Kehidupan Alexa dibuat berubah sejak kedatangan lelaki yang berhasil membuat setetes air matanya jatuh dipertemuan pertama mereka. Dalam kekosongan hidupnya, Alexa menemukan Elio lelaki yang mengubah segalanya. Bersama Elio, ia merasakan kebebasan dan kenyamanan yang tak pernah ia miliki sebelumnya. Meskipun banyak yang memperingatkannya tentang sisi gelap Elio, hatinya menolak untuk percaya. Namun, ketika sebuah peristiwa mengguncang dunia mereka, keraguan mulai merayap masuk, memaksa Alexa untuk mempertanyakan pilihannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhea Annisa Putri Sofiyan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Unraveled
Elio memberhentikan motornya diwarung pecel ayam lele dihadapannya. Mereka mengambil duduk dibangku yang tersedia.
"Kenapa ga langsung pulang aja sih Kak" protes Alexa pada Elio sedetik sebelum suara didalam perutnya terdengar berbunyi menandakan Ia sedang lapar.
"Kruyukkk..."
"Nah itu" ujar Elio seolah mengatakan alasan membawanya kemari.
Wajah Alexa berubah merah seperti kepiting rebus akibat menahan malu, Ia menundukan kepalanya tak ingin menatap kearah Elio.
Motor yang dinaiki keduanya berhenti didepan gerbang yang berbetulan dengan kedatangan mobil yang dikendarai oleh Axel. Axel turun dari dalam mobil berjalan kearah Alexa yang baru saja turun dari motor.
"Kak..Gue.." ucapan Alexa tertahan didalam mulut sebelum sempat Ia menjelaskan Axel menyela perkataannya.
"Masukk!.." ucap Axel
"Tapi.."
"Gue bilang masukk Alexaa!!!..." bentak Axel terhadapnya.
Alexa takut dengan Kakaknya Axel jika sudah marah seperti ini, maka dari itu Ia langsung mengikuti perintah Kakaknya itu.
"Gue ketemu sama Alexa didepan minimarket dekat tempat lesnya, salah Gue ga langsung bawa Dia pulang, jangan marahin Alexa" ujar elio menjelaskan situasi.
"Makasih udah anterin Alexa, Lo boleh pulang" usir Axel halus.
Axel kembali masuk kedalam mobil meninggalkan Elio sendirian didepan gerbang.
Menyalakan mesin motor Elio melaju meninggalkan kediaman Wijaya tersebut.
Axel mengikuti langkah kaki Alexa dibelakangnya, ingin mengutarakan pikiran yang mengganggunya belakangan ini.
"Lo ga dengar perkataan Gue yang bilang buat jangan dekat sama Elio?" tanya Axel mencegah Alexa membuka knop pintu kamar.
"Emangnya kenapa sih Kak?" Alexa sedang malas untuk meladeni ucapan Kakaknya tersebut.
"Dia ga baik buat Lo Lexaa.." tutur Axel mengungkapkan pandangannya.
"Lo gabisa atur sama siapa Gue berteman" ucap Alexa sebelum masuk kedalam kamarnya dengan membanting pintu.
Axel terdiam didepan pintu kamar milik Alexa. Menghela napas kasar sepertinya Ia harus mulai mengambil tindakan agar adiknya itu tidak makin dekat dengan sosok seperti Elio. Ia akan mulai menyusun rencana untuk menjauhkan hubungan keduanya.
Alexa kini sudah siap dengan seragam sekolahnya, diruang makan tak Ia dapati seseorangpun disana sepertinya Axel marah terhadapnya Ia jadi harus berangkat dengan supir hari ini.
Sebenarnya Alexa masih kesal dengan sikap Kakaknya yang mengatur agar Ia tidak boleh berkenalan dengan Elio itu. Kakaknya jadi seperti Papa dan Mamanya yang senang mengatur apa yang harus dirinya lakukan.
Sedari kecil Axel dan Alexa diperlakukan berbeda, Axel Kakaknya itu memang anak yang cerdas seringkali memenangkan berbagai macam lomba, bisa dilihat dari koleksi piala, sertifikat, dan medali yang menggantung disimpan dirak khusus didalam lemari kaca yang terpajang diruang tamu.
Kedua orang tua Mereka yang merupakan anak tunggal. Muda dan berbakat membuat Axel digadang-gadang penerus sempurna bagi keluarga Wijaya, ditambah fakta bahwa Ia merupakan cucu lelaki satu-satunya. Alex papanya sering membawanya untuk ke acara bisnis seolah memperkenalkan Axel sebagai calon pewaris bisnis keluarga.
Sedari kecil Axel sudah diikuti berbagai les yang diatur oleh Alex Papanya, Axel yang pintar beradaptasi seringkali membuahkan hasil seperti memenangkan lomba, ikut serta dalam olimpiade dan berbagai kompetisi lainnya. Papanya Alex menjadikan Axel sebagai sosok yang perlu ditiru bagi Alexa. Alexapun dimasukkan ke sekolah dan tempat les yang sama seperti Axel, tanpa mempertimbangkan pendapatnya, yang terpenting bagi kedua orang tuanya Ia bisa membanggakan dan seberprestasi Kakaknya itu.
Sementara Alana Mamahnya adalah mantan publik figur, yang kini sukses sebagai desainer terkenal yang merambah bisnis memiliki brand kecantikannya sendiri.
Alana Mamanya menempatkan Alexa dalam kekas tata krama, yang mengajarkan cara berbicara, berpenampilan, etika, sikap, dan bahasa tubuh yang tepat. Alana Mamanya memastikan agar Alexa tampil cantik kapanpun dan dimanapun.
Alana yang berkecimpung dalam dunia fashion mengajarkan Alexa tentang gaya busana, pakaian apa yang pantas dipilih dan dipakai. Selain itu, Alana mengatur pola makan Alexa, memastikan berat badannya tetap ideal, serta memperhatikan perawatan kulitnya. Ketika Alexa memasuki usia remaja dan mulai mengalami masalah kulit, membuat Alana lebih concern terhadapnya.
Terkadang Alexa muak dengan keluarganya itu, Ia juga mempunyai julukan yang Ia buat sendiri sebagai bahan olokannya yaitu "Keluarga A\+". Sempat terpikir dibenak Alexa jika kedua orang tuanya mengidap OCD.
Alexa terjebak diantara lautan siswi yang kini tengah memenuhi bangku tribun lapangan basket. Padahal niatnya tadi menghabiskan waktu jam pelajaran kosong dengan belajar diperpustakan. Tapi tarikan pada lengannya oleh Ghea temannya itu, yang menyeret paksa dirinya berada disini menonton pertandingan basket antara kelas 12A1 dan 12B2, guru olahraga menjadikan pertandingan sebagai penilaian akhir bab permainan bola besar. Dari tempat duduknya Alexa dapat menangkap beberapa wajah yang Ia kenali.
Di tengah lapangan, Axel menguasai bola. Matanya fokus menatap lawan, tubuhnya bergerak lincah menghindari setiap upaya blok dari lawannya. Keringat menetes di dahinya, namun ia tak peduli. Tangan kirinya menggiring bola dengan gerakan yang teratur, sementara tangan kanannya bersiap mengambil keputusan.
"Oper, Xel!" teriak Sean teman sekelasnya rekan satu timnya, yang berlari di sisi kanan lapangan, mencari celah di antara dua pemain lawan.
Namun, Axel tak bergerak. Ia melihat Elio mendekat dengan cepat. Sebuah tarikan nafas panjang diambil, lalu dengan gerakan yang hampir tak terlihat, ia melakukan crossover tajam, melewati Elio dengan satu lompatan gesit. Penonton terdiam sesaat, sebelum sorakan kembali memecah udara.
Sekarang hanya tinggal Axel dan ring di depannya. Dua langkah besar diambil, dan secepat kilat ia meloncat. Tangan kanannya menjangkau tinggi, menembakkan bola dari ujung jarinya dengan presisi sempurna. Bola melayang di udara, waktu seakan-akan ikut melambat sesaat.
"Bola masuk!" sorak riuh membahana ketika bola dengan mulus menembus jaring, menambah poin untuk kelas 12A1.
Axel mendarat dengan senyum tipis di wajahnya, sementara kakinya terasa ringan. Kawan-kawan timnya berlari mendekat, bertukar tos merayakan momen, memberi selamat atas aksinya yang berhasil mencetak skor.
Pertandingan masih berlangsung, suasana tegang terasa di udara. Skor kedua tim hanya terpaut dua poin. Elio menghapus keringat di dahinya dengan cepat, napasnya tersengal, tapi matanya tetap fokus. Ia berdiri di dekat garis tiga angka, menggenggam bola basket dengan erat. Di depannya, Axel seolah sedang mengincarnya menatap dengan intens, kedua tangannya terentang lebar, bersiap menahan gerakan Elio.
Suara sepatu yang bergesekan dengan aspal semakin keras seiring dengan waktu yang berjalan. Penonton di bangku mulai berdiri, sorakan dan teriakan yang didominnasi oleh para siswi GIS semakin nyaring. Guru olahraga Mr.Mario dari pinggir lapangan berteriak memberi arahan, tapi suaranya tenggelam dalam riuhnya antusiasme penonton.
Elio menatap ke arah kanan, di mana Calvin sudah siap untuk menerima operan. Tapi Axel seolah sudah mengetahui taktiknya. "Sialan..kayanya bakal lebih susah" pikir Elio. Dengan cepat, Elio mulai menggiring bola ke kiri, memancing Axel untuk ikut bergerak. Ketika Axel mulai mengikuti gerakannya, dalam sepersekian detik, Elio memutar tubuhnya dengan tajam ke kanan, melakukan crossover yang nyaris sempurna.
Tap! Tap! Tap! Bola memantul cepat di bawah kaki Elio, bergulir melewati Axel, membuatnya kehilangan keseimbangan. Penonton di tribun meledak dalam sorakan gemuruh, seolah mereka ikut merasakan ketegangan yang terjadi diarea lapangan.
Tanpa aba-aba, Elio langsung melesat ke depan, dengan kecepatan yang tak terduga, Ia mendekati ring. Waktu seakan melambat saat Elio mengambil langkah panjang terakhir. Ia melompat, tubuhnya melayang tinggi, hampir sejajar dengan ring. Jari-jarinya menyentuh bola dengan gerakan pelan Elio mendorong bola masuk ke arah keranjang.
Bola berputar disekitar ring. Hening meliputi lapangan, penonton ikut menahan napas. Mata Elio mengikuti pergerakan bola itu. Waktu terasa bergerak lambat. Dalam pikirannya, ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri.
Lalu, bola akhirnya jatuh. Swish! Suara jaring yang disentuh bola, bola masuk dengan sempurna. Skor berubah. Kelas 12B2 kini unggul.
Penonton meledak dalam sorakan gembira, sementara Elio mendarat dengan keras di lantai, mengatur napas. Tubuhnya gemetar, bukan karena kelelahan, tapi karena adrenalin yang mengalir dalam darahnya, memacu jantungnya bergerak lebih cepat. Bryan langsung menghampirinya, menepuk pundaknya keras.
"Gila..keren Lo!" teriak Bryan sambil tertawa lepas.
Elio hanya tersenyum tipis, pandangannya masih tertuju pada papan skor yang terus berubah. Pertandingan belum selesai. Ada beberapa detik tersisa. Tapi dalam hati, ia tahu, mereka sudah menang.
Alexa tersenyum puas bukan apa Ia tahu watak Kakaknya yang kompetitif, Axel pasti merasa Elio telah berhasil menyentil harga dirinya, ya Axel Kakaknya mempunyai ego yang tinggi.