Di dunia yang penuh intrik dan kekuasaan, Liora, seorang wanita penerjemah dan juru informasi negara yang terkenal karena ketegasan dan sikap dinginnya, harus bekerja sama dengan Darren, seorang komandan utama perang negara yang dikenal dengan kepemimpinan yang brutal dan ketakutan yang ditimbulkannya di seluruh negeri. Keduanya adalah sosok yang tampaknya tak terkalahkan dalam bidang mereka, tetapi takdir membawa mereka ke dalam situasi yang menguji batas emosi dan tekad mereka. Saat suatu misi penting yang melibatkan mereka berdua berjalan tidak sesuai rencana, keduanya terjebak dalam sebuah tragedi yang mengguncang segala hal yang mereka percayai. Sebuah insiden yang mengubah segalanya, membawa mereka pada kenyataan pahit yang sulit diterima. Seiring waktu, mereka dipaksa untuk menghadapi kenyataan. Namun, apakah mereka mampu melepaskan kebencian dan luka lama, ataukah tragedi ini akan menjadi titik balik yang memisahkan mereka selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Bawah Bayang-bayang Iron Hand
“Kau menyukai bunga ini?” tanya Darren begitu dia sudah tepat berada di samping Liora, yang masih terpaku memandangi bunga di depannya. Liora hanya mengangguk kecil tanpa repot-repot menoleh menatap Darren, yang tiba-tiba sudah berdiri di dekatnya.
“Jangan diambil!” seru Liora tiba-tiba, suaranya nyaris terdengar seperti berteriak saat Darren mulai mengulurkan tangannya untuk memetik salah satu bunga yang bermekaran indah itu. Gerakan tangan Darren langsung terhenti di udara, seperti patung yang kehilangan fungsinya. Dia bahkan tidak jadi menyentuh bunga itu, meskipun niat awalnya hanya ingin memberikan bunga cantik tersebut kepada Liora.
“Kenapa tidak boleh?” tanya Darren, wajahnya menunjukkan kebingungan yang tulus. Dia tidak mengerti apa salahnya jika dia hanya memetik satu bunga saja dari banyaknya bunga yang ada di situ.
“Bunga ini memang kelihatan indah, Darren. Tapi tidak bisa disentuh. Bunganya beracun,” jelas Liora tanpa menoleh ke arahnya. Tatapan Liora tetap terpaku pada bunga tersebut, seolah ada sesuatu yang sangat berat sedang melintas di pikirannya. “Sama seperti manusia,” lanjutnya setelah jeda singkat, “terkadang terlihat begitu menawan dan menarik, tetapi sebenarnya bisa sangat menusuk.”
Darren mengangguk pelan, akhirnya paham dengan maksud Liora. “Kau benar,” gumamnya, mencoba tersenyum kecil. “Untung saja kau menghentikanku tepat waktu. Aku hampir saja menyentuhnya,” lanjutnya sambil menunduk sedikit malu. “Biasanya aku bisa membedakan mana vegetasi beracun dan tidak. Tapi kurasa kehadiranmu di sini membuat perhatianku sedikit teralihkan,” tambahnya dengan senyum tipis yang dia lemparkan ke arah Liora. Namun, Liora hanya diam saja tanpa bereaksi.
Ketiganya melanjutkan perjalanan dengan penuh kewaspadaan, menelusuri medan yang sulit dan penuh tantangan. Kesunyian di antara mereka pecah ketika Liora tiba-tiba berseru, “Lihat ini!” Sambil menunjuk sesuatu di tanah, ia memanggil perhatian Darren dan Andes, yang segera menghampiri.
“Apa ini?” tanya Andes, mengamati benda yang ditunjukkan oleh Liora. Dengan hati-hati, ia mengambilnya. Itu adalah senjata tua yang tampak usang, seolah sudah lama ditinggalkan. Darren, penasaran, ikut memeriksa senjata tersebut dengan teliti.
“Mereka pasti punya markas di sekitar sini,” ujar Darren dengan nada serius, matanya bergantian menatap Liora dan Andes.
Andes mengangguk setuju. “Benar. Senjata seperti ini biasanya hanya digunakan di dalam markas.”
“Aku menemukan ini juga,” tambah Liora, mengeluarkan selembar dokumen usang dan kotor dari kantungnya. Andes dan Darren segera menelitinya, membaca setiap detail meskipun tulisan di dokumen itu nyaris tak terbaca.
“Kita harus memeriksanya lebih lanjut,” ujar Andes akhirnya. Darren dan Liora mengangguk, memahami betapa pentingnya bukti ini. Ketegangan terasa semakin nyata, karena meski perjalanan mereka baru memberikan sedikit hasil, itu adalah petunjuk yang menjanjikan.
Setibanya di markas, mereka menyerahkan semua bukti, termasuk senjata tua dan dokumen tersebut, kepada tim penyelidik lainnya. Penyelidikan masih jauh dari selesai, tetapi mereka tahu langkah pertama telah dimulai, dan jejak ini mungkin akan membawa mereka lebih dekat ke kebenaran.
---
Di tempat lain, tidak jauh dari wilayah tersebut, seorang pria bertubuh besar dengan topi fedora yang menjadi ciri khasnya duduk di kursi putar miliknya. Tangannya yang besar mengelus dagunya dengan perlahan, sementara matanya menatap jauh ke depan. Kerutan yang dalam di dahinya menunjukkan bahwa pikirannya sedang bekerja keras memproses sesuatu. Di sekelilingnya, penjaga berseragam hitam dengan senjata yang selalu siap siaga berdiri menjaga posisinya.
Pria itu, yang dikenal sebagai Iron, menarik napas panjang sebelum membalikkan tubuhnya dengan kursi putar. Sorot matanya yang tajam mengarah ke depan, sementara tangannya mulai terkepal kuat. “Berani-beraninya mereka masuk ke kawasan Sierra, markas utama The Iron Hand,” gumamnya, suara rendahnya seperti ditujukan untuk dirinya sendiri.
Iron, pemimpin organisasi hitam paling berbahaya, telah mengendalikan The Iron Hand selama puluhan tahun tanpa pernah tersentuh hukum. Setiap operasi militer yang dikirim hanya mampu menangkap anak buahnya, sedangkan Iron selalu lolos berkat kecerdasannya yang luar biasa dan strateginya yang sulit dipatahkan.
“Permisi, Tuan,” suara seorang pria muda memecah keheningan di dalam ruangan yang sunyi. Jero, tangan kanan Iron yang telah setia sejak awal berdirinya organisasi, melangkah mendekat dengan ekspresi serius. Ia tidak membawa apa pun kecuali kabar penting yang harus segera disampaikan.
“Bagaimana?” tanya Iron singkat, suaranya dingin dan penuh wibawa, menciptakan suasana yang semakin tegang.
“Mereka telah mendirikan markas di wilayah ini, Tuan,” jawab Jero tanpa membuang waktu. “Mata-mata kita melaporkan bahwa pemimpin mereka masih berasal dari komandan besar yang sama,” tambahnya dengan nada tegas, seolah memastikan tidak ada detail yang terlewatkan.
“Teruskan,” perintah Iron, suaranya tetap tenang, namun jelas menyimpan ancaman yang tak terlihat.
“Pemimpinnya baru, Tuan. Dia masih sangat muda,” lanjut Jero dengan hati-hati. Dia tahu betul bahwa setiap informasi yang disampaikannya tidak boleh salah, terlebih di hadapan Iron.
Iron tertawa kecil, tawa yang terdengar penuh ejekan. “Masih muda sudah berani mengusik wilayah ini?” ujarnya dengan nada meremehkan, seolah menertawakan keberanian musuh yang dianggapnya terlalu gegabah.
“Dia dari keluarga Emerson,” jawab Jero, suaranya sedikit bergetar, seperti merasakan ketegangan yang tiba-tiba menyelimuti ruangan. Mendengar nama itu, tawa Iron langsung terhenti. Matanya yang tajam menatap Jero, menembus hingga ke dalam, membuat udara di ruangan itu terasa lebih berat dan mencekam.
“Apa dia putra Edward?” tanya Iron dengan suara pelan, nyaris berbisik, tetapi cukup untuk menambah ketegangan yang mengalir di antara mereka.
“Benar, Tuan. Dia menggantikan ayahnya sebagai komandan utama. Mata-mata kita melaporkan dia dikenal sebagai pemimpin yang tidak pernah gagal dalam menjalankan misinya,” jelas Jero lebih lanjut, meskipun tekanan dari tatapan Iron membuatnya sedikit gemetar.
Iron mengepalkan tangan, rahangnya mengeras menahan amarah yang perlahan memuncak. “Aku tidak peduli siapa dia atau dari keluarga mana. Aku akan tunjukkan kepada mereka apa akibatnya jika berani mengusik Sierra, markas utama The Iron Hand!” tegasnya dengan penuh ambisi, matanya memancarkan tekad yang berbahaya, seperti harimau yang siap menerkam.