Sahabat itu cinta yang tertunda, kata Levin satu waktu berkata pada Dizza seolah konsep itu memang sudah dialami nyata oleh si pemuda. “Kau hanya perlu melihat dengan persepsi yang berbeda untuk menemukan cintamu.”
Sampai kemudian Dizza yang berpikir itu omong kosong mengalami sendiri kebenaran yang Levin katakan padanya. Dizza jatuh cinta pada Edzhar yang adalah sahabatnya.
"Memangnya boleh mencintai sahabat sendiri?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rucaramia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Orang Aneh
Entah untuk alasan apa Levin tetap disana, memandangi sebuah apartment yang dimasuki oleh Edzhar dengan dosen muda mereka. Pintu itu tertutup rapat dan tidak ada tanda-tanda orang yang akan keluar dari sana. Mungkin itu memang hak Edzhar tetapi melihat sendiri hal seperti ini agak menggelikan juga buatnya. Apalagi dia jadi peduli karena tahu kalau hal-hal seperti ini berpotensi besar membuat kesalahpahaman yang menyakitkan apalagi kalau yang tahu hal ini adalah Dizza. Gadis itu sudah sangat berusaha keras sejak kemarin lusa. Entah membicarakan soal ulang tahun Edzhar dan mereka berdua mencari hadiah untuk laki-laki itu. Dizza bahkan sampai membolos kuliah hanya untuk membuatkan lelaki itu kue ulang tahun buatan sendiri. Seberuntung itu menjadi Edzhar. Jadi kalau betulan Edzhar lelaki brengsek, Levin bersumpah dia akan menjauhkan Dizza darinya, terlepas gadis itu suka atau tidak.
Hal pertama yang Levin lakukan adalah kembali menghubungi Dizza. Dia berharap gadis itu mau menerima teleponnya dan mengingkari perkataan dia sebelumnya.
Dia berharap gadis itu tidak melakukan hal nekad dengan pergi ke kediaman Edzhar dengan membawa kue ulang tahunnya malam ini. Karena jika dia melakukan hal itu, dia hanya akan pulang dalam kondisi kecewa berat lantaran pria itu tidak akan berada disana. Dia sedang berada di kediaman dosen muda mereka malam ini, setelah dia membawakan barang belanjaan wanita itu.
Tetapi sialnya, Dizza tidak mengangkat teleponnya.
Levin kembali mencoba dan kali ini ponsel gadis itu malah fix tidak bisa dihubungi sama sekali.
“Sial!”
***
Ponsel Dizza berbunyi lagi. Nama Levin kembali tertera di layar. Kesal karena sahabatnya itu tidak henti mengganggunya, dia langsung mengambil keputusan untuk mematikan daya ponselnya dan melemparnya sembarang arah.
Jam sudah berdentang dua belas kali. Hari telah berganti. Sembilan telah berganti menjadi sepuluh. Sial, Dizza kehilangan moment hari ulang tahun pria itu. Usahanya sia-sia, Edzhar tidak menanggapi pesannya dan tidak akan datang ke kediamannya jika seperti ini.
“Selamat ulang tahun, Edzhar,” ujar Dizza menyalakan lilin angka yang dia letakan di atas kuenya secara bergantian lalu menyanyikan lagu ulang tahun sambil terisak pelan. Ah … rasanya mengecewakan sekali. Bahkan menangis karena hal se-sepele ini pun terlalu melelahkan untuknya. Dia tidak pernah berpikir akan menangis hanya karena gagal merayakan ulang tahun seorang teman saja.
Seperti orang bodoh Dizza menangis hingga rasa lelah membawanya ke alam mimpi. Sebuah mimpi panjang yang terasa begitu nyata dan tampak tidak akan berakhir dengan cepat. Dalam mimpinya Dizza berlari dalam sebuah labirin seraya memanggil nama Edzhar, tetapi pria itu terus berada di depannya tanpa mau berbalik. Dan ketika dia hampir meraih sahabatnya itu, gedoran keras di pintu dan seseorang yang meneriakan namanya membuat Dizza terbangun dari tidurnya.
“DIZZA!”
Dizza mengenali suara yang menerikan namanya itu. Jelas-jelas itu suara Levin. Dengan enggan Dizza membuka matanya. Lilin yang dia nyalakan sudah mati karena tertiup oleh angin yang masuk melalui jendela yang dia lupa tutupi sebelumnya. Gedoran terdengar lagi, bahkan lebih keras dan bertubi-tubi dari sebelumnya. Dizza pun benar-benar terjaga dan merasa harus segera ke depan untuk menghentikan keributan yang terjadi di luar sana sebelum satu apartment terbangun karena ulah sahabatnya itu.
Begitu Dizza membuka pintu, Levin langsung merangsek masuk dan begitu melihat Dizza dia langsung memeluknya.
“Syukurlah, kupikir aku tidak akan melihatmu lagi. Untunglah kau tidak melakukan hal yang nekad.”
Dizza yang tidak mengerti dengan tingkah polah Levin hanya bisa terbengong sendiri. “Kau berlebihan sekali, Levin. Tingkahmu barusan kelewat berisik tahu. Kau bisa membangunkan seisi apartment karena kekhawatiranmu yang tidak masuk akal,” omel Dizza.
“Itu karena kau tidak mengangkat telepon dariku. Setelahnya malah tidak bisa dihubungi sama sekali. Kau membuatku takut, Dizza. Kupikir—”
“Apa? hal bodoh apa yang ada di kepalamu?” Dizza secepat kilat memotong perkataan Levin dan mendengus sebal. “Aku tidak sebodoh itu tahu, kau pikir aku sembrono?” Kemudian setelah itu dia menyadari ada kerumunan di luar pintu dan langsung meminta maaf karena keributan yang berhasil dibuat oleh Levin. Dan meminta mereka untuk kembali beristirahat.
“Lihat? Dasar bodoh! Kau membuatku malu!” ungkap Dizza marah sambil bersidekap dada dan mengomeli Levin.
“Ya mau bagaimana lagi, kau membuat hampir gila karena khawatir tahu!” balas Levin tidak kalah kesal.
Dizza terdiam. Dia bisa melihat jelas gurat kekhawatiran di kedua mata sahabat masa kecilnya. Dia bahkan bisa merasakan tubuh pria itu agak gemetaran saat dia memeluknya tadi.
“Aku tidak bisa tenang memikirkan bagaimana keadaanmu, dan kau malah seenaknya mematikan ponselmu,” ujar Levin yang menemukan ponsel Dizza yang tergeletak di atas lantai dalam kondisi mati.
“Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan. Kau tahu sendiri aku selalu serius memegang kata-kataku. Kau terus-terusan menggangguku,” jawab Dizza. Kali ini dia tidak meninggikan suaranya lagi. Hatinya merasa sedikit bersalah karena membuat Levin sekhawatir itu.
“Apa bagimu aku sebegitu mengganggu?”
“Aku hanya … aku tidak mau kau terus mengatakan sesuatu yang membuatku tidak semangat. Maksudku kau seolah mengatakan padaku bahwa usahaku sia-sia dan ah—sial, dan bahkan itu betulan kejadian. Kau lihat sendiri …” Dizza berusaha membela diri. “Aku tahu kalau kau mungkin melihatku sebagai seorang yang sedang denial. Tapi rasanya kecewa saat aku berusaha sekeras ini tapi hasilnya tidak di apresiasi. Entah itu olehmu atau oleh orang yang aku usahakan.” Napas Dizza tertahan saat kata itu terlontar dari mulutnya. Dia hampir menangis lagi. Dia mengambil ponselnya dan mencoba untuk menyalakan kembali ponselnya. Benda itu kini sedang berada dalam posisi start up. “Bahkan aku tidak mendapatkan balasan pesan darinya padahal aku sudah mencoba untuk menghubungi, apakah dia sesibuk itu? apakah dia—"
Levin mengangkat tangannya, membuat aliran kata-kata Dizza berhenti. “Aku paling tahu kalau kau bekerja keras. Sudahlah, mungkin dia sedang sibuk sekali. Kau masih bisa memberikannya besok.”
“Tapi itu tidak sama.”
“Sama saja menurutku, asal kau yang berikan langsung padanya. Walaupun memang sangat disayangkan sekali dia tidak melihat semua ini dan malah aku yang menyaksikannya.” Saat mengatakan hal itu ekspresi Levin sungguh tidak bisa dibaca.
“Tapi kan—”
“Lantas kau mau memberikan padanya sekarang?” potong Levin malas. “Lihat sudah jam berapa sekarang? bukankah besok atau sekarang sama saja itungannya. Sudahlah lebih baik kau tidur saja. Aku akan pulang sekarang.”
“Kau tidak mau menginap saja?”
“Dizza, kau tidak berpikir ya kalau penawaranmu itu bisa jadi hal yang berbahaya?”
Kedua kelopak mata Dizza hanya berkedip. “Memangnya kenapa?”
“Ah kau membuatku gila! Sudahlah aku mau pulang. Pastikan kau kunci pintu dan jendelamu. Selamat malam,” kata Levin yang lalu keluar dari kediamannya. Dizza hanya bisa melongo. Bisa-bisanya dia pergi begitu padahal tadi dia tampak bernafsu sekali ingin masuk ke dalam. Dizza pikir dia akan menginap seperti biasanya, tetapi kenapa dia malah menolak?
“Dasar orang aneh.”
Love ..word that can cause happiness or sadness Depend situation. i hate that word n try to avoid happened to me 🫣🤔😱