Dua orang sahabat yang terbiasa bersama baru menyadari kalau mereka telah jatuh cinta pada sahabat sendiri setelah jarak memisahkan. Namun, terlambat kah untuk mengakui perasan ketika hubungan mereka sudah tak seperti dulu lagi? Menjauh tanpa penjelasan, salah paham yang berakibat fatal. Setelah sekian tahun akhirnya takdir mempertemukan mereka kembali. Akankah mereka bersama setelah semua salah paham berakhir?
Ikuti lika-liku perjalanan dua sahabat yang manis dalam menggapai cinta dan cita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EuRo40, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Angga mengajak Ana ke lantai dua restoran yang ternyata bertema outdoor. Ia dapat memandang langit malam yang berhiaskan bintang.
Ana melihat ke sekeliling, tidak ada seorang pun hanya mereka berdua. Angga menarik kursi untuk Ana, gadis itu tersenyum lalu duduk. “Terima kasih,” ucap Ana.
Angga tersenyum lalu duduk di depan Ana. Pelayan datang membawa makanan lalu menatanya, padahal Ana dan Angga belum memesan apa pun. Begitu pelayan pergi, Ana melihat beberapa menu di meja.
“Kita ‘kan belum pesan, tapi mereka sudah membawa makanan. Ini nggak salah meja, ‘kan?” tanya Ana heran.
“Nggak, gue udah pesan ama mereka sebelum kita datang,” jawab Angga.
“Oh, jangan bilang kalau lo booking seluruh lantai ini buat kita doang? Soalnya yang ada di sini cuma kita berdua.”
Angga tersenyum. “Nggak, kok. Kebetulan aja mungkin nggak ada yang ke lantai dua. Gue hanya pesan makanan aja. Biar kita nggak nunggu lama. Yuk, kita makan aja.” padahal sesungguhnya ia memang sudah mem-booking seluruh lantai dua.
Mereka mulai menikmati semua makanan yang ada di meja. Angga menunda keinginannya untuk bicara melihat Ana yang sedang makan dengan lahap.
“Alhamdulillah,” ucap Ana setelah makanan di piringnya tandas. Ia kemudian menyedot minuman dingin yang tersaji.
“Ga, gue butuh penjelasan tentang perkataan lo tadi.”
Angga yang baru saja menghabiskan makannya meneguk minuman dalam gelas. Kemudian ia bicara,
“Yang mana?” tanyanya pada Ana.
“Semuanya! Kenapa lo kirim surat lewat Elin? Kenapa lo nggak sanggup ngomong langsung ke gue? Apa maksudnya lo patah hati? Dan kenapa lo berpikir gue nggak peduli sama lo? Padahal waktu itu jelas-jelas lo yang mulai ngasih jarak ke kita. Lo asyik berdekatan sama Gendis. Justru gue yang merasa terabaikan, gue yang patah hati, lo pergi tanpa pamit, setidak berharga itu gue buat lo, Ga?”
“Tunggu dulu, lo salah paham. Gue nggak ngasih jarak antara kita, dan gue nggak ngedeketin Gendis. Gue emang lagi sibuk ngurusin segala keperluan untuk kuliah. Lo tahu ‘kan untuk kuliah di luar negeri itu persiapannya banyak. Gue juga nggak tahu kalau Gendis akan kuliah di tempat yang sama. Dia selalu minta bareng ngurus semuanya karena dia juga nggak tahu apa-apa, itu doang.”
Angga menatap Ana lembut. “Gue nggak pernah mengabaikan lo, maaf kalau yang gue lakuin ternyata membuat lo salah paham. Gue nggak mau lo tahu gue sekolah di luar karena gue bingung, gimana ngomongnya ke lo. Kita nggak pernah jauh tiba-tiba gue akan pergi ninggalin lo, gue nggak mau lo sedih. Lagi pula Seno lagi pendekatan sama lo ‘kan? Gue mau ....”
“Tunggu dulu!” Ana memotong ucapan Angga.
“Dari mana lo tahu, Seno pendekatan ama gue?” tanya Ana.
“Seno sendiri yang bilang. Dia minta tolong ke gue supaya bisa diberikan kesempatan berduaan sama lo. Dia bilang ke gue kalau dia cinta ama lo, An.”
“Oh, jadi itu sebabnya lo sering tinggalin gue sama Seno berdua.” Ana menggelengkan kepala.
“Ga, lo kenal gue berapa lama? Masa Lo nggak tahu kalau gue nggak suka sama Seno?”
“Gue juga bingung, An. Gue nggak suka Seno deketin lo, tapi gue takut ketika gue pergi lo sendirian dan sedih. Jadi mungkin dengan adanya Seno, lo akan bahagia, tapi begitu ngeliat lo pelukan sama Seno hati gue sakit, An. Gue nggak sanggup ketemu lo. Jadi, gue titip surat ke Elin buat lo.”
“Hah, lo lihat gue pelukan sama Seno?” Ana berpikir sebentar. Ana mencoba menggali memorinya ke masa SMA.
“Oh, gue ingat. Terus lo sakit hati ketika gue dan Seno pelukan. Sama, gue juga sakit hati lihat lo dekat sama Gendis. Terus Seno juga bilang kalau Gendis suka sama lo dan sepertinya lo juga suka sama Gendis.”
“Nggak! Kata siapa? Gue ngga ada perasaan apa pun sama dia. Bahkan selama kami di luar negeri juga nggak pernah ada perasaan apa-apa.”
“Gue juga nggak ada perasaan sama Seno. Pelukan itu adalah pelukan perpisahan. Gue udah tolak dia, terus dia juga mau kuliah di luar negeri. Seno minta pelukan terakhir kali.”
“Jadi, lo nggak pacaran sama Seno?” tanya Angga.
“Ya, nggak lah! Gue nggak suka dia.”
“Jadi, apa perasaan kita sama?” tanya Angga.
Ana tahu arah pembicaraan Angga. Ia diam menatap mata Angga. Setelah sekian detik, Ana lalu menghela napas. “Ya, mungkin, tapi sayangnya sekarang sudah terlambat.”
Angga mengerti maksud Ana terlambat. Ana sudah memiliki kekasih. “Apa lo mencintai dia, An?” tanya Angga.
Mulut Ana sudah terbuka ingin menjawab, tapi tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ia bingung menjawab apa? Hatinya meragu. Ia bertanya pada dirinya sendiri, apa ia mencintai Galang?