Karena hendak mengungkap sebuah kejahatan di kampusnya, Arjuna, pemuda 18 tahun, menjadi sasaran balas dendam teman-teman satu kampusnya. Arjuna pun dikeroyok hingga dia tercebur ke sungai yang cukup dalam dan besar.
Beruntung, Arjuna masih bisa selamat. Di saat dia berhasil naik ke tepi sungai, tiba-tiba dia dikejutkan oleh sebuah cincin yang jatuh tepat mengenai kepalanya.
Arjuna mengira itu hanya cincin biasa. Namun, karena cincin itulah Arjuna mulai menjalani kehidupan yang tidak biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ayah Dan Anak Perempuannya
"Hallo, Widuri," sapa seorang pria tua kepada wanita yang saat ini terpaku di ambang pintu, kala melihat kedatangan pria itu.
Raut wajah wanita bernama Widuri yang awalnya nampak tenang, seketika berubah jadi kesal. Wanita itu pun kembali melangkah menuju warungnya tanpa ada niat membalas sapaan pria tua yang menatapnya.
Pria yang tadi menyapa Widuri nampak tersenyum. "Aku jauh-jauh datang ke rumahmu, dan sambutan seperti itu yang kamu tunjukan pada ayahmu?"
"Ayah? Sejak kapan anda memiliki anak seperti saya?" balas Widuri tanpa memandang tamunya.
Pria tua itu masih setia dengan senyumnya. Matanya memperhatikan bangunan sederhana yang menjadi tempat tinggal Widuri bersama keluarganya.
"Kamu betah hidup di rumah kecil kaya gini?" tanya pria tua yang mengandung ejekan. "Bangunan ini tidak pantas di sebut rumah. Ini seperti kandang kambing."
Widuri langsung melempar tatapan tajam pada pria tua itu. "Setidaknya kandang yang aku tempati, bukan dari hasil merampas harta orang lain."
"Widuri!" Pria tua itu malah melempar tatapan tajam.
"Apa! Anda tersindir? Faktanya memang begitu kan?" Widuri pun tak mau kalah.
"Kamu mau jadi anak durhaka, hah! Kamu mau nasib kamu seperti ibumu!" bentak pria tua itu.
Widuri langsung menyeringai. "Justru aku mendukung keputusan Ibu yang memilih pergi dari laki-laki seperti anda, Tuan Bratawali."
Pria tua itu tersenyum sinis. "Kamu pikir tindakan ibumu yang paling benar?"
"Faktanya memang begitu," balas Widuri tegas. "Apa pernah, selama menjadi istri anda, anda melihat Ibu membawa laki-laki lain ke rumah dan seharian di kamar dengan lelaki lain, tanpa mempedulikan perasaan pasangannya? Pernah tidak?"
"Kau..." pria tua itu menuding Widuri.
"Kenapa? Anda kaget saya mengetahuinya?" Widuri tersenyum sinis. "Saat itu saya memang masih kecil, Tuan, baru 10 tahun. Tapi saya tahu, saya mengerti banget rasa sakit istri anda, saat melihat suaminya membawa wanita lain ke dalam rumah. Apa anda pikir saya tidak sakit hati?"
Bratawali terdiam dengan mata menatap tajam satu-satunya keluarga yang masih dia miliki.
"Daripada anda datang ke sini, hanya untuk menghina dan membuka luka lama, lebih baik anda pergi dari sini. Kehadiran anda, sama sekali tidak pernah kami harapkan, Tuan Bratawali."
"Cih!" Bratawali berdecih. "Baiklah. Saya akan pergi. Saya peringatkan, kamu tidak akan pernah mendapat sedikit pun harta dari saya, sebelum kamu bersujud dan memohon ampun pada saya, mengerti! Ayo, No, kita pergi."
"Baik, Tuan."
Dengan geram, Brantawali langsung beranjak menuju mobilnya.
"Sarno, kamu cari tahu, dimana cucu saya kuliah dan selidiki juga, apakah Widuri terjerat hutang."
"Memang untuk apa, Tuan?" tanya sang supir.
"Kuliah itu butuh dana besar, Sarno. Saya ingin memberi pelajaran pada anak pembangkang itu, agar dia sadar kalau harta ayahnya yang sering dia hina, menjadi berguna buat dirinya dan anaknya."
"Baik, Tuan." Dan mobil pun segera melaju.
Widuri hanya menatap kepergian mobil yang membawa ayahnya dengan tatapan penuh benci. Wanita itu benar-benar dibuat heran dengan sikap ayahnya yang tidak pernah sekalipun menunjukan rasa bersalahnya.
Setiap kali mendatangi Widuri, Bratawali selalu menunjukan keangkuhannya. Pria tua itu Sama sekali tidak ada niat untuk tobat dan memperbaiki hubungan antara ayah dan anak perempuannya yang telah renggang selama bertahun-tahun.
Tak lama setelah kepergian Bratawali, terlihat dari arah lain, para tetangga, baru pada pulang, setelah acara pemakaman selesai.
Begitu juga dengan Juna dan ayahnya, mereka melangkah bersama tetangga, menuju rumah masing-masing.
"Ibu kenapa? Kok wajahnya kesal gitu?" tanya Bapak begitu sampai di depan rumahnya.
"Siapa yang kesal?" kilah Widuri. "Jun, hari ini kamu jualan tidak?" Widuri memilih segera melempar pertanyaan pada anaknya.
"Jualan dong, Bu," balas Juna. "Juna mau mandi dulu, makan, habis itu berangkat," anak muda itu bergegas masuk setelah selesai mencuci kaki di bawah keran yang ada di samping rumah.
"Habis ini Bapak mau ke rumah Pak Wito bentar, Bu."
"Ngapain?"
"Biasa," balas Bapak sambil cengengesan. Si Ibu hanya mencebik lalu dia kembali melanjutkan pekerjaannya.
Juna sendiri, begitu sampai kamar, dia segera mengecek ponselnya karena sangat penasaran dengan video pelaku tabrak lari yang menyebabkan tetanggganya kehilangan nyawa.
"Kamu kenapa?" tiba-tiba Klawing bersuara. "Apa kamu mengenal mobil itu?"
"Entahlah, aku sedang mencoba mengingatnya," balas Juna. "Tapi aku yakin, aku kaya pernah lihat mobili ini, tapi di mana? Dari tadi dipikirkan kok nggak ketemu-ketemu."
Sekilas Klawing tersenyum. "Kamu lihat mobilnya cuma sekali, apa berkali-kali?"
"Beberapa kali dong, Wing," balas Juna. "Yang bikin beda mobil ini dari yang lain itu stikernya loh. Stiker itu yang membuat aku kepikiran dari tadi."
Klawing pun mencoba ikut mengamati video yang masih diputar Juna. "Coba kamu tanya teman-teman kamu, mungkin ada yang mengenal pemilik mobil itu. Atau bisa jadi pemilik mobil itu teman kuliahmu."
"Teman kuliah?" Juna agak terperanjat. Seketika otaknya pun kembali mencoba mengingat-ingat. "Astaga! Ini mobil Brian."
"Brian?" Kening Klawing berkerut menatap Juna.
"Salah satu anak yang menindasku dulu," ucap Juna nampak begitu yakin. "Aku ingat banget, kalau mobil ini, sering dibawa Brian ke kampus."
"Wahh! Jangan-jangan, dia semalam juga pulang dalam keadaan mabuk tuh," ungkap Klawing.
"Mabuk?"
"Iya," balas Klawing. "Sebab, semalam, saat saya menunggu Marvin pulang, anak itu juga sedang dalam keadaan mabuk."
"Wahh, ini sih nggak bisa dibiarkan. Aku harus segera mengambil tindakan," ucap juna agak kesal.
"Tindakan apa yang akan kamu lakukan?"
Seketika Juna terdiam. Namun, otak Juna langsung berpikir. "Kenapa kita tidak pakai cara yang sama saja, seperti yang kita lakukan pada Marvin?"
Kali ini giliran Klawing yang terdiam.
"Kita teror mereka tiap hari, sampai mereka kewalahan dan akhirnya mereka mengakui perbuatan mereka. Gimana menurutmu, Wing?"
Klawing mengangguk paham. "Ide kamu sebenarnya bagus. Tapi yang saya pertanyaakan, setelah mereka mengakui kesalahan, apakah masalahnya akan selesai apa bagaimana?"
"Ya bisa saja selesai, emangnya kenapa?" balas Juna.
"Kalau sekedar minta maaf, saya rasa mereka tidak akan mendapatkan efek jeranya. Apa lagi kata kamu, mereka bisa melakukan apapun dengan uang. Kalau mereka hanya meminta maaf pada korban sambil memberi uang, ya percuma."
Juna pun tersenyum setelah mencerna ucapan makhluk yang tidak terlihat wujudnya.
"Aku tahu, apa yang kamu pikirkan. Tapi kamu tidak tahu, apa yang ada dalam pikiranku, kan?"
"Emang apa yang kamu pikirkan?"
Juna menyeringai. "Sebuah tindakan yang bisa saja meruntuhkan nama besar keluarga anak orang kaya itu."
lanjut thor 🙏