NovelToon NovelToon
ANAK RAHASIA

ANAK RAHASIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Lari Saat Hamil / One Night Stand / Single Mom / Hamil di luar nikah
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Rahasia kelam membayangi hidup Kamala dan Reyna. Tanpa mereka sadari, masa lalu yang penuh konspirasi telah menuntun mereka pada kehidupan yang tak seharusnya mereka jalanin.

Saat kepingan kebenaran mulai terungkap, Kamala dan Reyna harus menghadapi kenyataan pahit yang melibatkan keluarga, kebencian, dan dendam masa lalu. Akankah mereka menemukan kembali tempat yang seharusnya? Atau justru terseret lebih dalam dalam pusaran takdir yang mengikat mereka?

Sebuah kisah tentang pengkhianatan, dendam, dan pencarian jati diri yang akan mengubah segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

NARASI Episode 23

Keesokan harinya, tibalah hari di mana Reyna akhirnya diperbolehkan pulang.

"Asyik! Aku udah sembuh! Nggak sakit lagi!" seru Reyna dengan wajah berbinar.

Kamala tersenyum hangat melihat putrinya kembali sehat seperti dulu. Ada rasa lega yang begitu besar di hatinya. Ia berjanji, untuk saat ini dan seterusnya, ia tidak akan membiarkan Reyna kehujanan lagi.

Sambil memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas, Kamala melirik putrinya yang masih duduk di tepi ranjang dengan semangat.

Saat itu, Affan kembali ke dalam kamar setelah menyelesaikan administrasi rumah sakit. Ia membawa beberapa dokumen di tangan dan meletakkannya di meja kecil di samping ranjang.

Tiba-tiba, suara lembut Reyna memecah keheningan.

"Om Affan akan ikut kita, kan, Bu?" tanyanya dengan mata berbinar penuh harap.

Kamala dan Affan saling bertatapan, keduanya terdiam sejenak, seolah menimbang jawaban yang tepat untuk diberikan pada Reyna.

Kamala akhirnya menghela napas pelan sebelum tersenyum lembut. "Tidak, sayang. Om Affan kan punya rumah sendiri," jawabnya dengan hati-hati.

Mendengar jawaban itu, ekspresi Reyna langsung berubah. Gadis kecil itu mengerucutkan bibirnya, menunjukkan wajah cemberut yang menggemaskan.

Kamala tersenyum kecil lalu mengusap kepala putrinya dengan lembut. "Nanti kalau kamu kangen sama Om Affan, kan bisa datang ke rumahnya," tambahnya, mencoba menghibur.

Namun, Reyna tetap memasang ekspresi wajah cemberutnya. Ia menunduk, memainkan ujung bajunya dengan tatapan kecewa.

Affan yang sejak tadi diam akhirnya tersenyum tipis dan berjongkok di depan Reyna. "Hei, jangan sedih gitu, dong. Om kan nggak ke mana-mana," ujarnya lembut.

Reyna mendongak, menatap Affan dengan mata penuh harap. "Janji?"

Affan mengangguk mantap. "Janji."

Reyna akhirnya tersenyum kecil, meskipun rasa kecewa masih sedikit tersirat di wajahnya.

Kamala memperhatikan interaksi itu dengan perasaan campur aduk. Ia tahu Reyna sudah mulai dekat dengan Affan, dan itu membuatnya sedikit khawatir. Namun, di sisi lain, ia juga tidak bisa mengabaikan rasa hangat yang muncul setiap kali melihat mereka bersama.

"Ayo, Reyna, kita harus pergi," ujar Kamala lembut, sambil menutup ritsleting tasnya.

Reyna masih enggan beranjak, tatapannya berpindah dari ibunya ke Affan, seolah masih berharap pria itu akan ikut bersama mereka.

"Tapi, Om Affan…" suara kecilnya terdengar ragu.

Affan tersenyum dan mengacak rambut Reyna dengan lembut. "Om bakal mampir nanti, jadi jangan sedih, ya?"

Reyna akhirnya mengangguk, meski wajahnya masih menunjukkan sedikit kekecewaan.

Kamala meraih tangan putrinya dan membantunya turun dari ranjang rumah sakit. Ia kemudian menoleh ke Affan, menatapnya sejenak sebelum menghela napas. "Terima kasih, Affan, sudah banyak membantu kami," katanya tulus.

Affan hanya tersenyum kecil. "Jaga diri kalian baik-baik."

Kamala mengangguk, lalu menggandeng tangan Reyna dan melangkah keluar kamar. Namun, sebelum benar-benar pergi, Reyna tiba-tiba melepaskan genggaman ibunya dan berlari kembali ke arah Affan, lalu memeluknya erat.

"Om harus janji, ya, datang ke rumah," pintanya dengan suara lirih.

Affan membalas pelukan kecil itu dengan lembut. "Iya, Om janji," jawabnya meyakinkan.

Setelah beberapa detik, Reyna akhirnya melepaskan pelukannya dan kembali ke sisi Kamala.

Mereka pun melangkah pergi, meninggalkan Affan yang masih berdiri di tempatnya, memperhatikan punggung mereka menjauh.

Reyna merasa sedih, langkah kecilnya melambat saat mereka berjalan menuju pintu keluar rumah sakit. Ia terus menoleh ke belakang, berharap Affan berubah pikiran dan menyusul mereka.

Kamala merasakan genggaman tangan putrinya mengendur. Ia menunduk, melihat wajah Reyna yang muram. "Sayang, kau kenapa?" tanyanya lembut.

Reyna menghela napas kecil. "Aku mau Om Affan ikut pulang," gumamnya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.

Kamala tersenyum, meski hatinya sedikit tersentuh melihat ekspresi kecewa anaknya. "Om Affan ada urusannya sendiri, sayang. Tapi nanti kita bisa bertemu Om Affan lagi."

"Enggak!" seru Reyna, suaranya dipenuhi rasa kecewa.

Tanpa menunggu jawaban ibunya, Reyna langsung berbalik dan berlari kecil menuju ruangan tempat mereka tadi meninggalkan Affan. Langkahnya penuh harapan, berharap Affan masih ada di sana.

Namun, begitu ia sampai, ruangan itu kosong. Tidak ada siapa pun di sana.

Reyna tertegun, matanya berkeliaran ke segala arah, mencari sosok yang tadi berdiri di sana. "Om Affan?" panggilnya dengan suara kecil, namun tak ada jawaban.

Dadanya terasa sedikit sesak, dan merasa kecewa.

Kamala yang baru saja menyusul, melihat putrinya berdiri diam di ambang pintu dengan wajah murung. Hatinya mencelos melihat bahu kecil itu sedikit bergetar.

Ia segera mendekat, lalu berjongkok di hadapan Reyna, mengusap lembut pipi anaknya yang mulai basah oleh air mata. "Sayang... udah ya, jangan sedih. Kan ada Ibu," ucapnya dengan suara lembut, mencoba menenangkan putrinya.

Namun, Reyna menggeleng kuat, air matanya semakin deras. "Aku mau sama Om Affan, Bu..." isaknya, suaranya bergetar penuh kesedihan.

Kamala menghela napas, lalu mengelus rambut Reyna dengan lembut. Ia tahu betapa dekatnya putrinya dengan Affan, dan melihatnya begitu terpukul membuat hatinya ikut terasa berat.

"Baiklah, kita cari Om Affan, ya?" ujarnya akhirnya, mencoba memenuhi keinginan Reyna.

Reyna mengangguk kecil di antara isakannya, lalu menggenggam tangan ibunya dengan erat.

Mereka pun mulai mencari Affan di sekitar rumah sakit, menyusuri lorong-lorong dengan harapan bisa menemukan sosok pria itu. Kamala mencoba bertanya pada beberapa perawat yang kebetulan lewat, tetapi tak seorang pun melihat ke mana Affan pergi.

Reyna semakin gelisah. "Om Affan nggak pergi kan, Bu?" tanyanya dengan suara serak, matanya yang sembab menatap Kamala penuh harap.

Kamala menggigit bibirnya, tidak tahu harus menjawab apa. Ia sendiri tidak yakin.

Mereka terus mencari, hingga akhirnya tiba di area taman kecil di belakang rumah sakit. Reyna berlari lebih dulu, matanya menelusuri setiap sudut taman.

Namun, tidak ada Affan di sana.

Reyna semakin sedih, ia berhenti di tengah taman, menunduk, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan kecilnya. "Om Affan... di mana sih?" tangisnya pecah lagi.

Kamala buru-buru mendekap Reyna, membiarkan anaknya melampiaskan kesedihannya. Tanpa mengganggunya, dengan berdiri di dekatnya.

Namun, di tengah keheningan itu, Kamala melihat sosok yang begitu familiar berjalan mendekat. Affan.

Pria itu berada tak jauh dari mereka, ekspresinya begitu tenang, tersenyum kecil sambil membawa sesuatu di tangan.

Affan melangkah mendekat dengan hati-hati, memperhatikan Reyna yang masih terisak. Ada sedikit rasa bersalah di wajahnya saat melihat gadis kecil itu begitu sedih karena kepergiannya.

Kamala menangkap tatapan Affan dan mengangguk kecil, seolah memberinya isyarat untuk segera menenangkan Reyna.

Affan berjongkok di hadapan Reyna, lalu mengulurkan tangannya sambil memanggil dengan suara lembut, "Reyna..."

Reyna yang masih terisak perlahan menurunkan tangannya dari wajahnya. Begitu ia melihat Affan di depannya, matanya membesar, seolah tak percaya.

"Om Affan!" serunya dengan suara masih serak.

Affan tersenyum lembut dan mengangkat sesuatu yang dibawanya, sebuah boneka kecil berbentuk kucing berwarna putih dengan pita merah di lehernya.

"Om tadi pergi cariin Reyna buat kasih boneka ini," katanya sambil menyodorkan boneka itu. "Supaya kalau Reyna kangen sama Om, bisa peluk ini dulu, ya?"

Reyna menatap boneka itu sejenak sebelum akhirnya meraihnya dengan cepat dan memeluknya erat. Wajahnya yang tadi basah oleh air mata kini mulai terlihat lebih cerah.

"Tapi aku lebih suka peluk Om Affan langsung," gumamnya pelan, masih terisak kecil.

Affan tertawa kecil, lalu mengusap lembut kepala Reyna. "Om kan udah janji, Om bakal sering mampir ke rumah nanti. Jadi jangan sedih lagi, ya?"

Reyna mengangguk pelan, meski masih memeluk Affan dan bonekanya dengan erat.

Kamala yang sejak tadi mengamati interaksi mereka hanya bisa tersenyum tipis. Ia tak bisa memungkiri bahwa kehadiran Affan membawa pengaruh besar dalam hidup Reyna. Dan mungkin, dalam hidupnya juga.

Setelah beberapa saat, Affan berdiri dan menatap Kamala. "Aku antar kalian pulang, ya?"

Kamala sedikit terkejut, tapi akhirnya mengangguk. "Baiklah," jawabnya.

Reyna langsung tersenyum lebar, menghapus sisa air matanya dengan cepat. "Yeay! Om Affan ikut pulang!" serunya senang.

Affan dan Kamala saling bertukar pandang, lalu tersenyum kecil sebelum akhirnya mereka berjalan bersama meninggalkan taman. Reyna kini menggenggam tangan Affan dengan erat di satu sisi, sementara tangan lainnya masih memeluk boneka yang diberikan Affan.

Kesedihan Reyna perlahan tergantikan oleh kebahagiaan. Dan tanpa mereka sadari, ikatan di antara mereka bertiga semakin erat dari sebelumnya.

Namun, di sisi lain taman, seorang pria berjas hitam berdiri diam, memperhatikan mereka dari kejauhan. Topi yang dikenakannya sedikit miring, menutupi sebagian wajahnya, tetapi sorot matanya penuh makna.

Melihat kebersamaan mereka, bibir pria itu terangkat membentuk senyum kecil, senyum yang mengandung kelegaan sekaligus kerinduan. Ada kilatan emosi dalam tatapannya, seolah kenangan lama kembali terputar di benaknya.

Angin sore berhembus lembut, menggoyangkan dedaunan di sekitar taman. Pria itu tetap berdiri di tempatnya, menikmati momen hangat yang terpampang di hadapannya sebelum akhirnya melangkah pergi, menghilang di antara bayangan pepohonan.

Tak seorang pun menyadari keberadaannya. Tidak Kamala, tidak Reyna, dan tidak juga Affan.

Siapa dia? Dan apa hubungannya dengan mereka?

Jawabannya masih tersimpan dalam misteri.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!