"Neng, mau ya nikah sama anaknya Pak Atmadja.? Bapak sudah terlanjur janji mau jodohkan kamu sama Erik."
Tatapan memelas Pak Abdul tak mampu membuat Bulan menolak, gadis 25 tahun itu tak tega melihat gurat penuh harap dari wajah pria baruh baya yang mulai keriput.
Bulan mengangguk lemah, dia terpaksa.
Jaman sudah modern, tapi masih saja ada orang tua yang berfikiran menjodohkan anak mereka.
Yang berpacaran lama saja bisa cerai di tengah jalan, apa lagi dengan Bulan dan Erik yang tak saling kenal sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2. Tak tersentuh
Tetangga dan kerabat dekat satu persatu sudah meninggalkan rumah. 6 jam setelah ijab kabul, rumah mulai sepi dan hanya tersisa keluarga inti. Dua keluarga yang telah disatukan oleh pernikahan ku dengan Mas Erik tampak semakin akrab. Senyum bahagia tak pernah surut dari wajah Mama Mas Erik dan Ibuku. Sebahagia itu mereka melihat anak-anaknya menikah, tanpa tahu rahasia menyakitkan di balik pernikahan ini. Yang mereka tau, kami akan bahagia menjalani kehidupan setelah pernikahan. Memberikan cucu-cucu yang lucu untuk mereka.
Aku menghela nafas berat membayangkan hari-hariku setelah menyandang status sebagai istri dari pria yang memiliki kekasih. Rasanya ingin menertawakan kebodohanku karna tetap meneruskan perjodohan ini.
"Bulan, suami kamu nanyain handuk baru, katanya mau mandi." Suara Bapak menyadarkanku dari lamunan. Di hadapanku ada sepupu dan adik Mas Erik yang masih kuliah. Keempat orang itu asik bercanda di saat pikiranku sedang berkemelut, memikirkan nasib mirisku.
"Ekheem,,, ekheemm,, itu namanya kode, Bulan. Sana buruan, samperin suamimu ke kamar." Kakak sepupuku tersenyum lebar penuh arti dengan tatapan meledek. Ibu satu anak itu pasti berfikir yang tidak-tidak.
"Apaan sih Mba, kan cuma minta handuk. Mungkin Mas Erik memang lupa bawa handuk." Aku buru-buru beranjak agar tidak menjadi bulan-bulanan sepupuku yang lain. Lagipula di sana ada anak gadis, takut pikirannya tercemar karna ucapan sepupuku. Berbeda denganku yang sudah biasa mendengar perkataan mereka yang sebenarnya tabu di bicarakan.
"Iya, iya, Mba percaya.!" Jawabnya penuh penekan, namun dengan ekspresi menahan tawa jahil. Yang artinya kebalikan dari ucapannya tadi. Namun aku enggan meladeni dan segera berlalu.
...******...
Tok,, tok,, tok,,
Rasanya sangat lucu mengetuk pintu kamar sendiri disaat di dalam sana ada seorang pria yang bergelar sebagai suamiku. Jika ada orang lain yang melihat, mereka mungkin akan menegur atau menertawakanku. Untungnya suasana di dalam rumah cukup sepi, kebanyakan masih ada di halaman rumah, duduk di tenda pelaminan yang cukup megah. Tentu bukan keinginanku, karna orang tua Mas Erik yang mengurus semuanya. Aku cukup terima beres. Sebab, orang tua Mas Erik yang bersikeras memintaku untuk menjadi menantunya.
Aku baru membuka pintu setelah mendengar suara bariton dari dalam kamar yang menyuruhku masuk. Mas Erik tampak duduk di kursi meja rias, dia langsung berdiri saat melihatku masuk.
"Ada handuk bersih.? Aku lupa bawa handuk." Nada bicaranya sangat datar, sedatar ekspresi wajahnya kala menatap ke arahku.
"Sebentar, aku cari dulu."
Setelah menutup pintu kamar, ku buka satu-satunya lemari baju yang ada di kamar ini. Aku memang bukan wanita yang gemar mengoleksi baju. Satu lemari berukuran sedang sudah cukup untuk menampung semua pakaian beserta kerudung.
"Yang benar saja Bulan, masa aku pakai handuk warna pink.?" Keluh pria berbadan tinggi itu. Dahinya mengkerut, membuat alis tebalnya menukik. Ekspresi herannya cukup menambah kadar ketampanan suamiku. 'Suami.?' Batinku tersenyum miris.
"Hanya ada ini di lemari. Lagipula cuma handuk, kenapa mempermasalahkan warna. Memangnya Mas Erik mau keluar kamar pakai handuk ini.?" Sahut ku panjang lebar.
Mas Erik memasang wajah malas sembari menyambar handuk dari tanganku dan berlalu ke kamar mandi. Sikapnya membuatku geleng-geleng kepala.
Tak mau ambil pusing, aku segera keluar kamar dan kembali berkumpul dengan sepupuku dan yang lain. Jangan di tanya bagaimana reaksi mereka saat melihatku sudah keluar kamar lagi. Mereka meledek ku habis-habisan. Aku hanya menanggapi dengan senyum tanpa berkomentar. Biarlah nanti mereka tau sendiri pernikahan macam apa yang akan aku jalani.
...******...
Jarum jam menunjukkan pukul 7 malam. Semua orang sudah berkumpul di ruang tamu beralaskan karpet. Di tengah-tengah sudah ada hidangan makan malam, lengkap dengan beberapa menu masakan khas hajatan. Ibu tidak mengijinkan keluarga Mas Erik dan keluarga dekatku pulang sebelum makan malam, itu sebabnya kondisi di rumah masih ramai.
Aku dan Mas Erik duduk sebelahan. Ada rasa canggung dan tidak nyaman dalam posisi seperti ini. Lebih tepatnya saat perhatian semua orang fokus ke arah kami dengan tatapan penuh arti. Padahal tidak terjadi apapun di antara kami selama istirahat berduaan di kamar selama 2 jam. Kalau saja tidak dipaksa istirahat oleh keluargaku, mana mungkin kami akan berduaan selama itu dalam keheningan.
"Ambilkan makanan untuk suamimu dulu, Bulan. Masa begitu saja harus Ibu yang ngajarin.?" Bisikan Ibu yang posisi duduknya juga ada di sampingku.
Aku mengangguk tanpa protes.
"Mau pakai lauk apa Mas.?" Tanyaku saat piring di tangan sudah ku isi nasi.
"Apa saja, aku tidak pilih-pilih makanan." Jemarinya tampak lincah mengetik pesan di layar ponsel sambil menjawab pertanyaanku.
Sekilas aku melihat nama kontak perempuan dengan emoticon love. Suamiku sedang membalas pesan dari kekasihnya. Bukankah itu sangat konyol.?
...******...
"Kamu tidak gerah tidur pakai kerudung.?" Tanya Mas Erik saat melihatku naik ke atas ranjang dan berbaring dengan kerudung yang masih melekat di kepala. Menutup rambut hitamku yang panjang.
"Gerah mungkin di awal saja, selanjutnya akan terbiasa. Lagipula ada AC." Jawabku sambil berbalik badan memunggungi Mas Erik. Bahkan aku mengambil tempat paling pinggir karna ingin membuat jarak. Sebab percuma saja tidur berdekatan kalau sudah ada kata 'Tak akan menyentuhmu' keluar dari bibirnya.
"Kamu takut aku khilaf setelah melihatmu tidak pakai kerudung.? Aku janji tidak akan menyentuhmu." Ucapan Mas Erik cukup menarik perhatian, seketika aku berbalik badan menatapnya.
"Bukan hanya takut khilaf, tapi takut Mas Erik jatuh cinta padaku." Kataku sedikit terkekeh. Menanggapinya dengan candaan adalah salah satu cara menyelamatkan perasaanku agar tak tersinggung.
"Kalau sudah jatuh cinta padaku, nanti mau dikemanakan kekasih Mas Erik itu." Ku tatap lekat netra Mas Eric yang menatapku tajam. Aku bahkan tidak bisa mengartikan arti tatapannya kali ini.
"Namanya Celine." Ucap Mas Eric seraya mengarahkan pandangan ke atas, menatap langit-langit kamar dengan tatapan menerawang.
"Sudah 4 tahun kami bersama. Orang tuaku mengira hubungan kami sudah berakhir. Kami tidak seiman. keluarganya juga tak mengijinkan Celine menukar agamanya denganku, begitu pun aku."
"Jadi keluarga kami sepakat mengakhiri hubungan ku dengan Celine yang saat itu memasuki tahun ke tiga."
Nada bicara datarnya penuh keputus-asaan. Aku sempat hanyut dalam kisahnya, membayangkan dua orang yang saling mencintai namun tak bisa bersatu karna beda keyakinan.
Mungkin tidak ada titik temu karna keluarga Mas Erik dan keluarga kekasihnya sama-sama kuat mempertahankan kepercayaan yang sejak kecil mereka anut.
"Aku turut prihatin. Tapi kalau ditakdirkan tidak berjodoh, kita sebagai manusia bisa apa.?" Kataku penuh penekanan.
"Sama seperti aku yang pernah merencanakan pernikahan bersama seseorang, tapi hari ini malah menikah dengan Mas Erik." Sengaja ku tegaskan kalimat terakhir, hingga Mas Erik menoleh ke arahku.
"Manusia hanya bisa berencana, tapi Allah yang menentukan.!" Ucapku tegas.
Mas Erik terdiam, beberapa saat dia menatapku tanpa kata, lalu mengalihkan pandangan. Entah apa yang ada dalam benaknya.
Malam pertama kami dilewatkan begitu saja tanpa ritual yang biasa dilakukan pasangan pengantin baru. Jauh dari kata Indah, romantis ataupun berkesan. Namun akan selalu aku ingat malam ini, malam dimana suamiku tak mau menyentuhku karna menjaga perasaan wanita lain.
ktagihan y 😄
gᥲ⍴ᥲ⍴ᥲ ᥣᥲᥒ mᥲkіᥒ һᥲrі mᥲkіᥒ ᥱᥒᥲk k᥆kk 😁🤭 ძ᥆ᥲkᥙ sᥱm᥆gᥲ kᥲᥣіᥲᥒ ᥴᥱ⍴ᥲ𝗍 ძі kᥲsіһ m᥆m᥆ᥒgᥲᥒ ᥡᥲ.. ᥲᥲmііᥒ