Attention!! Lapak khusus dewasa!!
***
Vincent tanpa sengaja bertemu dengan Valeska di sebuah bar. Niat awalnya hanya untuk menyelamatkan Val yang diganggu laki-laki, namun akhirnya malah mereka melakukan 'one night stand'.
Dan ketika paginya, Vincent baru sadar kalau gadis yang dia ambil keperawanannya tadi malam adalah seorang siswi SMA!
***
Tolong bijak dalam memilih bacaan. Buat bocil gak usah ikut-ikutan baca ini, ntar lu jadi musang birahi!
Gak usah julid sama isi ceritanya, namanya juga imajinasi. Halu. Wajar saja kan? Mau kambing bertelor emas juga gapapa. :"D
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon agen neptunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Pihak Ketiga
Vincent kaget luar biasa ketika seseorang tiba-tiba mencium pipinya. Refleks, dia menoleh, dan siapa yang dia lihat? Megan. Dengan senyum super percaya diri dan aura yang too much to handle.
“Megan?” Vincent mengernyit, setengah heran, setengah kesal. “Ngapain kamu di sini?”
Megan hanya mengedikkan bahu santai, seolah baru saja melakukan hal paling wajar di dunia. “Kupikir ini takdir,” katanya sambil menaruh tas mahalnya di meja. “Tadi aku mau ke kantormu, terus di jalan lihat mobil kamu. Jadi, ya, kupikir kenapa nggak sekalian ngikutin kamu aja, kan?”
Tanpa menunggu persetujuan, Megan langsung duduk di sebelah Vincent. “Boleh gabung, kan?” tanyanya, kali ini matanya menatap Desta.
Desta hanya bisa mengangguk. Kalau boleh jujur, dia sebenarnya nggak terlalu suka dengan Megan. Bukan karena Megan jelek—jauh dari itu, cewek ini paket lengkap dalam urusan pesona. Tapi, buat Desta, Megan tipe cewek yang terlalu ambisius. Kayak punya rencana rahasia untuk menguasai dunia.
“Kalian udah pesan?” Megan membuka obrolan lagi.
“Udah,” jawab Desta pendek, sengaja nggak memberi ruang untuk basa-basi.
“Oh, oke.” Megan mengangguk kecil sebelum memanggil pelayan. Dia melirik menu sebentar lalu dengan nada manis memesan salmon sashimi, matcha latte, dan berbagai hidangan lain yang bakal bikin tagihan makin wow.
Vincent dan Desta hanya saling pandang. Tanpa kata, tanpa suara. Tatapan mereka cukup untuk menyimpulkan satu hal: Megan ini pengganggu. Sebuah hama sosial yang harus secepatnya dibasmi karena mereka masih punya topik serius yang nggak bisa didengar pihak ketiga.
“Oh iya, Vin.” Megan tiba-tiba memutar kursi sedikit, menatap Vincent dengan senyum tipis yang bikin leher Vincent langsung tegang. “Aku dapet laporan, tadi malam katanya kamu ada di bar.”
What the hell? Vincent melirik Desta dengan tatapan minta tolong.
Desta, untungnya sigap. “Iya, semalam emang gue sama Vincent ke bar,” jawab Desta santai, seolah fakta itu cuma hal biasa.
“Oh?” Megan mengangkat alis, jelas nggak puas dengan jawaban itu. “Terus, kenapa chat aku nggak dibalas, Vin? Kamu lagi sama siapa emangnya selain dengan Desta?” pancingnya dengan nada penuh selidik.
Vincent menegakkan punggungnya, mencoba menguasai situasi. “Nggak ada siapa-siapa. Gue cuma sama Desta,” jawabnya tenang, meski keringat dingin mulai muncul di pelipis.
“Tapi kenapa cuma dibaca doang?” tanya Megan lagi, kali ini dengan nada yang lebih tajam.
Vincent mulai risih. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan diri untuk nggak meledak. “Sejak kapan aku suka membalas chat kamu?” tanyanya dingin, menatap Megan dengan pandangan setajam silet.
Megan tersenyum kecil. “Jawaban yang tepat,” ujarnya pelan sambil kembali fokus pada sumpit yang baru dia genggam.
Vincent mengembuskan napas lega, meski dalam hati dia tahu drama ini belum selesai. Dari sudut matanya, dia bisa melihat Desta berusaha keras menyembunyikan senyum geli. Desta, kalau lo ketawa sekarang, gue nggak bakal bayar makan lo, pikir Vincent sambil melotot kecil ke arah sahabatnya.
Sementara itu, Megan kembali sibuk memainkan sumpitnya, pura-pura nggak peduli. Tapi Vincent tahu, cewek ini nggak pernah benar-benar berhenti mengawasi. Dan untuk siang ini, dia cuma berharap satu hal, semoga Megan nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi tadi malam antara dirinya dengan Valeska.
***
“Duh, enak banget. Seger, ya, kalau siang panas begini makan es krim di taman kota,” oceh Valeska sambil menyendok es krim stroberi susu vanila favoritnya. Senyumnya lebar, matanya berbinar, kayak anak kecil yang baru dikasih permen.
Sam mengangguk sambil menyendok es krim moka-nya, seperti biasa. “Next time, kita makan es krim di pantai, ya,” ujarnya santai, seolah-olah ngajak main ke pantai itu hal yang gampang banget.
Mata Valeska langsung membulat. “Beneran? Gimana kalau pas liburan semester? Soalnya sebentar lagi aku ada ulangan.” Suaranya penuh antusias.
“Setuju!” jawab Sam dengan mantap.
Valeska tertawa, semangatnya langsung naik 200 persen. Tapi momen santai itu terganggu ketika ponsel di saku celana Sam bergetar. Sam melirik layar ponselnya, senyum kecil muncul di bibirnya. “Val, bentar ya. Aku terima telepon dulu,” katanya sambil berdiri.
“Iya, nggak apa-apa,” sahut Valeska, meski matanya terus mengikuti Sam yang berjalan menjauh. Dari tempatnya duduk, dia bisa lihat jelas ekspresi Sam. Dan senyum itu. Lebar banget, kayak baru dapet kabar kalau dia menang undian berhadiah mobil.
“Telepon dari siapa sih? Kenapa happy banget?” gumam Valeska sambil terus menyendok es krimnya.
Nggak lama kemudian, Sam kembali duduk. Wajahnya masih berbinar, kayak abis dapet jackpot. Tapi dia nggak cerita apa-apa. Dia cuma bilang, “Habis ini aku antar kamu pulang, ya.”
Valeska mengangguk kecil. “Iya, boleh.”
Mereka makan es krim dalam diam. Tapi rasa penasaran Valeska makin besar. Akhirnya dia nggak tahan. “Sam,” panggilnya, berusaha terdengar santai. “Tadi telepon dari siapa? Kok seneng banget kelihatannya?”
Sam tertawa kecil, seolah pertanyaannya lucu. “Dari Yura,” jawabnya ringan.
“Yura?” ulang Valeska, memastikan dia nggak salah dengar.
Sam mengangguk. “Iya, teman SMA dulu. Keenan juga kenal kok.”
“Oooh.” Cuma itu respons Valeska. Padahal otaknya langsung jalan, ngumpulin informasi. Yura. Teman SMA. Cewek yang berhasil bikin Sam senyum lebar kayak gitu.
Dalam hati Valeska berjanji, Nanti pulang, gue bakal interogasi Keenan. Siapa sih Yura ini? Kenapa Sam sebahagia itu mendapat telepon darinya? Jangan sampai deh kalau ternyata Yura ini cewek yang spesial di hidup Sam. Gak mau!
***
Megan membuka pintu ruang kerjanya dengan keras, suara langkahnya terdengar tegas di lantai marmer. Tas mahalnya dilempar asal ke sofa, wajahnya masih menyiratkan kekesalan.
Sialan, Vincent! pikirnya.
Makan siang tadi jelas gagal total. Bukannya dapet perhatian dari Vincent, dia malah diperlakukan kayak tamu tak diundang. Vincent dan Desta itu sama. Mereka tidak welcome sama sekali kepadanya.
Seorang wanita berjas hitam—Agnes, asisten pribadinya—mendekat dengan amplop cokelat besar di tangan.
“Gimana?” tanya Megan dingin sambil duduk di kursi kerjanya yang empuk.
“Sudah, Miss Megan. Ini hasilnya,” kata Agnes seraya menyerahkan amplop itu.
Megan membuka amplopnya dengan cepat, menarik beberapa lembar foto dan flashdisk berisi rekaman CCTV. Dia langsung terpaku pada salah satu foto. Vincent sedang menggendong seorang gadis. Wajah gadis itu nggak terlalu jelas, rambut panjangnya menutupi sebagian besar wajah.
Mata Megan menyipit. Rahangnya mengeras. “Vincent … kamu mau main-main sama aku?” gumamnya, hampir seperti desisan ular berbisa. Dia meremas foto itu, tangannya bergetar. “Kalau kamu berani macam-macam, lihat saja. Aku nggak akan segan-segan menghancurkan kamu.”
Agnes hanya berdiri diam, menunggu instruksi selanjutnya.
“Agnes, cari tahu siapa cewek yang bersama Vincent tadi malam. Aku nggak mau ada yang terlewat. Mengerti?” suara Megan terdengar tajam, seperti pisau yang siap menusuk kapan saja.
“Baik, Miss Megan.” Agnes mengangguk hormat.
Megan bersandar di kursinya, menatap jauh ke depan. Senyumnya pelan-pelan muncul. Senyum yang penuh rencana licik.
***