Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, hiduplah Kirana, gadis cantik, cerdas, dan mahir bela diri. Suatu hari, ia menemukan seorang pemuda terluka di tepi sungai dan membawanya ke rumah Kakek Sapto, sang guru silat.
Pemuda itu adalah Satria Nugroho, pewaris keluarga pengusaha ternama di Jakarta yang menjadi target kejahatan. Dalam perawatan Kirana, benih cinta mulai tumbuh di antara mereka. Namun, setelah sembuh, Satria kembali ke Jakarta, meninggalkan kenangan di hati Kirana.
Bertahun-tahun kemudian, Kirana merantau ke Jakarta dan tak disangka bertemu kembali dengan Satria yang kini sudah dijodohkan demi bisnis keluarganya. Akankah mereka bisa memperjuangkan cinta mereka, atau justru takdir berkata lain?
Sebuah kisah takdir, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh waktu, hadir dalam novel ini! ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I Wayan Adi Sudiatmika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Perseteruan Susi dan Kirana
Setelah beberapa hari merasa diawasi dan diperlakukan aneh oleh Susi dan teman-temannya. Kirana mulai curiga. Ia menyadari bahwa Susi tidak menyukainya tapi ia tidak menyangka kalau Susi akan berani melakukan sesuatu yang ekstrem. Setiap kali mereka berpapasan, Kirana selalu melihat senyum palsu yang terpampang di wajah Susi.
Suatu siang setelah jam pelajaran selesai... Kirana sedang membereskan buku-bukunya serta memasukkannya ke dalam tas. Udara di ruangan itu terasa agak panas dan suara riuh rendah siswa yang pulang sekolah memenuhi selasar.
Tiba-tiba Susi memasuki kelas Kirana dengan langkah percaya diri. Senyum palsunya terpampang di wajahnya tapi matanya menyimpan sesuai yang tidak tulus.
“Kirana… kamu ada waktu nggak? Aku mau ngobrol sesuatu… penting…,” ujar Susi dengan nada yang seolah ramah tapi Kirana bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
Kirana yang sedang membereskan buku-bukunya menoleh kepada Susi. Kirana merasa tidak nyaman tapi mencoba bersikap sopan. “Ada apa ya Kak…? Kita bisa bicara di sini aja Kak…,” jawabnya sambil mencoba membaca ekspresi Susi.
Susi menggeleng namun dengan senyum yang semakin lebar. “Nggak bisa Kir… Ini privasi… Ayo kita ke gudang belakang sekolah aja. Cuma sebentar kok…,” bujuknya mencoba meyakinkan Kirana.
Ririn yang kebetulan datang untuk mengajak Kirana pulang, mendengarkan percakapan Susi dan Kirana dari pintu kelas. Ririn merasa ada sesuatu yang direncanakan oleh Susi. Langkahnya cepat mendekati Kirana dan memegang pundak sahabatnya dengan erat. “Kir… jangan deh… Aku rasa ini tidak baik… Aku merasa ada sesuatu yang direncanakan Susi…,” bisik Ririn pelan dengan mata penuh kekhawatiran.
Kirana memandang Ririn lalu kembali kepada Susi. Ia tahu ini mungkin jebakan tapi rasa penasarannya dan keinginan untuk menyelesaikan masalah ini membuatnya memutuskan untuk pergi. “Oke… tapi cuma sebentar ya…,” jawab Kirana sambil mengambil tasnya.
“Rin… kamu tunggu sebentar di tempat parkir ya… Aku bicara dulu sama Susi…,” ucap Kirana kepada Ririn mencoba meyakinkan sahabatnya.
Ririn mencoba menahan Kirana dengan mata penuh kekhawatiran. “Kir… jangan! Aku rasa ini bahaya…,” protesnya tapi Kirana hanya tersenyum kecil.
“Tenang Rin… Aku akan baik-baik saja. Kalau aku tidak balik dalam 15 menit… cari aku ya…,” bisik Kirana sambil menyelipkan ponsel jadulnya ke saku bajunya. Ia sudah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk.
-----
Kirana mengikuti Susi ke gudang belakang sekolah dengan langkah yang tetap tenang mesti hatinya berdebar-debar. Udara di luar terasa lebih dingin walaupun cuaca masih cerah. Suara burung berkicau di dahan pohon di sekitar sekolah seolah tidak peduli dengan ketegangan yang dirasakan Kirana. Setiap langkahnya terasa berat tapi ia mencoba untuk tetap fokus. Ia tahu bahwa apa pun yang terjadi… ia harus siap.
Susi berjalan di depan Kirana dan sekali-kali menoleh ke belakang, memastikan Kirana masih mengikutinya. “Kamu nggak perlu khawatir Kir… Ini cuma obrolan kecil saja…,” ujar Susi dengan suara terdengar manis tapi tetap membuat Kirana waspada.
Kirana tidak menjawab. Ia hanya mengikuti Susi dengan langkah yang mantap dan mencoba menenangkan diri. Tangannya mengepal erat di samping tubuhnya dan siap untuk menghadapi apapun yang menunggunya di gudang belakang.
Sesampainya di gudang belakang sekolah, Kirana langsung merasa suasana yang tidak biasa. Udara di sana terasa dingin dan sunyi. Susi berdiri di tengah ruangan dikelilingi oleh empat temannya yang telah menunggu. Mereka semua memandang Kirana dengan tatapan tidak bersahabat seperti kelompok predator yang sedang mengincar mangsanya.
“Akhirnya kamu datang juga…,” ujar salah satu teman Susi kepada Kirana dengan senyum sinis. Suaranya terdengar dingin dan ketus seolah ingin membuat Kirana merasa tidak nyaman.
Kirana tidak menyahut cibiran teman Susi. Kirana menatap Susi dengan tenang meski hatinya berdebar. “Apa yang kamu mau Kak…? Katanya mau ngobrol sesuatu yang penting…?” tanya Kirana dengan mencoba tetap bersikap sopan meski situasinya semakin tegang.
Susi tertawa pendek lalu melangkah mendekati Kirana. “Iya penting sekali…,” ujarnya dengan suara tiba-tiba berubah menjadi penuh ejekan. “Aku hanya mau bilang kalau kamu ini tidak pantas dekat-dekat sama Daniel. Kamu ini hanya anak kampung... Jangan sok cantik. Ngerti nggak…!!!” teriak Susi dengan suara penuh kebencian.
Teman-teman Susi mulai tertawa dan mengejek Kirana dengan kata-kata kasar. “Iya nih… Anak kampung sok cantik..!!!” teriak salah satu dari mereka sambil melirik Kirana dengan tatapan merendahkan.
Kirana menghela napas dan mencoba menahan emosinya. Kirana tahu bahwa marah hanya akan memperburuk situasi. “Aku nggak pernah dekat-dekat dengan Kak Daniel. Dia yang selalu mencari aku. Kalau kakak tidak suka… bilang saja sama dia…,” jawab Kirana dengan tegas dan matanya tidak gentar.
Susi mendadak marah. Wajahnya memerah dan matanya menyala-nyala. “Jangan sok suci kamu Kirana…!!! Kamu pikir kamu siapa…?!” teriaknya lalu melangkah lebih dekat dan mencoba menakut-nakuti Kirana. Tangannya menunjuk ke arah Kirana seolah ingin menekan mental Kirana.
Tapi Kirana tidak mundur. Ia tetap berdiri tegak dan matanya menatap tajam. “Aku hanya siswa baru yang tidak tahu apa-apa dan tidak mau terlibat masalah. Tapi kalau kalian terus ganggu aku… aku tidak akan diam saja…,” ujarnya dengan suara tenang tapi penuh peringatan.
Susi dan teman-temannya terkejut dengan keberanian Kirana. Mereka tidak menyangka bahwa Kirana bisa seberani itu. Susi yang merasa tersinggung langsung memerintahkan teman-temannya untuk mengepung Kirana. “Beri dia pelajaran…! Biar tau rasa…!” teriak Susi suaranya penuh amarah.
Salah satu teman Susi mencoba mendorong Kirana tapi dengan gerakan cepat Kirana menghindar. Gerakan menghindar tersebut membuat teman Susi terhuyung dan jatuh terjerembab. Kirana memang tidak terlihat seperti seseorang yang bisa bela diri, tapi Susi dan teman-temannya tidak tahu tentang hal itu.
Susi dan teman-temannya terkejut. Mereka tidak menyangka Kirana bisa menghindar. Susi mencoba menampar Kirana tapi Kirana dengan cepat mengunci tangannya dan mendorongnya ke dinding. “Cukup…!!!!” teriak Kirana dengan suara tegas. “Aku tidak mau ribut… tapi kalau kalian terus ganggu aku… aku tidak akan segan-segan melapor ke pihak sekolah,” lanjutnya dengan matanya menatap tajam ke arah Susi.
Susi yang masih terkejut dan tetap mencoba melawan. “Kamu pikir kamu bisa menang..?!” teriaknya namun suaranya terdengar gemetar. Teman-temannya terlihat tidak berani membantu, karena sekarang Kirana terlihat garang.
Bagaimana akhir perseteruan mereka...? Ikuti pada bab berikutnya.