Gendhis Az-Zahra Bimantoro harus menerima takdir kematian ayahnya, Haris Bimantoro dalam sebuah kecelakaan tragis namun ternyata itu adalah awal penderitaan dalam hidupnya karena neraka yang diciptakan oleh Khalisa Azilia dan Marina Markova. Sampai satu hari ada pria Brazil yang datang untuk melamarnya menjadi istri namun tentu jalan terjal harus Gendhis lalui untuk meraih bahagianya kembali. Bagaimana akhir kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tirani yang Dimulai
Para pekerja perkebunan hanya bisa menunduk dan mengangguk. Mereka semua merasa takut dengan ancaman Marina. Mereka tahu, Marina adalah orang yang sangat kejam dan tidak akan ragu untuk menyakiti mereka jika mereka berani melawan.
Setelah menyampaikan ancamannya, Marina kemudian pergi meninggalkan perkebunan. Ia merasa sangat puas karena telah berhasil menunjukkan kekuasaannya kepada para pekerja perkebunan.
"Mereka semua sekarang ada di bawah kendaliku. Aku akan memanfaatkan mereka untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya," kata Marina, dalam hatinya.
****
Setelah puas "berkuasa" di perkebunan, Marina melanjutkan perjalanannya ke sebuah peternakan yang terletak tidak jauh dari sana. Peternakan ini juga merupakan bagian dari aset keluarga Bimantoro, yang kini berada di bawah kendali Marina.
Peternakan sapi perah ini terkenal dengan produksi susu segarnya yang berkualitas tinggi. Produk susu dari peternakan ini bahkan telah berhasil menguasai sebagian besar pasar di kota Bandung dan sekitarnya. Marina ingin memastikan bahwa bisnis peternakan ini terus berjalan dengan lancar dan menghasilkan keuntungan yang besar baginya.
Setibanya di peternakan, Marina langsung disambut oleh para pekerja peternakan. Mereka semua sudah tahu bahwa Marina adalah "pemilik" baru peternakan ini. Mereka menyambut Marina dengan hormat dan menunjukkan berbagai fasilitas yang ada di peternakan tersebut.
Marina melihat-lihat kandang sapi, tempat pemerahan susu, dan tempat pengolahan susu. Ia tampak sangat tertarik dengan semua proses produksi susu dari awal hingga akhir. Ia bahkan mencoba untuk memerah susu sapi secara langsung, meskipun hanya sebentar.
"Berjalan dengan baik. Kalian semua bekerja dengan sangat baik," kata Marina, dengan nada yang penuh pujian.
Para pekerja peternakan hanya bisa tersenyum dan mengangguk. Mereka merasa senang karena Marina memuji mereka. Namun, di balik senyuman mereka, tersimpan rasa takut dan khawatir. Mereka tahu, Marina adalah orang yang sangat keras dan tidak akan segan-segan untuk memecat mereka jika mereka melakukan kesalahan.
Setelah puas melihat-lihat peternakan, Marina mengumpulkan semua pekerja peternakan di sebuah lapangan. Ia ingin menyampaikan beberapa hal penting kepada mereka.
"Dengar baik-baik semuanya!" kata Marina, dengan suara yang lantang. "Mulai sekarang, saya adalah pemilik peternakan ini. Saya ingin kalian semua bekerja dengan jujur dan bertanggung jawab. Jangan ada yang berani mencuri atau berbuat curang. Jika ada yang melanggar, saya tidak akan segan-segan untuk memberikan hukuman yang berat."
Marina kemudian menatap satu per satu pekerja peternakan dengan tatapan yang tajam. Ia ingin memastikan bahwa semua pekerja peternakan mendengarkan perkataannya.
"Saya tidak akan mentolerir siapapun yang berani menentang saya. Saya akan memberikan ganjaran yang sangat pahit bagi siapapun yang mencoba untuk melawan saya," kata Marina, dengan nada yang penuh ancaman.
Para pekerja peternakan hanya bisa menunduk dan mengangguk. Mereka semua merasa sangat takut dengan ancaman Marina. Mereka tahu, Marina adalah orang yang sangat kejam dan tidak akan ragu untuk menyakiti mereka jika mereka berani melawan.
Setelah menyampaikan ancamannya, Marina kemudian pergi meninggalkan peternakan. Ia merasa sangat puas karena telah berhasil menunjukkan kekuasaannya kepada para pekerja peternakan.
"Mereka semua sekarang ada di bawah kendaliku. Aku akan memanfaatkan mereka untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya," kata Marina, dalam hatinya.
****
Prasojo, yang kini menjabat sebagai Direktur Utama BM Group, tidak mau kalah dengan Khalisa dan Marina. Ia juga ingin memanfaatkan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Prasojo memiliki ambisi besar untuk mengembangkan bisnis properti BM Group, bahkan jika harus melanggar hukum dan mengorbankan orang lain.
Prasojo mulai melakukan ekspansi bisnis dengan membangun properti di atas tanah sengketa. Ia tahu bahwa tanah tersebut masih dalam sengketa dan banyak warga yang belum mendapatkan ganti rugi yang layak. Namun, Prasojo tidak peduli. Ia hanya ingin mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari proyek propertinya itu.
Untuk melancarkan aksinya, Prasojo menyuap para penegak hukum dan pejabat daerah. Ia menggunakan kekuasaannya untuk menekan mereka agar tidak menghalangi rencananya. Ia juga tidak segan-segan untuk menggunakan cara-cara yang kotor, seperti ancaman dan intimidasi, untuk memaksa warga agar mau menjual tanah mereka dengan harga yang murah.
"Siapa pun yang berani menghalangi rencanaku, akan berhadapan denganku!" kata Prasojo, dengan nada yang angkuh.
Dengan bantuan para penegak hukum dan pejabat daerah yang korup, Prasojo berhasil mendapatkan izin untuk membangun properti di atas tanah sengketa. Ia kemudian mengerahkan para pekerja dan alat berat untuk menggusur lahan warga dengan bengis. Warga yang tidak mau menyerah dan mempertahankan tanah mereka, diusir secara paksa dan bahkan ada yang menjadi korban kekerasan.
"Kalian semua harus pergi dari sini! Tanah ini sudah menjadi milikku!" teriak Prasojo, dengan nada yang kasar.
Warga yang ketakutan dan tidak berdaya, hanya bisa pasrah dan meninggalkan tanah mereka dengan hati yang sedih dan marah. Mereka kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian mereka.
Prasojo tidak merasa bersalah atau kasihan melihat penderitaan warga. Ia hanya memikirkan keuntungan yang akan ia dapatkan dari proyek propertinya itu.
"Aku akan menjadi orang kaya raya dengan proyek ini. Semua orang akan tunduk padaku," kata Prasojo, dengan nada yang penuh ambisi.
Prasojo kemudian membangun properti mewah di atas tanah sengketa itu. Ia menjual properti itu dengan harga yang sangat mahal kepada orang-orang kaya. Keuntungan yang ia dapatkan sangat besar.
****
Hari-hari berlalu bagaikan neraka bagi Gendhis. Keluarga Khalisa yang tamak dan gila harta semakin membuatnya tertekan di rumahnya sendiri. Marina dan Khalisa, dengan wajah bengis mereka, silih berganti berteriak setiap kali Gendhis melakukan kesalahan, sekecil apapun itu.
"Gendhis! Apa-apaan ini?! Kenapa kamu tidak bisa membersihkan rumah dengan benar?!" teriak Marina, dengan suara melengking.
"Kamu ini memang benar-benar tidak berguna! Hanya bisa membuat masalah saja!" timpal Khalisa, dengan nada yang tidak kalah kasar.
Gendhis hanya bisa menunduk dan menahan air matanya. Ia sudah tidak berani melawan atau membela diri. Ia tahu, jika ia melawan, mereka akan semakin marah dan menyiksanya.
Sementara itu, Stefanny, yang masih tidak percaya bahwa Gendhis mencoba menggoda suaminya, terus saja bersikap sinis dan dingin kepada Gendhis. Ia selalu mencari-cari kesalahan Gendhis dan mempermalukannya di depan orang lain.
"Lihatlah dia, Mas. Dia itu memang perempuan murahan. Sudah berani menggoda suami orang," kata Stefanny, sambil berbisik kepada Prasojo.
Prasojo, yang juga memiliki niat tersembunyi terhadap Gendhis, hanya tersenyum sinis. Ia tahu, Gendhis adalah gadis yang cantik dan polos. Ia seringkali diam-diam memperhatikan Gendhis saat ia sedang bekerja di rumah.
Suatu sore, ketika rumah sedang sepi, Prasojo tiba-tiba menghampiri Gendhis yang sedang membersihkan dapur. Ia mendekati Gendhis dari belakang dan memegang tangannya.
"Gendhis, kamu cantik sekali hari ini," kata Prasojo, dengan suara yang lembut.
Gendhis terkejut dan mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Prasojo. Ia merasa tidak nyaman dengan perlakuan Prasojo.
Gendhis terkejut dan mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Prasojo. Ia merasa tidak nyaman dengan perlakuan Prasojo.
"Maaf, Mas. Saya harus melanjutkan pekerjaan saya," kata Gendhis, dengan nada yang gugup.
Namun, Prasojo tidak melepaskan tangannya. Ia justru semakin mendekat dan mencoba untuk merangkul Gendhis.
"Kamu tidak perlu terburu-buru. Kita bisa bicara sebentar," kata Prasojo, sambil tersenyum mesum.
Gendhis semakin ketakutan. Ia tahu, Prasojo memiliki niat yang tidak baik terhadapnya. Ia berusaha untuk menghindar, namun Prasojo terus saja mengejarnya.