Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lingkaran Persahabatan
Lingkaran pertemanan Rehan memang terbilang kecil. Hanya ada Aryo, Pak Seno, dan beberapa teman lainnya, termasuk Nisa. Nisa adalah teman Rehan yang paling sering menantang pandangan logisnya. Ia seorang mahasiswa jurusan psikologi yang cerdas dan cukup kritis, sering datang ke kos mereka untuk berdiskusi berbagai topik—dari psikologi manusia hingga pandangan hidup yang lebih filosofis. Rehan merasa nyaman berbicara dengannya, meskipun kadang kala pandangannya yang rasional bertubrukan dengan perspektif emosional Nisa.
Pada suatu sore yang cerah, setelah kuliah berakhir, Nisa datang ke kos mereka. Ia membawa secangkir kopi hitam, yang selalu ia bawa setiap kali datang untuk mengunjungi Rehan dan Aryo. Mereka bertiga duduk di ruang tamu kos, seperti biasa, dengan tema diskusi yang kali ini lebih mendalam.
“Rehan, lo sadar nggak, hidup lo itu kayak robot,” kata Nisa setelah beberapa menit hening, sambil menatap Rehan yang sedang duduk dengan santai di kursi dekat jendela.
Rehan, yang memang sedang memikirkan rumus fisika di benaknya, menoleh ke arah Nisa dengan tatapan kosong. “Gue nggak paham maksud lo, Nis,” jawabnya singkat.
Nisa menatapnya dengan tatapan tajam, seolah-olah ia sudah menyiapkan sebuah pertanyaan yang cukup berat untuk Rehan. “Gini, lo tuh jarang banget merasakan emosi yang sebenarnya. Semuanya lo pikirin secara logis. Lo nggak pernah coba merasakan sesuatu tanpa mikir panjang. Cinta, misalnya. Lo nggak pernah penasaran gimana rasanya jatuh cinta?”
Rehan terkekeh pelan. “Emosi itu hasil dari neurotransmitter di otak, Nis. Nggak ada yang spesial.”
Nisa memutar mata, agak kesal dengan penjelasan khas Rehan yang selalu kering dan rasional. “Lo itu nggak ngerti, ya? Cinta bukan soal logika. Cinta itu tentang rasa. Tentang perasaan yang nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata atau rumus. Lo pernah ngerasain nggak sih kayak gimana rasanya deg-degan pas lagi suka sama seseorang?”
Rehan berpikir sejenak sebelum menjawab, “Kalau gue penasaran, gue akan melakukan eksperimen. Tapi sejauh ini, nggak ada data yang cukup menarik untuk gue.”
Aryo, yang duduk di sebelah Rehan sambil menikmati makanan ringan, tiba-tiba ikut mencelah, “Ya ampun, lo berdua ini, nggak ngerti apa-apa soal cinta! Rehan, lo tuh kayak mesin, serius deh. Nis, lo ngerti kan, ini kenapa Rehan susah banget ngerti hal-hal kayak gini?”
Nisa hanya bisa menghela napas panjang. “Gue udah ngerti, Aryo. Makanya, gue coba kasih perspektif yang beda ke Rehan. Tapi dia tuh kayak... robot yang bisa ngomong, ya!”
Rehan tidak merasa tersinggung, malah ia merasa nyaman dengan cara mereka berdua mendekatinya. Meskipun banyak hal yang mereka bicarakan bertentangan dengan cara berpikirnya, ia tetap menghargai persahabatan ini. Lingkaran kecil yang terbentuk antara dirinya, Aryo, dan Nisa memberikan warna berbeda dalam hidupnya yang sering kali penuh dengan rumus-rumus fisika dan teori-teori rasional.
Bagi Rehan, hidup ini adalah sebuah algoritma yang harus dipahami dan diterapkan. Sejak kecil, ia selalu diajarkan untuk mengutamakan logika, menghitung segala sesuatu dengan presisi, dan mencari tahu bagaimana segalanya bekerja. Ia tidak pernah tertarik pada hal-hal yang bersifat emosional atau abstrak, apalagi tentang cinta. Baginya, cinta adalah sesuatu yang tak dapat dihitung dengan rumus atau diukur dengan metode ilmiah.
Namun, Nisa sering berusaha membuka perspektif Rehan, meskipun percakapan mereka sering berakhir seperti pertempuran antara logika dan perasaan. “Cinta itu lebih dari sekadar fisiologi otak,” kata Nisa suatu kali, “Ini tentang ikatan yang terjadi antara dua orang. Tentang bagaimana mereka bisa merasa nyaman satu sama lain tanpa perlu penjelasan panjang.”
Rehan hanya mengangkat bahu. “Gue nggak yakin, Nis. Gimana mungkin lo bisa percaya hal yang nggak bisa lo ukur atau lo buktikan secara ilmiah?”
Nisa tersenyum penuh arti. “Karena cinta bukan untuk diukur, Rehan. Cinta itu buat dirasakan. Walaupun nggak ada rumus pasti, tapi itu yang bikin hidup jadi lebih berwarna.”
Rehan menatap Nisa dengan tatapan penuh pertanyaan. “Jadi, lo yakin bahwa cinta itu ada tanpa harus dijelaskan? Itu cukup buat lo?”
Nisa mengangguk, senyum tipis di bibirnya. “Iya. Cinta itu emang nggak bisa diprediksi, nggak bisa dihitung, tapi itu yang bikin orang bertahan hidup, Rehan. Kadang, kita butuh perasaan itu. Bukan sekadar penjelasan ilmiah.”
Pernahkah Rehan merasa cemas? Takut? Atau bahkan khawatir akan sesuatu yang tak bisa ia kontrol? Tentu saja, ia pernah merasakannya, tetapi perasaan-perasaan tersebut selalu datang dan pergi begitu cepat. Bagi Rehan, emosi yang tak bisa dijelaskan hanya akan mengganggu kestabilan pikirannya. Itulah sebabnya ia lebih memilih untuk menjauh dari hal-hal yang tidak bisa dipahami dengan logika.
Namun, belakangan ini, ia mulai merasa ada yang berbeda. Ketika Nisa berbicara tentang cinta, entah mengapa, sesuatu dalam dirinya terasa menggema. Apakah itu rasa penasaran? Atau mungkin ada sedikit keraguan tentang pandangannya terhadap perasaan manusia? Ia sendiri tidak tahu pasti.
Suatu sore, ketika Nisa datang lagi untuk mengunjungi mereka, ia membawa beberapa catatan tentang psikologi manusia. Seperti biasa, mereka duduk bersama di ruang tamu kos, berbincang tentang teori-teori psikologi yang menarik. Rehan memperhatikan Nisa dengan seksama, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya mendorongnya untuk terus berbicara tentang perasaan manusia.
Nisa yang menyadari perhatian Rehan hanya tersenyum. “Gue tau lo pasti mikir, ‘Kenapa sih gue harus pusingin hal-hal kayak gini?’ Tapi menurut gue, lo perlu tau, Rehan. Emosi itu bagian dari kita yang nggak bisa diabaikan. Lo nggak bisa hidup cuma dengan logika dan angka doang.”
Rehan mengangguk pelan, mencoba menerima kenyataan bahwa, mungkin, hidup itu lebih dari sekadar rumus-rumus yang bisa dijabarkan. Terkadang, ada hal-hal yang harus dirasakan, bukan dipahami dengan pikiran.
Lingkaran pertemanan mereka, meskipun kecil, ternyata memberikan banyak pelajaran berharga. Aryo, yang penuh dengan semangat dan sering kali memberikan nasihat cinta meskipun dirinya sendiri belum pernah punya pacar. Pak Seno, dosen yang pelit tetapi bijak dalam cara yang unik. Dan Nisa, yang selalu menantang pandangan logis Rehan dengan cara yang lembut, mengingatkannya bahwa hidup bukan hanya tentang angka dan teori, tetapi juga tentang perasaan dan hubungan.
Rehan masih belum sepenuhnya bisa mengerti konsep cinta yang Nisa ajarkan padanya, tetapi ia mulai melihat sesuatu yang berbeda. Mungkin ia tidak akan pernah menjadi orang yang emosional, atau orang yang bisa jatuh cinta begitu saja. Namun, dengan teman-temannya yang saling melengkapi, ia mulai memahami bahwa kehidupan ini membutuhkan keseimbangan antara logika dan perasaan.
Malam itu, ketika Nisa kembali pulang, Rehan duduk termenung sejenak di ruang tamu kos. Ia menatap ke luar jendela, memandang langit malam yang luas dan penuh bintang. Tidak ada jawaban pasti mengenai apa yang membuat hidup itu berarti, tetapi satu hal yang ia tahu—persahabatan, meskipun sering kali penuh dengan perbedaan, selalu memberikan warna dan makna baru dalam hidupnya yang rasional.
Persahabatan mereka adalah lingkaran yang saling melengkapi, dan mungkin, itu sudah cukup untuk membuat Rehan merasa sedikit lebih hidup dari sebelumnya.