Laki-laki asing bernama Devan Artyom, yang tak sengaja di temuinya malam itu ternyata adalah seorang anak konglomerat, yang baru saja kembali setelah di asingkan ke luar negeri oleh saudaranya sendiri akibat dari perebutan kekuasaan.
Dan wanita bernama Anna Isadora B itu, siap membersamai Devan untuk membalaskan dendamnya- mengembalikan keadilan pada tempat yang seharusnya.
Cinta yang tertanam sejak awal mula pertemuan mereka, menjadikan setiap moment kebersamaan mereka menjadi begitu menggetarkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Evrensya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wanita Dari Masa Lalu (1)
Insting Devan berpusat pada suara yang terasa tidak asing baginya, dan juga sorot mata penuh keberanian yang lekat dalam ingatannya. Wanita ini sangat mirip dengan seseorang yang pernah di temuinya di masa lalu. Tapi apakah mungkin? Secara kasat mata, look mereka sangat jauh berbeda.
"Kenapa lama sekali menjawabnya!" Seru sang Boss besar sambil mencermati setiap detail dari objek wanita yang berpenampilan begitu aneh di depan matanya.
"Maaf," sahut Anna singkat.
"Coba ulangi sekali lagi, sebutkan nama mu dengan lantang!" Perintah sang Boss. Rupanya nama panjang Anna cukup menarik perhatiannya.
"Anna Isadora B!" Anna menyebut dengan begitu lugasnya.
"Ehem... Oke." Devan berdehem kecil. Anna Isadora B? Nama yang cukup unik dengan sebuah inisial di ujungnya. Adakah itu adalah sebuah kode rahasia ataukah keisengan si pembuat nama. Tapi itu tidak penting sekarang. Ada yang harus Devan pastikan terkait pekerjaan wanita ini. Devan penasaran alasan di balik kejutan yang luar biasa ini.
"Apa benar kau yang melakukan ini pada ruangan ku?" Tunjuk Devan mengarah kepada sisi kanannya.
Anna langsung mengakuinya. "Iya benar, Boss."
"Atas dasar apa kau sampai berani mengubahnya sesuka hatimu? Kau pikir ini rumahmu?" Devan mengintrogasi Anna seperti seorang detektif.
Matanya masih menancap dalam pada wajah oval wanita yang nampaknya begitu percaya diri ini. Rambut blondenya yang di kepang acak-acakan terlihat berbeda dengan poninya yang tebal, lurus. Bahkan warna hitam yang di hasilkan oleh cat rambut itu nampak telah pudar, memantulkan cahaya keemasan yang ada di balik warna asli rambutnya. Entah ini hanyalah ketelitian penglihatan Devan ataukah memang kenyataannya.
"Orang-orang selalu menggembosi saya dengan betapa tingginya penilaian anda terhadap segala sesuatu. Dan mereka mengatakan kemungkinan besar saya akan di pecat jika melakukan kesalahan kecil. Lalu ketika saya masuk ke ruangan ini dan melihatnya sendiri, iya memang benar anda memiliki selera yang sempurna, begitu banyaknya koleksi benda-benda mewah di padukan dengan teknologi tinggi menghias kamar ini dari ujung ke ujung. Tapi menurut saya penataannya sangat buruk, tidak ada kesan apapun selain nilai kemewahan nya saja. Lalu saya merubahnya menurut standar penilaian saya sendiri, dan itulah alasannya." Jawab Anna secara lugas tanpa merasa takut atau menyesal sedikitpun.
"Jadi begitu, apa ini adalah standar kesempurnaan yang kau miliki?" Devan berdiri tegap sambil terus menelisik penampakan Anna dari ujung kepala ke ujung kaki. Seolah tidak percaya seorang wanita yang nampak bodoh dan cupu ini bisa melakukan pekerjaan— dengan menggunakan standar kesempurnaan, persis seperti dirinya.
"Iya benar, saya berharap anda menyukainya," Anna sedikit menekan kepalanya ke bawah untuk memberi hormat.
"Bukankah kau terlampau percaya diri? Di tempat ini semua orang bertindak atas perintah ku. Perbuatan mu yang seperti ini, tidak kah kau merasa bahwa kau sudah lancang?!" Devan semakin menegaskan suaranya.
"Saya memang selalu percaya diri, karena saya pun merasa memiliki kemampuan. Sebab setiap kali saya melihat kekurangan dalam suatu hal yang menurut orang itu sempurna, sedangkan menurut saya tidak, maka saya bisa gila jika tidak me-replace ulang sesuai dengan standart saya sendiri. Walau itu nampak lancang, tapi saya bisa mempertanggung-jawabkan nya jika di minta." Jawab Anna dengan sorot mata yang lolos ke depan begitu saja, seolah sanggup menembus apapun yang ada di hadapannya.
Ah, sial! Mata hijaunya yang menatap Devan, membuat nafas pria itu tertahan sejenak. "Baiklah, aku akui keberanianmu." Tukasnya seraya mengalihkan pandangan, menghindari manik hijau Anna yang akan bertabrakan dengan manik birunya yang menyala.
"Terima kasih." Anna menekan kepalanya kebawah sekali lagi sebagai bentuk hormat.
"Tapi, apakah maksudmu seleraku ini rendah? Sehingga kau sengaja menantang ku dengan cara ini?"
"Mana berani saya selancang itu menilai anda, Boss. Entah mengapa saya justru merasa yakin bahwa, tatanan ruangan ini mungkin saja tidak sesuai dengan selera anda yang sesungguhnya."
"Apakah kau sedang menerawang ku seperti peramal? Apa yang aku suka dan tidak suka?" Devan diam-diam mengakui kecerdikan wanita ini.
"Tidak, itu karena saya meyakini standart penilaian Anda yang sempurna. Jadi, menurut saya seharusnya anda mengakui sekarang kalau look ruangan anda yang sebelumnya memang kurang mencolok dan agak kolot." Kali ini si wanita cupu itu benar-benar mengeluarkan kharisma yang kuat dari balik kepercayaan dirinya. Sama sekali tidak berlebihan, justru sangat memukau.
Devan masih tidak mau mengalah, walau kata-kata wanita di depannya ini seolah menangkap basah dirinya. Yang dia katakan memang betul 100%. Kalau bukan karena tekanan dari Ibunya yang meminta penataan ruangannya di urus oleh Revy— tunangannya, mana mungkin Devan membiarkannya.
"Btw, penataan ruangan ini di atur oleh tunanganku sendiri. Menurutmu, besok akan bagaimana reaksinya jika tahu ruangan ini berubah?" Pancing Devan lebih jauh.
"Itu, kita akan mengetahuinya besok." Anna memberikan jawaban yang sedikit acuh.
"Jadi, Devan masih dengan komitmen yang utuh, setia dengan hubungannya bersama tunangannya dahulu." Ah apa-apaan. Anna justru terpikirkan hal-hal yang tidak-tidak dalam situasi seperti ini. "Boss, jika anda lebih memilih mempertahankan tatanan ruang hasil karya tangan tunangan anda, maka saya siap di pecat detik ini juga."
"Jadi kau berencana untuk lari dari tanggungjawab?"
"Kemanapun saya pergi, anda pasti bisa menemukan saya."
Mendengar itu Devan malah terkekeh. "Oke, bagaimana kalau besok kau masih aku perkenankan bekerja disini demi sebuah pertanggung jawaban?"
"Tentu sesuai dengan keinginan saya."
Devan tersenyum kecil. Lalu berpindah dari tempatnya berdiri menuju singgasananya. Iapun langsung duduk untuk lebih santai menikmati percakapan yang sangat menarik ini. Sudah begitu lama Devan tidak bercakap-cakap sebegitu menggairahkan nya sedang seseorang.
"Kau! Kemarilah." Panggilnya dengan lambaian tangan. "Berdiri di hadapanku." Titahnya dengan jari telunjuk yang mengarahkan dimana posisi Anna harus berdiri.
Anna pun beringsut pelan ke samping dan berdiri tepat di depan meja kerja milik Devan. Kini jarak di antara mereka hanya terpaut satu meter saja.
"Besok tunanganku mungkin akan masuk bekerja. Jika dia tidak menyukai tatanan ruangan ini di ubah, apa yang akan kau lakukan?"
"Ya kembali kepada peraturan awal, saya siap di pecat." Jawab Anna mencoba untuk lebih santai walaupun ia sangat gugup.
Devan senang mendengar ucapan yang di penuhi oleh kepercayaan diri itu. "Jadi kau tidak takut ancaman? Bukankah itu terdengar terlalu sombong? Bagaimana kalau bukan hanya di pecat, tapi kau juga di tuntut dengan ganti rugi secara materi atau hukum?"
"Memangnya tuntutan seperti itu masuk akal? Saya sudah melakukan yang terbaik sesuai dengan keahlian saya. Dapat anda lihat sendiri kalau saya bekerja bukan asal-asalan. Jadi jika saya di pecat karena di anggap lancang, saya masih bisa menerimanya. Tapi jika tuntutan nya seperti itu, akan mencoreng nama baik anda sendiri. Sebab dalam kasus ini, hanya menyangkut soal etika, bukan kerusakan properti."
Well. Wanita ini memang luar biasa. Lupakan bagaimana penampilan nya. Kecerdasan nya, gaya bicaranya, pengetahuannya, semuanya sempurna. Dalam sekejap, mampu membuat sang Boss besar langsung tertarik padanya.
"Pembelaan dirimu cukup baik." Pujinya tipis-tipis, walau terkesan agak datar.
"Kalau begitu silahkan berikan keputusan anda, Boss. Sebab saya akan mencoba keberuntungan saya di tempat lain yang bisa memberikan ruang untuk menilai saya dengan lebih objektif— jika saya tidak di terima disini." Anna menggenggam erat jemari tangannya untuk menguatkan dirinya, agar tidak lemah oleh pertanyaan-pertanyaan yang mencoba menjatuhkannya.
"Kau merasa sangat hebat ya. Kalau begitu, mengapa kau melamar sebagai cleaning service bukan posisi yang lainnya?" Lagi-lagi Devan tak mau mengalah dan terus menekan Anna dengan berbagai pertanyaan.
"Saya kira, saya tidak perlu menjelaskan alasannya. Lagi pula, katakanlah yang sejujurnya, apakah tatanan ruang yang saya kerjakan ini sesuai dengan selera anda atau tidak. Sehingga saya tau bagaimana harus bertanggung jawab. Jika anda menginginkan saya untuk mengembalikannya dalam posisi semula seperti sebelumnya, saya pasti akan melakukannya. Dalam 10 menit, saya akan menyelesaikannya untuk anda."
Anna mengeluarkan sebuah statement yang benar-benar membuat pak Ali yang mendengarnya sampai bereaksi. Ia mengangkat kepalanya yang menunduk dan menegakkan tubuhnya seraya melihat ke arah Anna yang tak gentar. "Kau lancang sekali bicara dengan Boss seperti itu. Tunjukkan penghormatan mu saat bicara kepada atasan!" Seloroh pak Ali sambil menunjuk Anna yang enggan menoleh kepadanya.
"Pak Ali! Kau diam saja! Siapa yang menyuruhmu untuk menyela, ini bukan urusanmu." Sahut Devan. Seketika membuat pak Ali kembali pada mode semula.
"Kau, bukan itu masalahnya." Devan kembali menyambut ucapan Anna. "Bukankah dalam job desk yang kau terima hanya ada perintah untuk membersihkan, bukan melakukan perubahan sesuka hati. Apa kau tidak berfikir sebelum melakukan sesuatu? Meskipun aku menyukainya, tapi kau yang tidak tau batasan dan etika, harus di apakan? Kau ini, meminta maaf pun tidak." Devan bersikap seolah ingin terus memancing perdebatan ini supaya semakin panjang.
Anna menghembuskan nafas berat secara perlahan. Mencoba menetralkan emosi yang ingin meluap naik oleh sebab ranjau-ranjau yang sengaja di tebar sang Boss kepadanya.
"Boss, menurut saya pernyataan anda berputar-putar di tempat. Jika saya di katakan telah melanggar batasan, tapi mengapa disana tidak tertulis aturan tersebut secara jelas. Bukankah itu kelalaian dari pihak perusahaan, karena tidak menulis aturan dan larangan secara mendetail?"
"....."
"Jika menurut opini anda saya melanggar aturan, saya bisa membuktikan bahwa tidak ada pelanggaran yang saya perbuat. Saya bekerja sesuai prosedur yang tertulis. Namun jika anda merasa tidak puas dengan hasilnya, sedangkan saya siap bertanggung jawab, maka masalahnya ada pada karakter anda sendiri. Sebenarnya, itu tidak ada salahnya, sebagai CEO perusahaan tentu anda berhak membuat keputusan apapun."
Anna kembali menahan nafasnya yang tercekat. Orang yang dia hadapi sekarang sungguh berbeda dengan Devan yang polos pada 5 tahun yang lalu. Perkembangan yang begitu pesat hingga orang yang di lihatnya saat ini seperti orang yang berbeda. Rumor yang beredar itu ternyata benar adanya, sang Boss besar yang berhati dingin dan angkuh.
"Jadi menurut mu apa aku menyukai hasil kerjamu atau tidak?" Devan memberikan pertanyaan yang lebih menantang lagi, sebagai jebakan.
"Tidak masuk akal, untuk apa pertanyaan seperti itu di berikan padaku?" keluh Anna dalam hati. Devan, nampaknya sengaja mengujinya. Baiklah ladenin saja sampai titik dimana pria di depannya ini puas. "Menurut saya, anda sangat menyukainya, sangat-sangat menyukainya." Anna sampai begitu kesalnya hingga menekankan dalam kata-katanya.
Ia kembali melanjutkan. "Tapi sejak awal anda memberikan pertanyaan beragam hanya untuk menguji saya. Karna tidak ada celah kekurangan dari hasil kerja saya yang bisa anda nilai negative dari perspektif anda sendiri, sebab anda pribadi mengakui hasil kerja saya. Itulah mengapa anda mempermainkan saya menggunakan prasangka atas dasar penilaian tunangan anda, apakah saya salah?"
Sebuah tebakan yang tepat sasaran. O my God! I like it, girl! Okey fix! Devan mengalah dan akan mengakhiri perdebatan ini sekarang.
"Kau benar." Kepala pria itu mengangguk-angguk tak tentu. Ia sudah merasa puas, seperti mendapatkan sebuah piala oscar. Ocehan Wanita bernama Anna itu mampu mengisi ruang egonya sendiri yang selama ini kosong, ia sungguh membutuhkan seseorang yang sama gilanya dengan dirinya yang memiliki kecerdasan visual, verbal, dan juga logis. Yang artinya wanita ini bisa di andalkan, setara dengan dirinya. What amazing girl!
"Hah? Begitu saja? Apa Devan menyerah? Padahal aku baru saja mulai bersemangat." Anna bengong sejenak.
"Aku akan memberikanmu tugas yang lain," ucap Devan. Ia menghela nafas ringan karena masalah yang besar di pundaknya seketika luruh, terasa ringan baik di hati maupun pikirannya saat ini. Lagi-lagi celoteh yang tidak asing dan begitu masuk akal. Devan seperti menemukan gairahnya kembali, sesuatu yang benar-benar mampu menghidupkan jiwanya yang telah layu, persis seperti lima tahun yang lalu.
"Aku menantang mu. Nilai outfit ku dari skala nol sampai seratus." Devan tidak kehabisan ide. Karna sudah terlanjur basah, tertangkap niatnya hanya untuk menguji sosok wanita berpenampilan culun dengan manset hitam yang panjangnya menutup hingga pergelangan tangan. Jadi Devan sudah tidak tanggung-tanggung lagi memberikan tantangan.
Seketika bulu kuduk pak Ali berdiri tegak. Ini adalah hal gila. Sejak tadi percakapan yang ada di antara dua orang di depannya ini benar-benar tidak masuk akal. Logika pak Ali pun buntu untuk menyimak setiap kalimat yang terbuang begitu saja tanpa mampu menembus akal sehatnya. Lagi pula mana mungkin seorang Devan meminta penilaian soal penampilannya dari seorang pelayan rendahan yang kelihatannya bahkan tidak mengurus penampilannya sendiri.
"Menurut saya nilainya 60 per 100." Jawab Anna setelah menilai secara teliti setiap detail fashion dan aksesoris yang di gunakan oleh pria gagah di depannya.
Seorang pegawai rendahan begitu beraninya memberikan nilai rendah pada outfit yang di pakai oleh Boss nya. Bukankah itu artinya tantangan ini berubah menjadi peperangan? Bukannya berusaha mencari muka di hadapan CEO seperti yang biasa karyawan lain lakukan, Anna malah bertindak sebaliknya. Akan seperti apa reaksi CEO perfeksionis itu kali ini.
mampir di novelku ya/Smile//Pray/