Ares dan Rara bersahabat baik dari kecil. Tidak mau kehilangan Ares membuat Rara mempertahankan hubungan mereka hanya sebatas sahabat dan memilih Arno menjadi pacarnya. Masalah muncul saat Papa Rara yang diktator menjodohkan Ares dan Rara jatuh sakit. Sikap buruk Arno muncul membuat Rara tidak mempertimbangkan dua kali untuk memutus hubungan seumur jagung mereka. Ares pun hampir menerima perempuan lain karena tidak tahan dengan sikap menyebalkan Rara. Namun demi melindungi Rara ,memenuhi keinginan papa dan membalas Arno. Akhirnya Rara dan Ares menikah. Hari - hari pernikahan mereka dimulai dan Rara menyadari kalau menjadi istri Ares tidak akan membuatnya kehilangan lelaki itu. Lantas bagaimana kelanjutan hubungan mereka yang sebelumnya sahabat menjadi suami istri serta bagaimana jika yang sakit hati menuntut balas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Calistatj, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 4
Hari itu ada ulangan mendadak mata pelajaran matematika. Aku yang les kumon sama sekali tidak merasa khawatir dengan ulangan dadakan. Aku memahami pelajaran yang di ajarkan sejauh ini. Lain dengan lelaki di sebelahku yang menempel padaku layaknya perangko. Wajahnya sedikit pucat. Ares memang keren dalam pelajaran olahraga, tapi matematika adalah kelemahannya. Ares dan angka sama sekali tidak cocok. Selama ini tanpa bantuanku nilai Ares tidak akan menyentuh angka 50.
Guru mulai membagikan kertas dan soal ulangan yang entah kapan dia siapkan. Tatapannya menyeringai menyebalkan mendapati beberapa murid frustasi begitu melihat soal tersebut.
“Mati. Gue nggak ngerti” Gumam Ares begitu melihat soal ulangan.
Aku membaca satu per satu soal dan mulai mengerjakan ketika intruksi sudah diberikan. Aku mencoret - coret angka dan rumus pada selembar kertas mencoba mendapatkan satu jawaban yang tepat. Ares yang duduk di sebelahku hanya menggigit bulpen. 30 menit sudah berlalu dan lembar jawaban Ares masih kosong sementara aku hampir menyelesaikan semuanya.
Begitu selesai aku langsung mendorong lembar jawabanku ke arah Ares hingga lelaki tampan itu bisa menyalin semua jawabanku. Kalau hanya menyalin Ares hanya butuh waktu singkat. Setelah lelaki itu selesai aku langsung menarik kertas jawabanku dan menunggu guru mengumpulkan. Guru itu langsung keluar kelas begitu waktu ulangan habis dan memberikan jam bebas. Metode pengajarannya memang terbilang cepat diiringi satu ulangan mendadak di setiap pergantian materi.
Ares menatapku dengan senyum lebar. “Makasih ya, Ra. Lo baru menyelamatkan gue dari neraka jahanam”
“Jawabanku belum tentu benar”
“Pasti benar, Ra. Sejauh ini lo yang paling pintar, jadi jangan pesimis. Lo selalu belajar lebih dari pada yang lain, jadi wajar kalau lo dapat yang lebih baik juga” Hibur Ares.
Ares selalu mengajarkan aku bagaimana caranya tidak menilai rendah diri sendiri. Aku tersenyum dan memandang Ares. “Kalau aku dapat bagus itu artinya kamu juga dapat bagus. Jadi, apa gunanya belajar lebih?”
Ares menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lalu tersenyum. “Membantu seseorang yang lebih bodoh dari lo nggak akan pernah jadi saingan buat lo” Ujarnya. Ares mode bijak yang membuatku langsung tersenyum.
Kembali ke dunia nyata. Ingatan itu membuatku ikut tersenyum. Betapa banyaknya waktu berlalu tapi semua kenangan persahabatan ini masih lekat dalam ingatanku.
***
Pagi hari yang cerah sungguh tidak kontras dengan suasana hatiku yang kelabu. Malam telah berlalu, tapi perasaanku masih saja buruk. Masalah dengan papa tidak akan pernah terselesaikan sampai aku menuruti semua permintaannya. Kali ini aku tidak ingin menuruti papa. Aku melakukan protes dalam rangka mengingatkan kalau hidup ini masih miliku. Tidak mungkin aku bisa melakukan semua hal yang diinginkan orang lain namun menyakitiku.
Aku menutup pintu rumah dan mendapati Ares yang sudah bersiap - siap akan berangkat bekerja. Lelaki itu telihat rapih hari ini. Ares menatapku sejenak, tapi tidak mengatakan satu patah kata. Aku mengalihkan pandanganku dari Ares bersiap akan memanggil taksi berhubung aku meninggalkan mobilku di kantor.
Ares masuk ke mobil dan menjalankan mobilnya. Dia sama sekali tidak memedulikan aku. Lagi pula untuk apa Ares peduli terhadapku. Mobil itu berhenti di depanku dan Ares menurunkan kaca.
“Lo mau bareng?” Tawarnya.
Aku memandang Ares tidak percaya. Setelah hari - hari tanpa komunikasi lelaki itu kembali berbicara denganku. Aku tau kalau Ares tidak akan pernah bisa terlalu marah padaku. Itu kunci dari persahabatan kami yang terlalu awet.
“Aku udah pesen taksi”
“Ya udah kalau gitu” Ares menutup kembali kaca jendela dan bersiap menjalankan mobilnya.
Tidak bisa terus menerus bertengkar aku mengetuk kaca jendela mobil Ares hingga wajah tampan itu muncul dari jendela. “Kenapa?”
“Aku mau ikut” Aku segera membatalkan pesanan taksi dan masuk ke dalam mobil Ares. Hidup terasa membosankan tanpa Ares. Aku tidak ingin terus menerus bersitegang dengan Ares. Di dalam mobil suasananya menjadi sangat canggung. Ares mengambil kacamata hitam dari dashboard yang menaikan kadar ketampanannya berkali - kali lipat.
Wajah tampan Ares tiba - tiba mendekati wajahku. Terlalu dekat hingga jantungku berdegup kencang. Refleks aku memejamkan mata. Ares mau menciumku? Mungkinkah? Beberapa detik kemudian Ares menarik sabuk pengaman dan mengaitkannya. Aku membuka mata dan seketika salah tingkah.
“Jangan salah paham lo nggak pakai sabuk pengaman” Ares klarifikasi.
Aku berdeham untuk meredakan kecanggunganku. “Aku tau”
“Masa? Terus ngapain lo merem gitu? Lo mau gue cium?” Khas Ares sekali.
Aku tersenyum menatapnya. Aresku telah kembali. Aku refleks memeluk Ares karena terlalu bahagia. Tubuh Ares menegang dalam pelukanku. “Aku senang kamu udah nggak marah” Kataku setelah melepas pelukan.
“Lo yang marah, Rara. Lo yang mengamuk duluan sampai gue bingung mau jelasin gimana ke lo“ Ares berkata sambil terus menatap jalanan di depan yang sudah padat di pagi hari.
“Aku minta maaf, Res. Aku terlalu kesal karena papa bilang kamu setuju tanpa konfirmasi apapun sama aku”
“Ra, lo tau kalau orang tua gue itu bercerai karena merasa nggak cocok. Gue yang jadi korbannya. Gue masih kecil waktu mereka pisah dan gue bingung waktu di suruh milih mau ikut siapa. Akhirnya gue memilih ikut papa, tapi itu sama sekali nggak membuat gue melupakan mama dan setelah itu gue kehilangan mama. Sampai detik ini gue nggak pernah ketemu mama lagi dan gue nggak tau dia dimana, Ra. Jadi, kalau menikah itu harus dan calon yang mereka pilih adalah lo. Gue merasa kalau pernikahan itu akan awet” Jelas Ares sambil sesekali menengok ke arahku.
“Nggak ada jaminan kalau pernikahaan itu akan awet, Res. Kita cocok sebagai sahabat, tapi belum tentu cocok sebagai pasangan”
“Itu jaminan, Ra. Gue terlalu kenal sama lo sampai tau apa yang lo suka dan apa yang lo nggak suka. Jadi, itu udah mengurangi konflik”
“Res, buatku jaminan itu tidak sebanding dengan harga yang harus aku bayar kalau kehilangan kamu”
“Lo takut kehilangan gue, Ra?”
“Iyalah. Selama hidup kamu adalah yang terbaik yang aku punya”
“Lebih baik dari pada Arno?”
Aku berdecak.”Kenapa jadi Arno sih?”
Ares memamerkan deretan giginya yang rapih. Senyum yang beberapa hari ini tidak dia berikan untukku akhirnya terukir lagi di bibirnya. “Gue tau kalau gue lebih baik dari Arno”
“Tau dari mana?”
“Liat saja nanti” Ares mengakhiri pembicaraan. Setelah menurunkanku di depan bangunan lima lantai bercat putih. Ini adalah kantor papa Ares. Perusaahan ini bergerak dibidang penjualan properti. Aku tidak mengatakan apa - apa lagi dan langsung turun dari mobil Ares setelah mengucapkan terimakasih. Aku tidak langsung masuk dan mengamati mobil Ares hingga keluar dari komplek perusahaan.