Di usianya yang baru menginjak 17 tahun Laila sudah harus menjadi janda dengan dua orang anak perempuan. Salah satu dari anak perempuan itu memiliki kekurangan (Kalau kata orang kampung mah kurang se-ons).
Bagaimana hidup berat yang harus dijalani Laila dengan status janda dan anak perempuan yang kurang se-ons itu?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Gadis bertubuh kecil itu berlari menuju balai kesehatan sambil memegangi erat kedua anak pada tangan kanan dan kirinya. Mereka berdua tidak pernah bisa lepas darinya sehingga harus dibawanya pula dalam situasi yang genting begini. Setelah dirinya mendapat kabar kalau suaminya dan istri pertamanya mengalami kecelakaan.
"Itu Laila! istri kedua Pak Ahmad." Tunjuk salah satu warga yang berkerumun di sana.
"Bagaimana keadaan Pak Ahmad dan Teh Nini?" Laila sudah bergabung dengan mereka dan melihat sendiri keadaan suami istri itu.
Pak Ahmad yang merupakan suaminya sudah tidak bergerak dengan mata yang tertutup. Pria itu telah meninggal lebih dulu.
"Baba" panggil kedua anaknya sambil menangis kencang.
Sedangkan Teh Nini sedang berjuang, menatap Laila. Seperti ingin menyampaikan sesuatu pada madunya itu.
"Ma-af" ucapnya lirih.
Laila segera meraih lalu menggenggam erat tangan Teh Nini. Perempuan yang merelakan suaminya menikahinya hanya karena warga kampung selalu mengejeknya pembawa sial. Sebab suami pertama Laila harus meninggal di saat malam pertama. Dan kesialan itu menimpa Pak Ahmad yang tadi pagi menikahinya. Ternyata bukan hanya Pak Ahmad, Teh Nini juga.
"Teh Nini harus kuat." Laila menghapus air mata yang bercampur darah pada wajah Teh Nini.
Teh Nini menggeleng lemah, matanya sudah mulai terpejam tapi berusaha dikuatkannya untuk tetap terbuka.
"A-ku ti-tip Sal-wa, Hal-wa."
"Iya, aku akan menjaga mereka."
Teh Nini tersenyum di tengah rasa sakit yang mendera seluruh tubuhnya yang telah remuk.
"Ang-gap sa-ja mereka anak-anak ka-mu."
Laila mengangguk sambil berurai air mata. Kemudian membimbing Teh Nini mengucapkan kedua kalimat syahadat saat nyawanya di ujung tenggorokannya.
"Innalillahi Wa Inna Ilaihi Raji'un" ucap seluru warga yang menyaksikan kepergian Teh Nini.
"Mama."
*****
Satu minggu setelah kepergian Pak Ahmad dan Teh Nini. Kehidupan Laila dan kedua anaknya mulai terasa berat. Apa yang ada di rumah sederhana itu sudah mulai dijual guna memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Laila yang tidak sekolah membuatnya kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Padahal sudah ada satu pabrik besar yang berdiri di Kampung Telaga itu. Sudah ada ratusan warga yang bekerja di sana tapi semuanya lulusan SMA/Sederajat.
Belum lagi kedua anak perempuan yang tidak bisa ditinggalkannya. Mengikat langkahnya untuk terus berada di dekat anak-anak itu. Terutama Salwa yang membutuhkan perhatiannya hampir 24 jam.
"Halwa masih mau makan, Bu." Anak berusia 4 tahun itu mengangkat piring plastiknya ke hadapan Laila. Meminta nasi yang hanya tersisa untuk dirinya saja.
Sembari tersenyum Laila memberikan setengah dari jatahnya karena ditakutkan Salwa akan memintanya juga. Dan ternyata memang benar sesuai dugaannya.
"Salwa juga mau, Bu" Salwa meminta nasinya juga. Laila pun kembali tersenyum sembari menaruh setengah nasinya lagi di atas piringnya.
Tidak masalah kalau malam ini Laila tidur dalam keadaan perut kosong, hanya air putih saja yang memenuhi perutnya karena memang dari pagi belum ada terisi nasi.
Halwa dan Salwa masih terlelap, sedangkan Laila harus terbangun tengah malam guna berdoa. Meminta kemudahan untuk segala sesuatu dalam hidupnya. Termasuk untuk besok pagi.
Setelah melipat sajadah Laila mengedarkan pandangannya, mencari sesuatu yang bisa dijualnya. Terapi sayang, sudah tidak ada yang bisa dijadikannya uang.
Sebelum terdengar azan subuh Laila mendatangi warung yang terhalang tiga rumah dari rumahnya. Perempuan itu akan menebalkan muka untuk berhutang di warung itu. Demi satu liter beras dan seperempat kilo telur ayam.
"Pagi-pagi kok sudah menghutang, Laila?."
"Maaf, Bu. Nanti saya bayar."
"Tidaklah Laila, nanti warung ku apes kalau pagi-pagi sudah dihutangi."
Laila terdiam, perempuan itu pun tidak ingin menimbulkan kemalangan untuk orang lain.
Laila pulang ke rumah dengan tangan kosong, wajah Halwa dan Salwa selalu melintas dalam benaknya. Apa yang akan dikasihnya pagi ini kepada mereka?.
Tidak putus asa begitu saja, setelah melaksanakan shalat subuh Laila mendatangi bebarapa tetangga guna meminta bantuan berupa pinjaman. Tapi sudah lima rumah yang didatanginya tapi belum membuahkan hasil.
Air mata mulai jatuh, rasa percaya dirinya sudah hilang, kakinya kian sulit melangkah. Dengan langkah gontai Laila kembali ke rumah.
Senyum Halwa dan Salwa menyambutnya saat tiba di rumah. Kekuatan dan rasa percaya dirinya kembali pulih dengan cepat.
"Tadi Ibu Desi ke sini. Memberikan ini untuk Ibu." Salwa menyodorkan amplop putih pada Ibu Laila.
"Ini apa?" tanyanya.
"Tidak tahu, Bu. Katanya Ibu Desi, Ibu diminta datang ke rumahnya untuk bantu-bantu." Jawab Salwa menyampaikan pesan dari Ibu Desi.
Ibu Laila pun membuka amplopnya dan matanya seketika basah dengan bibir yang tidak berhenti berucap syukur. Rezeki datang dari orang dan tempat yang tidak terduga.
"Kita ikut ya, Bu" Salwa menaruh satu tangannya pada leher Ibu Laila.
"Iya, kita akan ke sana sama-sama."
Ibu Laila segera memasak nasi dan menggoreng telur untuk kedua anaknya sebelum berangkat ke rumah Ibu Desi.
Ibu Laila dan kedua putrinya telah tiba di rumah Ibu Desi. Ternyata di rumah orang kaya itu akan ada acara khitan untuk putra sulungnya yang sudah berumur 10 tahun. Ada anak-anak tetangga juga yang sedang bermain di sana.
"Ibu mau bantu-bantu di dapur, kalian main di sini saja bersama yang lain. Kalau ada apa-apa panggil Ibu segera, ya?."
"Iya." Halwa dan Salwa mengangguk.
"Tolong kamu jaga Kak Salwa" bisik Ibu Laila pada Halwa.
Halwa mengangguk sambil mengacungkan jempolnya ke arah Ibu Laila. Perempuan berhijab putih itu bergabung dengan yang lainnya di dapur besar itu.
Cukup lama Laila berada di dapur, sudah banyak pula yang dikerjakannya di sana. Sejak tadi Laila menulikan pendengarannya dari omongan-omongan tetangga yang kurang enak di dengar mengenai banyak hal. Akan tetapi yang lebih disorot adalah fakta tentang anaknya, Salwa.
"Si Salwa mau jadi apa nanti kalau masih belum sekolah?."
"Paling tidak akan jadi apa-apa."
"Ya paling-paling tidak jauh, menjadi sampah masyarakat."
"Orang kurang se-ons gitu mana bisa belajar."
"Padahal Pah Ahmad dan Teh Nini sangat terkenal agamis tapi sayangnya punya anak yang kurang se-ons."
"Lihat saja, sebentar lagi pasti Salwa akan mengamuk."
Mulut Laila begitu rapat, tidak mau membukanya untuk balik membalas perkataan mereka yang menyakitkannya. Selain karena ini bukan yang pertama kali mendapatkan cemoohan seperti ini mengenai Salwa. Tetapi mereka semua adalah Ibu-Ibu yang seusia dengan almarhumah Ibunya. Jadi Laila masih menghormati mereka. Asalkan bukan perlakuan fisik yang diterima Salwa.
Salah seorang anak kecil masuk dengan suara tangis yang cukup kencang. Ternyata kepalanya sudah benjol cukup besar.
"Salwa mendorong aku, Bu?." Adu si anak.
Bersambung.....
jangan lupa dateng aku di karya ku judul nya istri kecil tuan mafia
jangan lupa mampir di beberapa karyaku ya😉