Aku di kenal sebagai gadis tomboy di lingkunganku. Dengan penampilanku yang tidak ada feminimnya dan hobby ku layaknya seperti hobby para lelaki. Teman-teman ku juga kebanyakan lelaki. Aku tak banyak memiliki teman wanita. Hingga sering kali aku di anggap penyuka sesama jenis. Namun aku tidak perduli, semua itu hanya asumsi mereka, yang pasti aku wanita normal pada umumnya.
Dimana suatu hari aku bertemu dengan seorang wanita paruh baya, kami bertemu dalam suatu acara tanpa sengaja dan mengharuskan aku mengantarkannya untuk pulang. Dari pertemuan itu aku semakin dekat dengannya dan menganggap dia sebagai ibuku, apalagi aku tak lagi memiliki seorang ibu. Namun siapa sangka, dia berniat menjodohkan ku dengan putranya yang ternyata satu kampus dengan ku, dan kami beberapa kali bertemu namun tak banyak bicara.
Bagaimana kisah hidupku? yuk ikuti perjalanan hidupku.
Note: hanya karangan author ya, mohon dukungannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Langit yang Mengerti
Hari-hari setelah insiden di taman belakang kampus berjalan seperti biasa. Namun, bagiku, semuanya tidak pernah benar-benar terasa biasa lagi. Ada hal yang terus mengusik pikiranku. Galaksi. Pria itu bukan hanya hadir di sekitarku, tetapi kini mulai memenuhi ruang-ruang kosong dalam pikiranku.
Aku tahu Galaksi belakangan selalu memperhatikan diriku lebih. Cara pria itu menatapku, memperlakukanku dengan kelembutan yang konsisten, atau guyonan receh yang selalu berhasil mencairkan suasana, semua itu adalah sinyal yang jelas. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Membuka hati bukanlah hal mudah bagi diriku. Karena aku benar-benar harus meyakinkan hatiku.
Di kantin siang itu, aku dan galaksi duduk di sudut ruangan seperti biasa. Aku sibuk mencoret-coret buku catatanku, mencoba menyelesaikan tugas kuliah. Galaksi, seperti biasa, memegang segelas capucino di tangannya sambil bersandar santai.
"Senja, lo tahu nggak?" Galaksi membuka pembicaraan tiba-tiba.
Aku melirik tanpa mengangkat kepala. "Apa lagi nih, fakta receh lo?"
Galaksi memasang ekspresi serius, tapi hanya untuk sesaat. "Bukan receh. Ini fakta ilmiah. Katanya, kalau lo sering bareng gue, peluang lo buat ketawa itu meningkat seratus persen."
Aku tersenyum tipis, menahan tawa. "Mungkin karena lo suka ngelawak, bukan karena lo lucu."
"Tapi tetep bikin lo ketawa kan?" balas Galaksi santai, senyum di wajahnya makin lebar.
Percakapan seperti ini sudah jadi rutinitas kami. Bagi Galaksi, itu caranya menunjukkan perasaan tanpa harus membuat Aku merasa tertekan. Bagiku, ini adalah momen-momen yang membuatku lupa akan segala keraguanku, meski hanya untuk sesaat.
Setelah beberapa saat hening, Aku akhirnya membuka suara. "Eh, Galaksi."
"Ya?"
"Lo capek nggak sih? Ngabisin waktu sama gue tiap hari?"
Galaksi mengernyit, seperti tidak percaya dengan pertanyaan itu. "Kenapa gue harus capek? Lo itu satu-satunya orang di kampus ini yang bikin gue nggak bosan."
Jawaban itu membuat Aku terdiam. Ada kehangatan dalam kata-katanya, sesuatu yang membuat hatiku berdesir pelan. Tapi seperti biasa, aku memilih menutupi perasaanku dengan canda.
"Yakin nggak bosan? Ntar lo ketagihan, gue nggak tanggung jawab."
"Ketagihan? Kayaknya sejak waktu itu gue udah, deh," jawab Galaksi santai, tapi dengan nada yang membuat Aku sedikit salah tingkah.
Hari itu, kampus sedang ada festival seni. Lapangan dipenuhi stand-stand mahasiswa yang memamerkan karya seni, makanan, hingga permainan. Aku berjalan-jalan bersama Rani, salah satu teman dekatku di kampus, menikmati suasana yang meriah.
"Eh, itu Galaksi, kan?" Rani menunjuk ke salah satu stand seni lukis.
Aku mengikuti arah pandangan Rani. Di sana, Galaksi sedang berdiri dengan kuas di tangan, melukis sesuatu di atas kanvas besar.
"Apa lagi sih dia? Sok artistik gitu," gumamku, tapi senyum kecil tak bisa aku tahan.
Aku dan Rani mendekati stand tersebut. Galaksi yang menyadari kehadiran kami langsung melambaikan tangan. "Eh, Rani, Senja! Sini-sini!"
Rani menyipitkan mata, menatap kanvas yang setengah jadi. "Ini lukisan apa, Galaksi? Abstrak banget kayaknya."
Galaksi pura-pura tersinggung. "Hei, ini seni. Lo nggak ngerti seni!"
Aku mendekat dan melihat lukisan itu lebih jelas. "Hmm, gue rasa Rani ada benarnya. Ini lebih mirip gambar anak TK daripada seni."
Galaksi meletakkan tangan di dadanya, berpura-pura kesal. "Lo nggak bisa liat potensi, ya. Ntar kalau gue jadi pelukis terkenal, jangan minta tanda tangan."
"Tunggu sampai itu kejadian," balasku sambil terkekeh.
Namun di balik semua candaan itu, Aku merasa hangat. Galaksi selalu tahu bagaimana membuat suasana terasa ringan, bahkan ketika Aku sendiri sedang memikirkan banyak hal.
Malam itu, di apartemenku, Aku duduk di balkon, menatap langit berbintang. Angin malam yang sejuk berembus, tapi pikiranku penuh dengan kehangatan.
Aku tahu Galaksi memiliki rasa untukku. Itu bukan sesuatu yang bisa aku sangkal lagi. Apalagi melihat sikap galaksi belakangan ini. Tapi setiap kali memikirkan hal itu, rasa insecure dalam diriku muncul kembali. Mengingat masa laluku yang berantakan.
Aku menghela napas panjang. "Kenapa sih gue selalu ngerasa nggak cukup?"
Bukan berarti aku tidak menyukai Galaksi. Aku tahu Galaksi adalah orang yang baik, tulus, dan selalu ada untukku. Tapi menerima perasaan seseorang seperti Galaksi adalah tanggung jawab besar, dan Aku tidak yakin siap untuk itu.
Namun, di balik semua keraguanku, ada satu hal yang Aku yakini. Galaksi tidak pernah memaksaku. Dia selalu sabar, menunggu, dan memberi ruang bagi diriku untuk menentukan langkahku sendiri.
Di tempat lain, Galaksi duduk di mejanya, memegang buku sketsa kecil. Tangannya dengan lincah menggambar sesuatu, wajah diriku. Ini adalah hal yang baru pertama kali dia lakukan, menggambar diriku ketika pikirannya penuh dengan diriku saat ini.
Dia tahu Aku tahu perasaannya, tapi dia tidak keberatan jika Aku butuh waktu. Yang penting baginya adalah melihat Aku bahagia, meskipun kebahagiaan itu mungkin bukan datang dari dirinya.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi, menandakan ada pesan masuk. Itu dari diriku.
"Thanks buat hari ini, Galaksi. Lukisan lo jelek, tapi lo berhasil bikin hari gue jadi lebih baik."
Galaksi tersenyum lebar membaca pesan itu. Dia tahu, meskipun Aku belum memberikan jawaban atas perasaannya, aku perlahan mulai membuka diri.
Dengan cepat, Aku mengetik balasan.
"Apa pun buat lo, Senja. Ntar kalau gue jadi pelukis terkenal, gue bikin potret lo. Gratis, kok."
Tidak butuh waktu lama sebelum batasannya datang.
"Gue tunggu."
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa. Aku dan Galaksi tetap sering bersama, bercanda, dan menghabiskan waktu di kantin atau perpustakaan. Tidak ada kecanggungan di antara kami berdua, meskipun ada perasaan yang menggantung.
Galaksi tidak pernah membahas soal perasaannya lagi, dan Aku merasa nyaman dengan itu. Dia tahu, pada akhirnya, dia harus menghadapi semua ini. Tapi untuk saat ini, dia hanya ingin menikmati momen-momen kecil bersama Galaksi, tanpa tekanan, tanpa beban.
"Galaksi," panggil Senja suatu hari.
Galaksi yang sedang menyeruput kopi hitamnya menoleh. "Ya?"
"Thanks," ujar diriku pelan, tapi penuh makna.
Galaksi tersenyum. Dia tidak bertanya apa-apa, tidak meminta penjelasan. Karena baginya, melihat aku tersenyum adalah jawaban dari semua keraguan yang pernah ada di hatinya.
To Be Continued...
apa yg dikatakan Senja benar, Galaksi. jika mmg hanya Senja di hatimu, tidak seharusnya memberi Maya ruang dalam hidupmu. padahal kamu tahu betul, Maya jatuh hati padamu.
Tidak bisa menjaga hati Senja, berarti kesempatan lelaki lain menjaganya. jangan menyesal ketika itu terjadi, Galaksi