Semua cintanya sudah habis untuk Leo. Pria tampan yang menjadi pujaan banyak wanita. Bagi Reca tidak ada lagi yang pantas dibanggakan dalam hidupnya kecuali Leo. Namun bagi Leo, Reca terlalu biasa dibanding dengan teman-teman yang ditemui di luar rumah.
"Kamu hoby kan ngumpulin cermin? Ngaca! Tata rambutmu, pakaianmu, sendalmu. Aku malu," ucap Leo yang berhasil membuat Reca menganga beberapa saat.
Leo yang dicintai dan dibanggakan ternyata malu memilikinya. Sejak saat itu, Reca berjanji akan bersikap seperti cermin.
"Akan aku balas semua ucapanmu, Mas." bisik Reca sambil mengepalkan tangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Rusmiati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meeting Dadakan
"Pagi Pak," sapa Leo saat berpapasan dengan Pak Alam.
Pak Alam membalasnya dengan senyuman dan anggukan kepala. Ada yang berbeda pagi ini. Mata Pak Alam terlihat sembab. Wajahnya semakin tidak bersemangat. Leo berpikir jika perusahaan akan tutup hari ini juga. Hal ini karena Pak Alam ke kantor menggunakan kaos dan sendal.
"Pak, dipanggil Pak Alam ke ruangannya." Seorang office boy menghampiri Leo untuk menyampaikan pesan Pak Alam.
"Ada apa ya?" tanya Leo bingung.
"Gak tahu Pak. Pak Alam gak ngomong apa-apa lagi sama saya," jawab office boy itu.
"Oke. Terima kasih ya," ucap Leo.
Saat office boy itu pergi, Leo menatap pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul sepuluh. Ada apa? Leo hanya punya dua kemungkinan. Antara memintanya kembali untuk menikahi anaknya atau memecatnya. Kalau kemungkinan pertama sudah pasti akan ditolaknya. Tapi kalau kemungkinan kedua, ia tidak peduli. Toh Reca juga sudah siap jika ia menganggur sementara ini. Lagi pula, dipecat atau tidak perusahaan juga sepertinya akan bangkrut.
Dengan pikiran yang masih menduga, Leo mengetuk pintu ruangan Pak Alam. Pria tua dengan kaos dan sendal yang menyita perhatiannya itu berbalik dan mempersilahkan duduk.
"Setelah makan siang, ada meeting. Tolong temui dia," ucap Pak Alam tiba-tiba.
"Meeting?" tanya Leo bingung.
Meeting apa ini? Kenapa laki-laki didepanku ini selalu saja bertingkah di luar prediksi? Apa yang harus aku lakukan? Seenaknya aja minta aku meeting dadakan begini. Mana gak tahu temanya lagi.
Ya, hari ini ada meeting dengan pemegang saham terbesar di perusahaan itu. Meeting ini sudah direncanakan dari jauh-jauh hari namun dipercepat oleh rekannya itu. Pak Alam sudah menduga kalau partnernya ini tahu keadaan perusahaan sedang memburuk.
"Kamu temui saja. Iya kan saja semua keinginannya. Paling dia mau tarik sahamnya. Kasih saja," ucap Pak Alam pasrah.
"Bapak yakin?" tanya Leo.
"Apa yang bisa aku lakukan kecuali itu? Saya sudah kehilangan power saya. Ara sudah mencoba bunuh diri lagi tadi malam. Di saat yang bersamaan Pak Haris meminta meeting dipercepat," jawab Pak Alam dengan nada yang lesu.
"Saya turut prihatin Pak. Tapi saya cuma kepala bagian di lapangan Pak. Apa saya pantas menemui Pak Haris?" tanya Leo.
Ya, sebenarnya ini bukan tugas Leo. Namun saat ini, orang-orang yang seharusnya bisa diandalkan oleh Pak Alam sudah mulai mundur satu per satu. Mereka yang paham alur perusahaan segera mengamankan diri sendiri. Tidak mempedulikan masa depan perusahaan.
"Pakai saja mobil perusahaan. Nanti ada sopir di depan," jawab Pak Alam singkat.
"Bukan begitu, Pak. Saya tidak percaya diri harus bertemu dengan Pak Haris," ucap Leo.
Pak Alam hanya tersenyum miris. Ia sudah tidak mau berdebat panjang. Di pikirannya tidak ada yang lebih penting dari Ara, anak semata wayang kesayangannya itu. Ia tidak peduli saat Leo mempertanyakan apakah Pak Haris akan tersinggung atau tidak. Baginya, Pak Haris pun hanya ingin mengambil sahamnya sebelum perusahaan benar-benar tutup.
"Kalau seandainya saham Pak Haris di perusahaan masih bisa dipertahankan, bagaimana Pak?" tanya Leo.
"Jangan berandai-andai akan hal yang tidak mungkin terjadi. Saya yakin kamu juga mengerti keadaan di perusahaan ini. Saya hanya berharap, kamu tetap di sini sampai semua selesai. Paling tidak, saya mau perusahaan ini tutup tanpa hutang pada siapapun. Tolong bantu saya kali ini aja ya," ucap Pak Alam memohon.
Leo menatap Pak Alam lekat hingga akhinya ia menganggukkan kepalanya tanda ia menyetujuinya. Seketika ia melihat bayangan Pak Mardi pada wajah menyerah Pak Alam. Leo membayangkan jika laki-laki tua itu adalah ayah kandungnya. Tidak ada lagi perjuangan untuk perusahaan saat ini. Fokusnya sudah hilang. Semangatnya sudah lenyap.
Seandainya Mba Ara sehat secara psikis, mungkin perusahaan tidak akan begini. Kalaupun keadaannya tetap begini, Mba Ara pasti akan berusaha mati-matian untuk tetap bertahan. Tidak menyerah seperti Pak Alam.
"Bapak mau kemana?" tanya Leo saat melihat Pak Alam pergi.
"Ke Rumah Sakit," jawab Pak Alam.
"Hati-hati Pak. Semoga Mba Ara segera sehat," ucap Leo.
Sehat? Mendengar kata itu, Pak Alam tersenyum tipis. Raganya mungkin saja bisa sehat karena sekarang ditangani dokter terbaik. Tapi jiwanya? Mentalnya hancur karena seorang laki-laki. Pak Alam lebih hancur sebenarnya. Ayah mana yang bisa kuat saat melihat anak perempuannya hancur hanya karena laki-laki yang dikenalnya beberapa tahun lalu?
Ayah bahkan menghabiskan semuanya untukmu Araku. Waktu ayah, pikiran ayah, cinta ayah. Tapi sekarang kamu habiskan waktu, pikiran dan cintamu hanya untuk laki-laki jahat itu. Apa kamu tidak bisa memberikan semua itu untuk ayah? Apa yang sudah laki-laki itu berikan untukmu, Nak?
Pak Alam terlihat menangis saat putrinya terbaring lemah dengan infus yang terpasang di tangannya. Selang oksigen juga terpasang di hidung Ara. Hatinya hancur sehancur-hancurnya.
"Pak, keadaan pasien sudah membaik. Saya sarankan pasien harus mendapat penjagaan ekstra. Saya khawatir akan terjadi hal yang tidak diinginkan," ucap dokter.
Pak Alam hanya mengangguk. Penjagaan seperti apa lagi yang harus dilakukannya. Ia sudah mencoba sebaik mungkin untuk proses penyembuhan Ara. Namun sepertinya Ara memang malah semakin parah.
Sudah terlalu larut. Pak Alam segera pulang ke rumah. Ia harus memastikan beberapa berkas. Ia menghitung uang perusahaan dan pembayaran karyawan untuk bulan ini. Bahkan Pak Alam berpikir jika bulan depan terakhir kali ia akan memberikan gaji. Bukan hanya gaji, mungkin juga dengan pesangonnya. Ah, dadanya sesak.
Perusahaan yang sudah lama dirintisnya kini harus berakhir pilu. Saat berkas sudah selesai di cek, kini Pak Alam mengecek ponselnya. Setelah memastikan Leo menemui Pak Haris, Pak Alam memang tidak membuka lagi ponselnya.
"Apa? Pak. Haris menambah sahamnya? Apa-apaan ini?" ucap Pak Alam dengan mata membulat.
Ingin sekali Pak Alam menghubungi Leo tentang hal yang terjadi. Namun sayangnya sudah jam dua malam. Dalam malamnya, Pak Alam menghabiskan waktu dengan pertanyaan yang tak bisa ia jawab dengan nalarnya.
Pagi ini, Pak Alam ketiduran. Rencananya untuk mencari tahu jawaban atas pertanyaannya sejak membuka ponsel itu harus tertunda. Sementara di kantor, Leo sudah menunggunya. Ketidakberanian Leo untuk menghubungi Pak Alam membuat keduanya belum ada komunikasi sama sekali.
"Leo ada?" tanya Pak Alam saat jam dua siang.
Ya, sejak pagi, Pak Alam baru bangun jam satu siang. Rasa lelah fisik dan beban pikiran yang berat membuatnya terlelap pagi tadi. Biasanya ia tak bisa tidur. Tapi kabar tentang Pak Haris yang menambah sahamnya membuat Pak Alam seolah menambah energi baru. Meskipun ia belum mengerti apa yang terjadi.
"Leo," panggil Pak Alam.
Leo yang sedang memantau karyawan pun segera menoleh. Mendekat dan mengulurkan tangannya. Tanpa menunggu lama, akhirnya ia pun mendengar pertanyaan yang sudah pasti akan ia dengar dari Pak Alam.
maaf ya
semangat