Di puncak Gunung Kunlun yang sakral, tersimpan rahasia kuno yang telah terlupakan selama ribuan tahun. Seorang pemuda bernama Wei Xialong (魏霞龙), seorang mahasiswa biasa dari dunia modern, secara misterius terlempar ke tubuh seorang pangeran muda yang dikutuk di Kekaisaran Tianchao. Pangeran ini, yang dulunya dipandang rendah karena tidak memiliki kemampuan mengendalikan Qi surgawi, menyimpan sebuah rahasia besar: dalam tubuhnya mengalir darah para Dewa Pedang Kuno yang telah punah.
Melalui sebuah pertemuan takdir dengan sebilah pedang kuno bernama "天剑" (Tian Jian - Pedang Surgawi), Wei Xialong menemukan bahwa kutukan yang dianggap sebagai kelemahannya justru adalah pemberian terakhir dari para Dewa Pedang. Dengan kebangkitan kekuatannya, Wei Xialong memulai perjalanan untuk mengungkap misteri masa lalunya, melindungi kekaisarannya dari ancaman iblis kuno, dan mencari jawaban atas pertanyaan terbesarnya: mengapa ia dipilih untuk mewarisi teknik pedang legendaris ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaiiStory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Resonansi Takdir 命运共鸣
Tiga hari setelah Wei Xialong tak sadarkan diri, Tian Jian bergetar halus dalam sarungnya yang terpajang di sudut pavilium. Pedang yang dulunya memilihnya sebagai pewaris kini memancarkan cahaya kebiruan yang redup, seolah merespons kondisi tuannya.
"Aneh," Selir Yang bergumam, tangannya masih menggenggam jemari putranya yang dingin. "Tian Jian tidak pernah bereaksi seperti ini sebelumnya."
Yingmu, yang baru saja memasuki ruangan membawa ramuan herbal, menghentikan langkahnya. Matanya terpaku pada pedang legendaris itu. "Karena Tian Jian merasakan perubahan dalam diri tuannya."
"Perubahan?"
"Ritual di Ruang Kebenaran... saat Xialong melepaskan ribuan jiwa itu," Yingmu menjelaskan sambil meletakkan ramuan di meja, "ia tidak hanya mengubah takdir mereka. Ada sesuatu yang lebih dalam yang terbangun."
Selir Yang teringat hari itu di Kuil Pedang Surgawi, ketika putranya yang "dikutuk" justru terpilih oleh Tian Jian. "Maksudmu... ini ada hubungannya dengan kekuatan asli Xialong? Kemampuannya menyerap Qi?"
"Lebih dari itu," Yingmu menatap pola-pola yang bergerak di kulit Xialong. "Dulu, Tian Jian memilihnya karena melihat potensi dalam ketidaksempurnaannya. Sekarang... pedang itu merasakan kebangkitan sejati dari darah Dewa Pedang yang mengalir dalam tubuhnya."
Tepat saat itu, Wei Xialong bergerak dalam tidurnya. Bibirnya bergetar, mengucapkan kata-kata dalam bahasa kuno yang pernah mereka dengar di Kuil Pedang Surgawi:
"Tian Jian... pembuka jalan... rahasia harus... terjaga..."
Mendadak, Tian Jian berdengung lebih keras. Cahaya kebiruannya membentuk pola yang sama dengan tato di tubuh Xialong—simbol-simbol kuno yang menurut legenda adalah bahasa asli para Dewa Pedang.
"Ini..." Yingmu mundur selangkah, "resonansi sempurna antara pedang dan pewaris."
"Tapi kenapa sekarang?" Selir Yang bertanya cemas. "Kenapa tidak sejak awal saat Tian Jian memilihnya?"
"Karena dulu Xialong belum siap," suara baru terdengar dari pintu.
Tianfeng berdiri di sana, tapi auranya berbeda. Tidak ada lagi jejak arogansi yang dulu selalu ia tunjukkan pada adik tirinya. "Dan kita semua salah menilainya."
"Apa maksudmu?" Selir Yang bertanya waspada.
"Kutukan yang kita pikir ada padanya... ketidakmampuannya mengendalikan Qi..." Tianfeng melangkah masuk, "sebenarnya adalah pertanda. Tubuhnya yang seperti wadah kosong itu... adalah persiapan untuk sesuatu yang lebih besar."
Namun sebelum siapapun bisa merespons, Wei Xialong tiba-tiba membuka mata. Tapi bukan mata cokelat yang biasa mereka lihat—melainkan mata yang berkilau keperakan, mirip dengan permukaan Tian Jian yang berkilau di bawah sinar bulan.
"Kakak..." Xialong menatap Tianfeng, suaranya lemah tapi tegas. "Kau... sudah bertemu mereka?"
Tianfeng tersentak. "Mereka siapa?"
"Para Pemburu Bayangan," Xialong berusaha bangkit. "Mereka yang mengincar rahasia di balik Tian Jian... rahasia yang bahkan Ayahanda Kaisar tidak ketahui."
Wajah Tianfeng memucat. "Bagaimana kau bisa..."
"Dalam tidurku," Xialong memotong, "aku melihat segalanya. Masa lalu saat Tian Jian ditempa dari air mata para Dewa... masa depan di mana darah akan mengalir di Kunlun... dan pengkhianatan yang akan mengubah segalanya."
Tian Jian mendadak bersinar sangat terang, merespon kata-kata tuannya. Cahayanya membentuk bayangan-bayangan di dinding—siluet pertempuran kuno antara para Dewa Pedang dan sosok-sosok gelap yang membawa aura mencekam.
"Mereka datang," Xialong berbisik, matanya terpaku pada bayangan-bayangan itu. "Dalam tujuh hari... mereka akan mencoba mengambil apa yang tersegel dalam Tian Jian. Dan kau, Kakak... harus memilih sisi mana yang akan kau bela."
Tianfeng mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. "Kau tidak mengerti, Xialong. Apa yang tersegel dalam Tian Jian... terlalu berbahaya untuk dibiarkan ada."
"Tidak," Xialong menggeleng lemah, "kaulah yang tidak mengerti, Kakak. Yang tersegel dalam Tian Jian bukan hanya kekuatan... tapi kebenaran. Kebenaran tentang siapa kita sebenarnya."
Selir Yang menatap putranya dengan mata berkaca-kaca. "Xialong, apa yang kau lihat dalam penglihatanmu?"
"Aku melihat..." Xialong berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat, "asal-usul klan Wei yang sebenarnya. Kita... kita bukan hanya keturunan bangsawan biasa. Darah yang mengalir dalam pembuluh darah kita adalah darah para Dewa Pedang terakhir."
Yingmu tersentak. "Mustahil. Para Dewa Pedang punah ribuan tahun lalu."
"Tidak punah," Xialong meraih Tian Jian yang masih bercahaya, "mereka berevolusi. Memilih untuk hidup di antara manusia, meninggalkan kekuatan mereka dalam bentuk yang berbeda. Dan Tian Jian... adalah kunci untuk membangkitkan kembali warisan itu."
"Tapi Para Pemburu Bayangan..." Tianfeng mencoba membantah.
"Mereka takut," Xialong memotong, kali ini suaranya lebih kuat. "Mereka takut pada perubahan. Takut pada kekuatan yang tidak bisa mereka kendalikan. Itulah sebabnya mereka mengincar keluarga kita... itulah sebabnya mereka mengincar Tian Jian."
Mendadak, Tian Jian bergetar hebat. Dari mata pedang, cahaya kebiruan memancar dalam intensitas yang membutakan. Pola-pola di tubuh Xialong beresonansi dengan cahaya itu, menciptakan harmoni energi yang membuat udara di sekitar mereka bergetar.
"Lihat?" Xialong bangkit perlahan, kali ini tubuhnya tidak goyah. "Tian Jian tidak hanya memilihku karena kekosongan dalam diriku. Ia memilihku karena dalam darahku mengalir kenangan para leluhur... kenangan yang telah menunggu ribuan tahun untuk dibangkitkan."
Tepat saat itu, suara dentuman keras terdengar dari kejauhan. Tianfeng bergegas ke jendela, wajahnya memucat melihat apa yang ada di luar sana.
"Mereka sudah bergerak lebih cepat," ia berbisik horor. "Para Pemburu Bayangan... mereka tidak menunggu tujuh hari."
Wei Xialong menggenggam erat Tian Jian, pedang legendaris itu berdengung seolah merespons tekadnya. "Kalau begitu... kita juga tidak punya pilihan selain bergerak sekarang."
Teriakan peringatan dari penjaga istana mulai terdengar, berbaur dengan suara dentuman yang semakin mendekat. Tianfeng segera mengambil pedangnya sendiri, Huang Jin, yang selama ini tersimpan dalam sarung pedang berwarna hitam legam. "Kita harus memindahkan Ibu ke tempat yang aman terlebih dahulu," ujarnya dengan nada tegas.
Selir Yang menggeleng, "Tidak, aku akan tetap di sini. Kalian berdua yang harus pergi. Para Pemburu Bayangan mengincar Tian Jian dan pewaris sahnya." Wanita itu mengeluarkan sebuah gulungan tua dari lengan bajunya. "Ambil ini. Di dalamnya terdapat peta menuju Kuil Pedang Berkabut. Para pendeta di sana... mereka adalah keturunan terakhir dari pengikut setia Dewa Pedang."
Xialong hendak membantah, namun tatapan ibunya menghentikannya. Ada ketegasan yang tak terbantahkan dalam sorot mata itu. "Baiklah," ia akhirnya mengalah, "tapi berjanjilah Ibu akan mencari cara untuk bergabung dengan kami nanti." Selir Yang tersenyum lembut, tangannya membelai pipi putranya untuk terakhir kali.
Yingmu, yang sedari tadi diam, tiba-tiba bergerak ke arah lemari tua di sudut ruangan. Dengan gerakan cepat, ia membuka panel rahasia dan mengeluarkan sebuah kotak kayu berukir. "Jika kalian akan ke Kuil Pedang Berkabut, kalian akan membutuhkan ini," ia membuka kotak itu, menampilkan sepasang jimat kuno dengan ukiran yang mirip dengan pola di tubuh Xialong.
"Jimat Pengikat Roh," Tianfeng mengenali benda itu, "konon dapat melindungi pemakainya dari serangan energi kegelapan." Yingmu mengangguk, "Dan yang lebih penting, jimat ini dapat menyembunyikan aura kalian dari Para Pemburu Bayangan. Setidaknya untuk sementara."
Dentuman di luar semakin keras, kini disertai dengan kilatan-kilatan cahaya ungu yang menyinari langit malam. Xialong dapat merasakan Tian Jian beresonansi lebih kuat, seolah memperingatkan bahaya yang semakin mendekat. "Kita harus pergi sekarang," ia menatap kakaknya, yang mengangguk setuju.
"Gunakan lorong rahasia di bawah perpustakaan," Selir Yang memberi instruksi terakhir, "dan ingat, apa pun yang terjadi, jangan biarkan Tian Jian jatuh ke tangan mereka. Nasib lebih dari sekadar klan Wei yang dipertaruhkan di sini." Dengan berat hati, kedua bersaudara itu membungkuk memberi hormat terakhir kepada ibu mereka, sebelum bergegas meninggalkan ruangan melalui pintu samping.