Jian Chen melarikan diri setelah dikepung dan dikejar oleh organisasi misterius selama berhari-hari. Meski selamat namun terdapat luka dalam yang membuatnya tidak bisa hidup lebih lama lagi.
Didetik ia akan menghembuskan nafasnya, kalung kristal yang dipakainya bersinar lalu masuk kedalam tubuhnya. Jian Chen meninggal tetapi ia kembali ke masa lalu saat dia berusia 12 tahun.
Klan Jian yang sudah dibantai bersama keluarganya kini masih utuh, Jian Chen bertekad untuk menyelamatkan klannya dan memberantas organisasi yang telah membuat tewas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon secrednaomi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps. 3 — Pilihan Bakat
Jian Wu tidak lama kemudian datang dengan istrinya dan seorang tabib, tabib itu terlebih dahulu memeriksa tubuh Jian Chen dengan meraba telapak tangan dan denyut nadi.
“Bagaimana? Apakah Chen’er baik-baik saja?” Jian Wu bertanya pada tabib itu dengan cemas, dirinya berpikir sebab Jian Chen pingsan adalah karena latihan bersamanya.
“Syukurlah, anakmu sudah membaik seperti semula. Mungkin ia kelelahan karena terlalu banyak mengeluarkan tenaga jadi sebaiknya biarkan dia istirahat dan tidak usah berlatih dulu untuk beberapa waktu.”
Tabib itu kemudian memberikan resep obat agar tenaga Jian Chen bisa cepat pulih.
Jian Chen sendiri sebenarnya tahu bahwa yang menyebabkan dirinya terjatuh pingsan bukan karena kelelahan melainkan rasa sakit di kepalanya.
Setelah merasa pekerjaannya telah selesai Tabib itu berpamitan pergi. Jian Wu mengantarkannya sampai pintu rumah, ia tidak lupa untuk berterimakasih dan memberi bayaran yang sesuai.
Dari kamar, Jian Chen diperingatkan oleh ibunya agar tidak berlatih untuk sementara waktu, bahkan nada Jian Ran sedikit tegas mengingat sikap puteranya yang keras kepala.
Jian Chen mengangguk pelan dan mengatakan akan menurut nasihat ibunya.
Melihat itu Jian Ran memasang wajah ramah kembali dengan senyuman yang hangat. Ia mengambil makanan yang sebelumnya dibawa lalu menyuruh anaknya agar segera makan sebelum minum obat.
“Atau mau ibu suapi?” Jian Ran menggoda anaknya sambil tertawa kecil.
Jian Ran adalah sosok ibu yang memiliki sikap riang, mempunyai wajah cantik serta aura keibuan yang tinggi.
Dia ingin sekali memanjakan anak satu-satunya itu walaupun kini sudah berumur 12 tahun. Pada dasarnya seberapa besar kelak seorang anak tumbuh dan dewasa bagi seorang ibu ia tetaplah anak kecilnya, seperti itulah pandangan Jian Ran pada Jian Chen.
Bahkan kalau boleh memilih, seorang ibu tidak akan merelakan anaknya tumbuh dan jadi dewasa.
Jian Chen tersenyum canggung, ia mungkin berusia 12 tahun tetapi mental dan sikapnya sekarang jauh dari umurnya. Jian Chen menolak pelan, lebih memilih mengambil mangkuk sup itu segera sebelum ibunya menggodanya lebih lanjut.
“Chen’er sekarang sudah larut malam, setelah kau makan jangan lupa untuk meminum obat yang tabib berikan lalu segera tidur dan istirahat.” Jian Ran mengingatkan.
“Baik, Ibu. Aku akan melakukannya…”
“Besok-besok tidak ada nama latihan, belajar pedang, atau memperkuat tubuh. Selama seminggu ke depan, selama tubuhmu masih sakit, jangan keluar rumah! Kamu mengerti, Jian Chen?!”
Jian Chen tersenyum, mengangguk. “Baik, Ibu.”
“Tidak ada bantah-bantahan, Chen’er. Jika ibu bilang kamu harus istirahat maka harus segera istirahat! Jangan bilang kamu tidak akan melakukannya atau ibu akan... Eh? Apa tadi…”
Jian Chen tertawa kecil, ia tidak salah lagi kalau dirinya memang kembali ke masa lalu. Sikap cerewet ibunya masih sama ketika waktu dimasa kecil dulu.
Jian Ran disisi lain menatap anaknya kebingungan, sepengetahuannya Jian Chen memiliki sifat keras kepala bahkan walau sakit sekalipun. Pernah suatu hari walau dirinya demam Jian Chen tetap berlatih meskipun ibunya telah melarang keras, sekarang saat Jian Chen begitu patuh rasa-rasanya membuat Jian Ran terkejut.
Melihat Jian Chen sudah meminum obat, Jian Ran memilih meninggalkan kamar. Sebelum keluar Jian Ran terlebih dahulu mengecup kening anaknya.
Jian Chen memejamkan mata merasakan kecupan ibunya, terakhir kali ia dicium ibunya saat akan berangkat ke Akademi, itu juga adalah kecupan terakhir ibunya sebelum ia tak berjumpa lagi.
“Istirahatlah, Chen’er, jangan membuat ibu khawatir lagi…” Jian Ran tersenyum mengelus kepala anaknya sebelum bangkit dan pergi.
Setelah suara derap langkah ibunya menjauh, Jian Chen menyibakkan selimutnya sebelum bangkit ke arah jendela. Jian Chen membuka jendela itu, pandangannya tertuju pada langit-langit malam.
Jian Chen memikirkan tentang dirinya kenapa bisa kembali ke masa lalu, jelas fenomena ini adalah sesuatu yang banyak diinginkan oleh orang lain apalagi orang itu mempunyai banyak penyesalan dalam hidupnya seperti Jian Chen.
“Aku tidak tahu takdir apa yang memilihku seperti ini tetapi yang pasti, aku akan melindungi keluargaku dikesempatan kedua ini…” Jian Chen memantapkan hatinya dengan tekad kuat.
***
Selama beberapa hari ke depan, Jian Chen mematuhi apa yang ibunya inginkan yaitu tidak berlatih terlebih dahulu. Jian Wu juga ikut melarang anaknya dan tidak mau melatih selama Jian Chen masih sakit.
Jian Chen pun sebenarnya tidak keberatan malah ia terkesan menikmatinya, niat Jian Chen dari awal hanya ingin menghabiskan waktu bersama orang tuanya apalagi ibunya.
“Chen’er, apakah kau mau belajar memasak?” Jian Ran tersenyum lembut ketika tiba-tiba anaknya ikut ke dapur.
Jian Chen mengangguk. “Bolehkan, Ibu?”
“Tentu saja boleh, Sayang, kenapa harus tidak.” Jian Ran berjongkok untuk mengelus pucuk kepala anaknya. “Kamu memang mau belajar masakan apa? Sup? Kari?”
“Aku mau belajar dua-duanya...”
“Boleh, hari ini kalau bisa Ibu ajarkan semua masakan padamu.” Jian Ran tersenyum.
Jian Ran tidak setenang yang dilihat, pikirannya kalut oleh sikap anaknya yang beberapa hari ini banyak perubahan terutama karena Jian Chen selalu ingin dekat bersamanya.
Memang secara naluri seorang anak berusia 12 tahunan sepertinya wajar dekat dengan ibunya bahkan masih bermanja-manja, tetapi sikap Jian Chen awalnya tidak seperti itu.
Dibanding menghabiskan waktu bersama ibunya, Jian Chen lebih suka berlatih setiap hari, bekerja keras menjadi seorang pendekar kuat seperti apa yang sering dicita-citakan anaknya.
Hal ini berimbas dia tidak punya waktu berdiam diri di rumah apalagi menemani sang ibu, Jian Chen memilih menjadi seorang lelaki sejati seperti Jian Wu ayahnya yang seorang pendekar.
Jian Ran sendiri tidak memaksa keputusan Jian Chen menjadi apa kelak, entah itu seorang pendekar atau sarjana. Meski kalau boleh memilih ia ingin anaknya tidak masuk ke dunia persilatan yang berbahaya.
Saat Jian Chen masuk ke dapur dan ingin belajar memasak itu adalah sebuah fenomena langka, tidak mengherankan kalau Jian Ran bingung dengan perubahan sikap anaknya.
“Ibu, kita mulai belajar darimana?” Jian Chen sudah memegang pisau, membuat Jian Ran tersadar dari lamunannya.
“Mm… Bagaimana kalau kita membuat sup dulu?” Jian Ran buru-buru tersenyum, mengembalikan ekspresi.
Jian Chen mengangguk, “Baik, Ibu.”
Tentu saja Jian Chen menyadari apa yang dipikirkan ibunya hanya saja ia memakluminya karena tau sikap dirinya sekarang bukan Jian Chen yang dikenal ibunya.
Alasan kuat Jian Chen selalu dekat ibunya karena alasan sederhana, dia merindukan ibunya.
Jian Ran mulai mengajarkan setiap masakan yang dirinya bisa pada anaknya, dalam beberapa waktu alisnya sedikit berkerut karena bakat Jian Chen soal memasak jadi sangat tinggi.
Jian Chen seolah tahu setiap porsi bumbu yang dituangkan pada masakannya, setiap yang ia sendokan sangat tepat, perapian di tungku juga sesuai sehingga ketika Jian Ran menyicipinya matanya langsung melebar.
‘Ini benar-benar enak!’ Jian Ran seolah tidak percaya tetapi sadar kalau lidah tidak bisa berbohong.
Saat pasangan ibu dan anak itu di dapur tak lama Jian Wu datang karena aroma masakan Jian Chen begitu harum. Dirinya sedikit heran saat sampai karena ada Jian Chen, sesuatu yang jarang anaknya lakukan.
Menyadari suaminya datang Jian Ran langsung mendekatinya sambil membawa mangkuk, “Suamiku, coba cicipi masakan ini, kamu pasti menyukainya!”
Dahi Jian Wu sedikit berkerut tetapi menurut saja, ia melahap suapan Jian Ran sebentar sebelum mengangguk. “Enak, seperti biasa. Masakanmu selalu enak…”
“Tapi ini bukan masakanku…” Jian Ran menggeleng.
“Hm? Lantas siapa, apakah Chen’er yang memasaknya?”
“Ini memang buatan Chen’er.”
Jian Wu terbatuk pelan, “Ran’er, kamu selalu pandai dalam becanda di setiap kondisi…”
“Aku serius suamiku, Chen’er lah yang memasak!” Jian Ran menoleh pada anaknya yang masih mengaduk sup di panci. “Tadi Chen’er memang ingin belajar memasak tetapi dalam sekali coba masakannya hampir sama dengan masakan yang aku buat, bukankah ini bakat?”
Jian Wu terdiam, ia bingung harus menjawabnya seperti apa.
Sorot cahaya Jian Ran terlihat lebih terang seperti ada harapan yang telah tumbuh. “Hei, suamiku, bukankah kita dulu pernah bersepakat bahwa ketika anak kita berbakat disalah satu bidang maka kita harus mendukungnya.”
Firasat Jian Wu memburuk, dia sudah tahu arahan istrinya akan kemana.
“Sekarang…” Jian Ran melanjutkan. “Jian Chen ternyata berbakat di bidang masakan, ini berarti kita harus mendukungnya menjadi ahli masak. Bukankah bakat Chen’er pada pedang sangat bur…Maksudku masih kurang, alangkah baiknya dia jadi seorang koki dari pada pendekar.”
Jian Wu terbatuk pelan. “Kamu keliru, Ran’er. Perkembangan Jian Chen pada pedang sudah tumbuh sangat pesat, sekarang dia hampir bisa teknik pedangku!” Dengan terpaksa Jian Wu berbohong karena tidak ingin Jian Chen berubah aliran kearah apa yang diinginkan ibunya.
Mata Jian Ran menyipit curiga. “Jika dia berbakat di bidang pedang bukankah hari lalu dia tidak pingsan saat latihan?”
Jian Wu mulai salah tingkah lalu membela dengan fakta-fakta bohong lainnya, dirinya ingin sekali kalau Jian Chen menjadi seorang pendekar yang hebat.
Akhirnya kedua pasangan tersebut mulai berdebat merebutkan masa depan yang Jian Chen raih, antara ibunya yang ingin agar Jian Chen menjadi seorang koki atau ayahnya yang ingin menjadi seorang pendekar.
Jian Chen yang masih memasak terhenti lalu memandang ibu dan ayahnya yang malah bertengkar kecil. Ia tidak berusaha melerai karena dari dulu kadang seperti itulah keluarganya.
Jian Chen tersenyum merasakan kembali kehangatan keluarganya, sensasi yang sudah ia lupakan.
Sayangnya ada satu fakta yang tak bisa dihindarkan dari Jian Chen sekarang yaitu dia bukanlah anak dari orang tuanya yang sekarang.