NovelToon NovelToon
I Adopted Paranormal Dad

I Adopted Paranormal Dad

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Reinkarnasi / Pendamping Sakti
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Matatabi no Neko-chan

Setelah sembilan belas kehidupan yang penuh penderitaan, Reixa terbangun kembali di usianya yang kesembilan tahun. Kali ini dengan gilanya, Reixa mengangkat seorang pria sebagai ayahnya, meninggalkan keluarganya setelah berhasil membawa kabur banyak uang.
Namun, siapa sangka Reixa membangkitkan kemampuannya dan malah berurusan hal di luar nalar bersama ayah angkatnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9

"Wah~ Makasih hadiahnya, Ayah!" seru Reixa dengan penuh semangat. Matanya berbinar menatap desain kamar barunya yang terlihat elegan dan nyaman meski menggunakan peralatan seadanya. Seminggu penuh mereka habiskan untuk merenovasi kamar itu, dan hasilnya benar-benar membuat Reixa takjub. Siapa sangka ayah angkatnya memiliki bakat tersembunyi dalam mendesain ruangan?

Saverio, yang masih berdiri di ambang pintu, tersenyum kecil. Ada sesuatu yang hangat tapi juga aneh saat Reixa memanggilnya "ayah." Itu adalah panggilan yang tidak pernah dia bayangkan akan dia dengar, tetapi kini terdengar begitu alami dari bocah itu.

"Ini hadiah ulang tahun termegah dalam hidupku! Bahkan lebih bagus dari pesta ulang tahun terakhirku!" ujar Reixa dengan senyum lebar. "Ayah benar-benar hebat! Aku jadi cinta sama Ayah!"

Saverio tertegun sejenak, lalu tersenyum lebih lebar. "Ulang tahunmu? Sekarang?" tanyanya memastikan.

Reixa mengangguk penuh semangat. "Iya, Ayah! Hari ini ulang tahunku yang ke sebelas!"

Saverio mengangkat alisnya, sedikit terkejut. "Selamat ulang tahun, Reixa."

Reixa menatap Saverio dengan penuh haru, raut wajahnya mendadak dramatis seolah sedang membintangi panggung sandiwara. "Ayah... Terima kasih banyak!" katanya, hampir menangis bahagia.

Namun, di dalam pikirannya, ingatan-ingatan masa lalu mulai bermunculan. Dulu, dia sering merayakan ulang tahun sendirian dengan sepotong kecil kue seadanya. Bahkan, ulang tahun terakhir yang dia rayakan adalah sesaat sebelum napas terakhirnya di ruang operasi.

"Jangan terlalu berharap, Reixa," pikirnya sambil memaksakan senyum. "Yang penting, Om Saverio tidak mati delapan tahun dari sekarang."

Dia menghela napas panjang dalam hati, lalu menatap pria itu dengan senyum manis, bertekad. "Aku harus memastikan Ayah tetap hidup kali ini. Dan aku harus mencari tahu apa yang menyebabkan dia terbunuh di kehidupanku sebelumnya." pikir Reixa dengan penuh semangat, sambil menyembunyikan rasa khawatir di balik senyuman cerianya.

Untuk saat ini, dia memutuskan untuk menikmati ulang tahunnya yang sederhana tapi penuh makna bersama ayah angkatnya. Setidaknya kali ini, dia tidak sendirian.

Malam itu, Reixa dan Saverio duduk di balkon apartemen mereka yang menghadap ke laut. Pemandangan malam sangat indah, dihiasi dengan kilauan lampu-lampu kota dan suara ombak yang berirama. Sebuah kue kecil dengan lilin di atasnya berada di meja kecil di antara mereka. Saverio, meskipun tidak pandai dalam hal pesta, memutuskan untuk membuat momen itu berkesan.

"Selamat ulang tahun, Reixa," ujar Saverio sambil mendorong kue kecil itu ke arah gadis kecil di depannya.

Reixa menatap kue itu, matanya berbinar. "Ayah buat ini sendiri?" tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu.

Saverio mengangguk canggung. "Tidak sehebat yang kau harapkan, tapi aku mencoba."

Reixa tersenyum lebar. "Ini lebih dari cukup, Ayah. Kau tahu, ini ulang tahun pertama dalam hidupku di mana aku benar-benar merasa dirayakan."

Saverio terdiam, menatap gadis kecil itu dengan perasaan campur aduk. Dia tahu Reixa membawa banyak luka di hatinya meskipun dia selalu mencoba tampak ceria.

"Tiup lilinnya, Rei," kata Saverio akhirnya.

Reixa menutup mata, mengatupkan tangan, dan mengucapkan sebuah permohonan dalam hati. "Aku berharap, kehidupan kali ini menjadi lebih baik, dan Ayah tidak meninggal seperti sebelumnya." Setelah itu, dia meniup lilin dengan penuh semangat.

"Semoga keinginanmu terkabul," ucap Saverio sambil tersenyum tipis.

Reixa menatapnya sejenak sebelum berkata dengan nada jahil, "Kalau aku minta Ayah jangan jadi pria bodoh di masa depan, itu bisa dikabulkan juga, kan?"

Saverio tertawa kecil. "Kita lihat nanti. Tapi, kalau aku bodoh, aku punya kau untuk mengingatkanku."

Mereka menghabiskan malam dengan cerita ringan, tawa, dan rencana-rencana untuk masa depan. Namun, di dalam hati Reixa, dia bertekad untuk melindungi ayah angkatnya ini dari segala kemungkinan buruk yang pernah terjadi di kehidupannya yang lalu.

"Kali ini, aku akan memastikan semuanya berbeda," pikirnya dengan tekad kuat, sambil menatap bintang-bintang di langit.

🐾

"Apa?! Sekolah?!" seru Reixa dengan ekspresi horor, matanya menatap tajam ke arah Saverio seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Saverio hanya mengangguk pelan, sebelah alisnya terangkat sambil menatapnya penuh ketenangan. "Ya, sekolah. Kemarin kan liburan kenaikan kelas. Kau lupa?"

"Apa liburan itu nggak bisa lebih lama lagi?" gerutu Reixa sambil mengacak rambutnya. "Kenapa harus sekolah lagi, sih? Aku capek ngulang sekolah terus." pikirnya dengan pasrah.

Mencoba tak menyerah begitu saja, Reixa segera memasang wajah memelas, lengkap dengan senyum manisnya. "Emm... Aku mendadak tidak enak badan, Yah. Ehehe..."

Saverio, yang sudah cukup mengenal akal bulus gadis kecil itu, hanya memandangnya dengan tatapan skeptis. Dia menyilangkan tangan di dadanya, menghela napas seolah menahan tawa. "Reixa, kau tahu itu tidak akan berhasil padaku, kan?"

Mendengar itu, Reixa menghela napas berat. Dalam beberapa kehidupannya sebelumnya, Saverio selalu menjadi sosok yang tegas namun penuh perhatian. Ia seringkali terlalu sibuk dengan hal lain sehingga Reixa merasa terabaikan, meskipun dia tahu itu bukan karena Saverio tidak peduli. Sementara Reixa terlalu sibuk dengan dunianya di masa lalu.

Saverio akhirnya melunak dan menepuk kepala Reixa pelan. "Begini, Rei. Hari ini kita pergi mencari perlengkapan sekolah. Besok, kita mencari sekolah bersama, sesuai keinginanmu. Bagaimana?"

Reixa tertegun sejenak. Mencari sekolah bersama? Itu adalah hal yang belum pernah terjadi dalam kehidupannya sebelumnya. Biasanya dia hanya disuruh masuk ke sekolah yang sudah ditentukan tanpa melibatkan pendapatnya.

Mata Reixa berbinar cerah, rasa haru perlahan memenuhi hatinya. "Benar, Ayah? Kita benar-benar akan pergi bersama?"

Saverio tersenyum kecil melihat antusiasmenya. "Ya, Reixa. Kalau kau punya keinginan, katakan saja. Aku akan berusaha memenuhinya."

Reixa menatap pria itu dengan senyum lebar yang tak bisa ia sembunyikan. "Baik, Ayah! Aku janji tidak akan malas-malasan kalau Ayah temani!"

"Bagus. Tapi jangan lupa, kau tetap harus bangun pagi besok," ujar Saverio sambil mengacak rambut Reixa, membuat gadis kecil itu tertawa riang.

Di dalam hatinya, Reixa merasa semakin yakin bahwa kali ini, dia tidak akan membiarkan hal-hal buruk terulang kembali. "Aku akan melindungi dia sebaik dia melindungiku," tekadnya dalam hati.

🐾

Saverio berdiri canggung di sudut toko, memperhatikan beberapa keluarga yang tampak bahagia memilih perlengkapan sekolah bersama anak-anak mereka. Suara tawa ceria anak-anak dan percakapan hangat memenuhi ruangan, membuat suasana terasa hangat sekaligus sedikit asing baginya.

Dia melirik Reixa yang tampak asyik menjelajahi deretan alat tulis warna-warni. Gadis kecil itu memeriksa satu per satu barang dengan serius, seolah tengah memilih sesuatu yang sangat penting. Meski demikian, Saverio tak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya.

"Sebaiknya kita pergi ke tempat lain saja, ya, Rei," ucapnya pelan, mencoba menyembunyikan ketidaknyamanannya.

Reixa menoleh cepat, alisnya terangkat. "Kenapa harus ke tempat lain, Ayah? Di sini lengkap kok."

Saverio terdiam, tidak langsung menjawab. Namun, Reixa, yang kini lebih peka terhadap ekspresi Saverio, mulai memahami. Dia mengikuti arah pandangan pria itu, menyadari betapa banyaknya keluarga di toko itu. Mereka terlihat sempurna—ayah, ibu, dan anak-anak mereka bersama, membangun kenangan indah.

Reixa menatap sekeliling, dan untuk sesaat, hatinya terasa kosong. Ingatan tentang kedua orang tuanya yang telah tiada kembali menghantamnya. Dulu, ia juga pernah berada di tengah kehangatan seperti itu. Tapi kini, semua itu hanya bagian dari masa lalu.

Namun, Reixa buru-buru mengangkat wajahnya, tersenyum kecil untuk menyembunyikan gejolak hatinya. Ia beralih menatap Saverio dengan mata berbinar, mencoba menghibur baik dirinya sendiri maupun pria yang kini menjadi walinya.

"Ayah," panggilnya lembut, "meskipun orang tuaku sudah tiada, aku bersyukur bisa bertemu denganmu. Lagipula, aku nggak mau terus terpaku pada masa lalu."

Saverio menatap Reixa, tertegun dengan kedewasaan yang terpancar dari gadis kecil itu. Ada kehangatan sekaligus rasa kagum dalam pandangannya. Dia menyadari, meskipun Reixa masih anak-anak, dia sudah belajar menerima dan menjalani hidup dengan tegar.

Senyuman kecil terbit di wajah Saverio. Dia mengangguk pelan. "Baiklah, kalau begitu. Pilih apa saja yang kau butuhkan, Rei. Hari ini, kita selesaikan semuanya di sini."

Reixa tersenyum lebar. "Siap, Ayah!" serunya, kembali sibuk memilih perlengkapan dengan antusias.

Saverio hanya bisa memandangi gadis kecil itu dari kejauhan, hati kecilnya berjanji untuk selalu menjaga dan mendukungnya, apa pun yang terjadi. "Dia bukan hanya anak kecil yang kubimbing. Dia adalah alasan baru untukku bertahan."

Saat Reixa sibuk memilih perlengkapan sekolah, perhatian Saverio terganggu oleh suara keributan dari sudut lain toko. Seorang wanita berpenampilan kusut mendekati sebuah keluarga kecil yang sedang asyik berbelanja. Suaranya meninggi, memicu perhatian pengunjung lain.

"Aku bilang, itu milikku! Kau tidak punya hak untuk mengambilnya dariku!" teriak wanita itu histeris.

Ayah dari keluarga kecil tersebut mencoba menenangkan, namun wanita itu semakin agresif, menarik-narik keranjang belanja mereka. Suasana toko yang awalnya riuh dengan tawa kini berubah mencekam. Para pengunjung mulai berbisik, sementara sebagian memilih menjauh.

Saverio, yang sejak tadi mengamati dari jauh, tiba-tiba merasakan hawa aneh. Pandangannya tertuju pada wanita itu. Di belakangnya, sesosok makhluk halus berdiri tegak, menatap dengan mata kosong dan wajah pucat yang dipenuhi luka-luka. Makhluk itu tampak berbisik ke telinga wanita tersebut, seolah memprovokasinya.

Saverio menyipitkan mata, memastikan apa yang dilihatnya. Sesuatu terasa tidak biasa. Makhluk itu tidak seperti roh biasa yang pernah dia temui; auranya lebih pekat dan penuh dendam.

"Reixa, tetap di sini," bisiknya pelan sambil melangkah perlahan menuju pusat keributan.

Reixa, yang mendengar nada serius Saverio, berhenti dari aktivitasnya dan mengamati situasi dengan cemas. "Ada apa, Ayah?" tanyanya khawatir.

Saverio menoleh sebentar, tersenyum menenangkan. "Hanya keributan kecil. Jangan khawatir, aku akan melihatnya sebentar."

Saat Saverio mendekat, wanita itu semakin tidak terkendali. Dia mulai menjatuhkan barang-barang dari rak, membuat anak kecil dari keluarga itu menangis.

"Dia kerasukan," gumam Saverio pelan sambil mengamati interaksi wanita itu dengan makhluk di belakangnya. Makhluk itu tertawa kecil, jelas menikmati kekacauan yang terjadi.

Saverio mendekat ke wanita tersebut, berbicara dengan nada tenang. "Ibu, tenanglah. Semua baik-baik saja. Mari kita bicarakan ini dengan kepala dingin."

Namun, wanita itu justru menatapnya dengan tajam, matanya merah menyala. "Kau juga akan mengambil milikku, ya?!" teriaknya histeris, menyerang Saverio dengan gerakan tak terduga.

Saverio mundur selangkah, menghindari serangan itu, lalu mengangkat tangannya, menunjukkan gestur menenangkan. "Saya tidak ingin apa pun dari Anda. Tapi, Anda perlu istirahat."

Sambil menjaga jarak, Saverio mulai berbisik dalam hati, memusatkan pikirannya pada makhluk yang berdiri di belakang wanita itu. Ia tahu, untuk menghentikan kekacauan ini, ia harus mengusir makhluk itu tanpa menimbulkan perhatian berlebih.

Sementara itu, Reixa mengamati dari kejauhan, gelisah. Dia tahu ada sesuatu yang tidak biasa di balik keributan ini. Namun, dia mempercayai Saverio untuk menangani situasi dengan cara yang tepat. "Ayah pasti bisa. Aku hanya harus tetap di sini dan tidak membuat masalah," pikirnya, meskipun tangannya menggenggam erat pensil yang baru saja dipilihnya.

Saverio menarik napas dalam, mencoba mengendalikan situasi dengan tenang. Sementara itu, wanita tersebut semakin liar, memukul rak-rak di sekitarnya hingga beberapa barang berjatuhan. Para pengunjung mulai panik, beberapa dari mereka keluar dari toko dengan terburu-buru.

Makhluk halus di belakang wanita itu tampak semakin menikmati kekacauan yang dibuatnya. Wajah pucatnya menyeringai lebar, dengan tatapan penuh kebencian. Saverio menyadari bahwa makhluk itu tidak sekadar roh biasa—auranya pekat, seperti terjebak dalam dendam yang tidak selesai.

"Ibu, tolong berhenti," ujar Saverio lagi dengan suara rendah, sambil memusatkan energinya pada makhluk tersebut.

Makhluk itu menoleh ke arah Saverio, seolah menyadari bahwa pria itu bisa melihatnya. Senyum licik tersungging di bibirnya, dan dia mendekat, meninggalkan wanita itu sesaat.

"Kau... Kau berani mencampuri urusanku?" suara makhluk itu bergema langsung di kepala Saverio, seperti sebuah bisikan tajam.

Saverio tetap tenang. "Dia tidak salah. Kau yang membuatnya seperti ini."

Makhluk itu tertawa dingin, kembali menempel di bahu wanita itu. "Dia milikku. Rasa sakit dan penderitaannya memberi aku kekuatan. Dan kau tidak akan menghentikan itu!"

Wanita tersebut tiba-tiba berhenti bergerak, tubuhnya kaku seperti patung. Matanya berubah kosong, dan dia mulai bergumam dengan suara aneh, "Mereka mencuri segalanya... Semua milikku... Kalian akan membayarnya!"

Saverio tahu saatnya bertindak. Ia mendekat perlahan, menjaga agar orang-orang tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Dengan gerakan lembut, ia menyentuh pundak wanita itu, sambil berbisik pelan, "Maafkan, lepaskan. Tidak ada yang berhak menahanmu di sini."

Makhluk halus itu menjerit, wajahnya berubah mengerikan, dan tubuhnya mulai memudar. "Tidak! Aku tidak akan pergi!" teriaknya dengan suara melengking, sebelum akhirnya menghilang, seperti kabut yang ditiup angin.

Wanita itu jatuh terduduk, napasnya tersengal-sengal, dan tangannya gemetar. Saverio membantunya berdiri, memastikan dia baik-baik saja.

"Ibu, semuanya sudah selesai. Anda aman sekarang," kata Saverio lembut, menghiburnya.

Wanita itu menatapnya bingung, tidak menyadari apa yang baru saja terjadi. "Saya... Apa yang saya lakukan?" tanyanya dengan suara lemah.

Saverio tersenyum kecil. "Tidak apa-apa. Anda hanya sedikit tidak enak badan tadi."

Keributan mereda, dan perlahan, suasana toko kembali normal. Saverio kembali ke tempat Reixa yang masih menunggunya dengan gelisah.

"Apa yang terjadi, Ayah?" tanya Reixa dengan cemas, matanya penuh rasa ingin tahu.

Saverio menepuk kepalanya lembut. "Hanya seseorang yang membutuhkan bantuan."

Reixa menatap Saverio dengan serius, seolah menyadari bahwa ada lebih banyak hal yang terjadi daripada yang dia ceritakan. "Ayah, kalau kau lelah, jangan sungkan bilang, ya. Aku tidak mau kau kenapa-kenapa."

Saverio tersenyum hangat, merasa lega mendengar perhatian dari gadis kecil itu. "Jangan khawatir. Ayah baik-baik saja. Sekarang, mari kita lanjutkan belanjanya."

Meski mereka berusaha melanjutkan aktivitas, di benak Saverio, bayangan makhluk itu masih membekas. Ia tahu, kejadian ini mungkin hanya permulaan dari hal-hal yang lebih besar di masa depan.

1
Triani Sutriani
baguslah visualnya pakai anime, karena aku kurang suka kalau pakai foto orang asli
Triani Sutriani
hihi, lucu kamu Rei
Astuty Nuraeni
Reixa masih 10 tahun pak, tentu saja masih kanak kanak hehe
Ucy (ig. ucynovel)
secangkir ☕penyemangat buat kak author
Ucy (ig. ucynovel)
reinkarnasi ya
Citoz
semangat kk 💪
Buke Chika
next,lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!