan hitam mendekat, menatap Rudi dengan tatapan yang tajam di balik tudungnya.
"Tidak melakukan apa pun? Kau lupa siapa dirimu, Rudi? Atau kau sengaja melupakan dosa-dosamu?"
"Hei! Kalau kau bicara soal masa laluku, itu semua sudah selesai! Aku sudah menjalani hukumannya!" Rudi membela diri.
"Semua itu masa lalu!"
Dia tertawa kecil, suara tawa yang dingin dan mengancam.
"Hukuman? Tiga tahun di penjara mewah, dengan fasilitas lengkap, itu yang kau sebut hukuman? Sementara ratusan orang yang kau rugikan kehilangan rumah mereka, kehilangan keluarga mereka?"
Rudi terdiam. Tubuhnya tegang. Dia mulai mengingat dosa-dosa lamanya. Proyek yang dia selewengkan, uang rakyat yang dia gunakan untuk kepentingan pribadi. Tapi dia mencoba melawan rasa bersalah itu.
"Aku sudah keluar dari penjara. Aku sudah menebus semuanya!"
"Belum, Rudi. Hukuman yang sebenarnya baru dimulai," jawabnya begitu dingin.
Dia meraih lengan kiri Rudi. Lalu, ia menyalakan alat tatonya, mendekatkan jarum ke pergelangan tangan Rudi.
"Apa ini?! Apa yang kau lakukan?!" Rudi mencoba menarik tangannya, tapi sia-sia.
Jarum itu mulai bergerak, mengguratkan pola lingkaran hitam bersayap di kulitnya.
"Ini adalah tanda bahwa kau sudah diputuskan bersalah. Tanda yang akan menjadi pengingat dosa-dosamu," ujar pembunuh itu tanpa emosi.
Rudi menahan rasa sakit, menggertakkan giginya. "Kau sakit jiwa! Ini bukan keadilan! Ini balas dendam murahan!"
Pembunuh itu menghentikan gerakannya sejenak, menatap Rudi dengan mata yang penuh kemarahan.
"Balas dendam? Kau tidak tahu apa yang telah kau lakukan pada hidup orang lain, Rudi. Kau hanya duduk di kursi mewahmu, menikmati hasil curianmu, sementara anak-anak kehilangan masa depan mereka. Kau pikir ini balas dendam? Tidak. Ini adalah pengingat bahwa keadilan tidak bisa dibeli."
Rudi mulai menangis. Ketakutannya semakin besar, apalagi saat melihat pola tato di tangannya mulai terbentuk.
"Aku salah... Aku tahu aku salah! Tapi aku tidak pantas mati seperti ini!" teriaknya begitu histeris
Bayangan hitam mendekatkan wajahnya ke Rudi, suaranya kini lebih pelan tapi penuh ancaman.
"Apakah mereka pantas kehilangan segalanya karena ulahmu? Kau bilang ini tidak adil? Hidup ini memang tidak adil, Rudi. Tapi kau yang membuatnya seperti itu."
Rudi terisak. Dia mencoba mencari kata-kata untuk membela diri, tapi semua yang keluar dari mulutnya hanya tangisan.
Setelah selesai menorehkan tato itu, pembunuh itu mengangkat pisau panjang dari tasnya. Rudi menatap pisau itu dengan tatapan penuh horor.
"Tidak, tidak... Aku mohon! Jangan bunuh aku!" teriaknya kembali.
Pembunuh itu berdiri di depan Rudi, mengarahkan pisau itu ke dada mantan pejabat itu.
"Ini bukan hanya tentang dirimu, Rudi. Ini tentang mereka yang kau tinggalkan dalam kehancuran. Kau hanya korban keempat, dan masih banyak lagi yang harus menerima hukuman seperti ini."
"Aku akan berubah! Aku bersumpah!" Rudi mencoba meraih simpati.
"Aku akan memperbaiki semuanya! Aku akan mengembalikan uang mereka! Beri aku kesempatan!"
Namun, sang bayangan hitam menggeleng. "Kesempatan sudah kau sia-siakan bertahun-tahun lalu. Kini, waktu untukmu habis."
Tanpa ragu, dia menusukkan pisau itu ke dada Rudi. Darah mengalir deras, membuat suara berdecak saat menetes ke lantai. Tubuh Rudi terkulai, napasnya perlahan hilang.
Bayangan hitam menarik pisaunya, menghapus darahnya, lalu memasukkannya kembali ke tas. Sebelum pergi, dia meninggalkan sebuah catatan di lantai di dekat mayat Rudi.
"Dosa besar tak akan pernah hilang. Mereka yang melukai akan dilukai."
Keesokan paginya, matahari pagi menyinari kota kecil yang masih diselimuti rasa tenang. Di pabrik tua yang sudah lama terbengkalai, suara langkah kaki terdengar memecah keheningan. Sekelompok remaja laki-laki, berseragam sekolah, melangkah masuk ke dalam pabrik. Mereka tertawa kecil, membawa rokok yang disembunyikan di saku mereka.
"Ini tempat yang sempurna, nggak bakal ada yang lihat kita," ucap salah satu anak, sambil memandang sekeliling.
"Ah, pabrik ini creepy banget, sih. Tapi yaudah lah, yang penting bebas ngerokok," balas temannya, dengan nada setengah takut.
Mereka berjalan lebih dalam, menuju salah satu ruangan besar yang diterangi cahaya pagi dari celah dinding bata yang runtuh. Namun langkah mereka mendadak terhenti ketika melihat sesuatu di tengah ruangan.
"Tunggu… itu apa?" tanya salah satu diantara mereka sambil menunjuk sesuatu yang tergeletak di bawah lampu gantung tua.
Mereka mendekat perlahan. Tubuh mereka gemetar saat menyadari apa yang mereka lihat. Seorang pria paruh baya terikat di kursi kayu, dengan darah menggenang di bawahnya. Matanya terbuka kosong, dan di pergelangan tangannya ada tato lingkaran hitam bersayap.
"Astaga! Itu mayat!" jerit yang lain panik.
Salah satu dari mereka langsung merogoh ponsel dari saku, tangannya gemetar saat menekan nomor polisi.
"Halo… polisi? Kami menemukan mayat di pabrik tua di Jalan XXX. Tolong cepat datang!"
Tim kepolisian tiba tak lama kemudian, dipimpin oleh tim Owen. Bersamanya ada Naya, Evan, Rayyan, bahkan ada juga tim forensik yang mulai memeriksa tempat kejadian.
Naya memberikan kode kepada Rayyan. Ia langsung mengangguk dan mengikuti arahan Naya.
"Oke, anak-anak! Apa yang kalian lakukan disini? Apa kalian mau merokok? Padahal ini masih di jam sekolah! Ayo! Aku akan mengantar kalian ke sekolah, anak nakal!" Rayyan menuntun remaja-remaja itu ke sekolah mereka.
Melihat kepergian anak-anak itu, membuat Naya menghela napas lega. Tidak baik bagi mereka untuk melihat mayat.
"Korban yang keempat," gumam Naya sambil memandang tubuh mantan pejabat itu yang terkulai di kursi.
"Dan dia meninggalkan tanda yang sama lagi."
Naya berjalan mendekati mayat, matanya fokus pada pola tato di pergelangan tangan korban.
"Lingkaran hitam bersayap."
Evan, mendekat dengan raut wajah serius. "Senior, ini seperti menampar kita. Dia terus bergerak bebas. Empat korban dalam dua bulan, dan kita bahkan belum tahu siapa dia."
Naya menghela napas panjang. "Pembunuh ini bukan sembarangan. Dia tahu apa yang dia lakukan. Setiap tindakannya terencana dengan baik, meninggalkan pesan, tetapi tidak pernah ada jejak yang bisa kita gunakan."
Anggota forensik memanggil Naya dari sudut ruangan.
"Kami menemukan ini," kata mereka sambil menyerahkan secarik kertas dengan tulisan tangan.
Naya membaca dengan suara pelan. "Dosa besar tak akan pernah hilang. Mereka yang melukai akan dilukai."
Mendengar itu, Evan mengepalkan tangan. "Dia main hakim sendiri. Dia berpikir dia adalah keadilan."
Naya menatap tulisan itu dengan tatapan kosong.
"Bukan hanya berpikir. Dia juga bertindak sebagai algojo. Tapi kita harus memecahkan ini sebelum ada korban selanjutnya."
Setelah memeriksa tempat kejadian, tim Owen kembali ke kantor pusat untuk membahas kasus tersebut. Di ruangan besar yang dipenuhi papan bukti, foto keempat korban tergantung di dinding.
"Polanya semakin terlihat jelas," kata Naya sambil menunjuk ke papan bukti.
"Semua korban adalah orang-orang yang memiliki rekam jejak kotor dan juga orang-orang yang terhubung langsung dengan proyek Astra Land."
Rayna duduk di kursinya, memijit pelipisnya. "Kita sudah memeriksa CCTV, sidik jari, jejak sepatu dan tidak ada yang membantu. Orang ini seperti bayangan, dia datang dan pergi tanpa jejak."
Naya mendekat ke meja, menatap daftar nama korban. "Dia tidak memilih korban secara acak. Dia tahu apa yang mereka lakukan, dan dia tahu bagaimana membuat pesan yang jelas. Dia ingin kita tahu bahwa ini soal keadilan, tapi…apa motif pribadinya?"
Rayyan mulai angkat bicara. "Bagaimana kalau ini bukan hanya soal balas dendam pribadi? Bagaimana kalau dia menganggap dirinya sebagai pahlawan? Sesuatu seperti vigilante?"
Naya mengangguk pelan. "Mungkin saja. Tapi bahkan vigilante pun punya batas. Kita harus menemukan cara untuk menghentikannya sebelum dia merasa tak terkalahkan."
...****************...
Sementara itu, di tempat persembunyiannya, pembunuh bayangan hitam menatap daftar nama yang tergantung di dinding. Nama Rudi kini sudah dicoret, menyisakan beberapa nama lagi yang belum tersentuh.
Dia berdiri di depan cermin kecil, menatap pantulan dirinya. Di balik jubah hitamnya, ada rasa yang membakar di dadanya yaitu rasa puas, sekaligus kemarahan yang terus memakan dirinya.
"Empat keadilan sudah ditegakkan," bisiknya.
"Masih ada beberapa lagi yang harus dihukum."
Jam di dinding menunjukkan pukul 10.50. Dia tersenyum kecil, menyadari bahwa di waktu yang sama esok hari, seorang lagi akan merasakan keadilan dari bayangan. Dan ia kembali mengirimkan email kepada Naya.
...To be continue ...
*Vigilante adalah main hakim sendiri