NovelToon NovelToon
Legenda Pedang Surgawi

Legenda Pedang Surgawi

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Dendam Kesumat / Ahli Bela Diri Kuno / Pusaka Ajaib
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: HaiiStory

Di puncak Gunung Kunlun yang sakral, tersimpan rahasia kuno yang telah terlupakan selama ribuan tahun. Seorang pemuda bernama Wei Xialong (魏霞龙), seorang mahasiswa biasa dari dunia modern, secara misterius terlempar ke tubuh seorang pangeran muda yang dikutuk di Kekaisaran Tianchao. Pangeran ini, yang dulunya dipandang rendah karena tidak memiliki kemampuan mengendalikan Qi surgawi, menyimpan sebuah rahasia besar: dalam tubuhnya mengalir darah para Dewa Pedang Kuno yang telah punah.
Melalui sebuah pertemuan takdir dengan sebilah pedang kuno bernama "天剑" (Tian Jian - Pedang Surgawi), Wei Xialong menemukan bahwa kutukan yang dianggap sebagai kelemahannya justru adalah pemberian terakhir dari para Dewa Pedang. Dengan kebangkitan kekuatannya, Wei Xialong memulai perjalanan untuk mengungkap misteri masa lalunya, melindungi kekaisarannya dari ancaman iblis kuno, dan mencari jawaban atas pertanyaan terbesarnya: mengapa ia dipilih untuk mewarisi teknik pedang legendaris ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaiiStory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Refleksi Tanpa Batas 无限镜像

Di dalam Cermin Seribu Jiwa, tidak ada konsep waktu atau ruang yang pasti. Wei Xialong melayang dalam kekosongan yang dipenuhi oleh pecahan-pecahan cermin yang tak terhitung jumlahnya. Setiap pecahan memantulkan versi berbeda dari dirinya—beberapa familiar, yang lain begitu asing hingga sulit dipercaya bahwa itu adalah dirinya.

"Selamat datang, Wei Xialong," suara-suara bergema dari segala arah, setiap suara adalah versi berbeda dari suaranya sendiri. "Atau haruskah kami memanggilmu... kami sendiri?"

Xialong menggenggam erat Pedang Bulan Perak, merasakan energi familiar ibunya masih mengalir dalam pedang itu. "Aku adalah diriku sendiri," ia menjawab tegas. "Tidak lebih, tidak kurang."

Tawa melodik terdengar dari pecahan-pecahan cermin. "Ah, masih naif seperti biasa. Mari kita lihat... versi mana dari dirimu yang ingin kau temui lebih dulu?"

Salah satu pecahan cermin membesar, menampilkan sosok Xialong dalam balutan jubah keemasan—versi dirinya yang memilih untuk menerima takdir sebagai reinkarnasi murni Dewa Pedang. "Aku bisa memberimu kekuatan yang bahkan melampaui Para Dewa," sosok itu menawarkan.

Pecahan lain menampilkan Xialong dalam pakaian modern—versi dirinya yang memilih untuk kembali ke kehidupan normalnya sebagai mahasiswa. "Atau kau bisa melupakan semua ini," sosok itu tersenyum. "Kembali ke kehidupan tanpa beban takdir."

"Tidak," Xialong menggeleng. "Kalian masih belum mengerti."

"Oh?" suara-suara itu terdengar tertarik. "Apa yang belum kami mengerti... diri kami sendiri?"

"Bahwa ini bukan tentang memilih satu jalan," Xialong melangkah maju, Pedang Bulan Perak bersinar semakin terang. "Ini tentang memahami bahwa setiap jalan adalah bagian dari siapa kita."

Mendadak, sebuah pecahan cermin yang lebih besar muncul di hadapannya. Yang terpantul di sana membuat Xialong tersentak—sosok seorang pria tua dengan janggut panjang, mengenakan jubah putih yang familiar.

"Guru?" ia berbisik.

"Bukan," sosok itu tersenyum sedih. "Aku adalah versi dirimu yang memilih untuk mengikuti jejak guru sepenuhnya—terisolasi dalam pencarian akan kebijaksanaan sempurna."

Sebelum Xialong bisa merespons, pecahan lain muncul—kali ini menampilkan sosok yang membuat darahnya membeku. Dirinya dalam wujud yang mirip dengan Kaisar Ular.

"Dan aku," sosok itu mendesis, "adalah versi dirimu yang memilih untuk menerima kegelapan sepenuhnya. Yang memahami bahwa kekuatan sejati datang dari dominasi, bukan harmoni lemah yang kau perjuangkan."

Satu per satu, lebih banyak pecahan cermin bermunculan, masing-masing menampilkan versi berbeda dari takdir yang mungkin ia pilih. Setiap versi memiliki cerita mereka sendiri, alasan mereka sendiri, dan yang paling mengerikan—kebenaran mereka sendiri.

"Kau lihat sekarang?" suara-suara itu bergema. "Tidak ada yang namanya 'jalan benar'. Yang ada hanyalah—"

"Tidak," Xialong memotong, suaranya tenang tapi tegas. "Kalian salah. Justru karena ada begitu banyak kemungkinan, kita memiliki kesempatan untuk memilih. Ingin menjadi seperti apa diri kita"

Tepat saat ia menyelesaikan kalimatnya, sesuatu yang aneh terjadi. Pedang Bulan Perak mulai bergetar dengan cara yang berbeda, memancarkan cahaya keperakan yang familiar—energi yang sama dengan yang selalu ia rasakan dari ibunya.

"Ibu?" ia berbisik.

Namun yang muncul bukanlah sosok Selir Yang, melainkan serangkaian memori yang mengalir seperti air—memori yang selama ini tersembunyi dalam sudut-sudut tergelap benaknya.

Seorang wanita muda berlutut di hadapan cermin yang sama, air mata mengalir di pipinya... "Maafkan aku, Yang Mulia," ia berbisik pada sosok pria di belakangnya. "Aku tidak bisa membiarkan sejarah terulang..." Pedang Bulan Perak terayun, membelah jiwa reinkarnasi yang baru lahir menjadi dua...

"Tunggu," Xialong tersentak. "Ini bukan hanya tentang memecah jiwa reinkarnasiku..."

Lebih banyak memori mengalir:

Selir Yang menulis dalam gulungan kuno... "Cermin Seribu Jiwa bukanlah alat untuk mencapai kesempurnaan..." "Ia adalah saksi dari siklus tanpa akhir—pengorbanan para ibu untuk menyelamatkan anak-anak mereka dari takdir yang terlalu berat..."

"Ya," salah satu versi dirinya—yang terlihat paling mirip dengan dirinya saat ini—melangkah maju. "Kau mulai memahami. Tapi pertanyaannya adalah... apa yang akan kau lakukan dengan pemahaman ini?"

Di luar cermin, pertempuran masih berkecamuk. Xialong bisa merasakan getaran energi dari pertarungan Tianfeng melawan para kultivator yang terobsesi. Waktu semakin menipis.

"Aku..." ia menatap Pedang Bulan Perak yang kini bersinar lebih terang dari sebelumnya, "...aku tahu apa yang harus kulakukan."

Dengan satu gerakan cepat, ia menghunuskan pedang itu ke dalam kekosongan di hadapannya. Namun alih-alih mencoba menghancurkan cermin atau melawan refleksi-refleksinya, ia melakukan sesuatu yang mengejutkan—ia membalikkan pedang itu dan mengarahkannya pada dirinya sendiri.

"Apa yang kau lakukan?!" suara-suara itu berteriak panik.

"Sesuatu yang seharusnya kulakukan sejak awal," Xialong tersenyum. "Menerima bahwa aku adalah kalian semua... dan tidak satupun dari kalian."

Pedang Bulan Perak menembus tubuhnya, tapi tidak ada darah yang mengalir. Yang ada hanyalah cahaya—cahaya keperakan yang sama yang selalu ia lihat dari ibunya.

"Kau gila!" versi Kaisar Ular dari dirinya mendesis. "Kau akan menghancurkan segalanya!"

"Tidak," Xialong menggeleng, sementara tubuhnya mulai pecah menjadi titik-titik cahaya. "Aku akan membebaskan kita semua."

Dalam sekejap yang terasa seperti keabadian, seluruh ruang di dalam Cermin Seribu Jiwa dipenuhi oleh cahaya yang membutakan. Setiap pecahan cermin mulai bergetar, beresonansi dengan frekuensi yang belum pernah terdengar sebelumnya.

"Apa yang terjadi?" suara-suara itu mulai panik.

"Sesuatu yang seharusnya terjadi sejak lama," Xialong menjawab, suaranya kini bergema dengan kebijaksanaan yang tidak sepenuhnya miliknya. "Pengorbanan terakhir untuk mengakhiri siklus ini."

Di luar cermin, Tianfeng yang masih bertarung melawan para kultivator terobsesi mendadak merasakan getaran aneh dari kalung pemberian adiknya. Liontin bulan sabit itu mulai bersinar dengan cahaya yang sama dengan yang ia lihat dari Pedang Bulan Perak.

"Xialong?" ia berbisik, merasakan sesuatu yang tidak beres. "Apa yang kau lakukan?"

Dalam Cermin Seribu Jiwa, proses transformasi telah mencapai titik tanpa kembali. Setiap versi dari Wei Xialong—baik yang suci maupun yang tersesat, yang bijak maupun yang terobsesi—mulai ditarik ke dalam pusaran energi yang ia ciptakan.

"Tunggu," salah satu versinya yang paling bijak angkat bicara. "Kau mengorbankan dirimu bukan untuk menghancurkan kami..."

"Melainkan untuk membebaskan kami," versi lain melanjutkan, akhirnya memahami.

"Ya," Xialong tersenyum, sementara tubuhnya semakin transparan. "Karena satu-satunya cara untuk mengakhiri siklus ini adalah dengan menerima bahwa tidak ada yang namanya 'diri sejati' yang perlu dicapai."

"Kita adalah proses," ia melanjutkan, suaranya semakin lemah. "Kita adalah perjalanan. Dan yang terpenting..." ia menatap ke arah di mana ia bisa merasakan kehadiran kakaknya, "...kita tidak pernah sendiri dalam perjalanan ini."

Dengan kata-kata terakhir itu, seluruh ruang dalam Cermin Seribu Jiwa dipenuhi oleh ledakan cahaya yang bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Setiap pecahan cermin mulai retak, tapi alih-alih hancur, retakan-retakan itu membentuk pola baru—pola yang mengingatkan pada rangkaian bintang di langit malam.

Di luar, Tianfeng menyaksikan dengan takjub saat pusaran energi hitam di langit mulai berubah. Satu per satu, jiwa-jiwa yang terperangkap dalam obsesi akan kesempurnaan mulai dibebaskan, kembali ke wujud asli mereka sebelum tersesat dalam pencarian akan kekuatan absolut.

"Dia berhasil," sosok guru mereka muncul di sampingnya. "Tapi dengan harga yang sangat mahal."

"Apa maksudmu?" Tianfeng bertanya, meski dalam hatinya ia sudah tahu jawabannya.

"Wei Xialong yang kau kenal..." guru menghela napas, "...telah memilih untuk menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar satu jiwa dalam satu tubuh."

Sebelum Tianfeng bisa bertanya lebih jauh, Cermin Seribu Jiwa mendadak bersinar sangat terang. Dari dalamnya, sosok transparan muncul—tapi bukan sosok Wei Xialong yang mereka kenal.

Yang muncul adalah sosok yang sekaligus familiar dan asing. Dalam setiap gerakannya, Tianfeng bisa melihat jejak-jejak adiknya, tapi juga ribuan versi lain dari kemungkinan yang pernah ada.

"Xialong?" ia memanggil ragu.

Sosok itu tersenyum—senyum yang mengingatkannya pada adiknya, tapi juga pada ibunya, pada guru mereka, dan pada semua orang yang pernah berkorban demi mengakhiri siklus ini.

"Ya dan tidak," sosok itu menjawab dengan suara yang mengandung gema ribuan suara. "Aku adalah Wei Xialong yang kau kenal, tapi juga semua Wei Xialong yang pernah dan mungkin ada."

"Tapi... kenapa?" Tianfeng bertanya, air mata mengalir di pipinya. "Kenapa harus seperti ini?"

"Karena," sosok itu melangkah mendekat, mengulurkan tangan transparannya untuk menyentuh kalung bulan sabit yang masih berpendar, "seseorang harus memilih untuk menghentikan siklus ini. Dan siapa yang lebih tepat selain seseorang yang telah belajar untuk menerima ketidaksempurnaan sebagai bagian dari kesempurnaan itu sendiri?"

1
إندر فرتما
masa jendral dan prajurit kerajaan gak ada yg nongol, apalagi raja nya sendiri,
muhammad haryadi: makasih buat masukannya, nanti coba aku koreksi lagi di bab selanjutnya
muhammad haryadi: Ini kan intrik kluarga jadinya yang nongol rajanya langsung
total 2 replies
Husna
Membaca yang menghibur
muhammad haryadi: Terimakasih semoga terhibur dengan novel aku
total 1 replies
Levi Ackerman
Teruslah menulis, kami semua menantikan kelanjutan cerita yang seru ini!
muhammad haryadi: Terimakasih selamat membaca
total 1 replies
Hạ Khiếtttt
Aku yakin ceritamu bisa membuat banyak pembaca terhibur, semangat terus author!
muhammad haryadi: Terimakasih semoga terhibur dengan novel aku
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!