Menceritakan tentang gadis lugu yang kerap kali mendapat perlakuan buruk dari orang sekitarnya terutama keluarganya sendiri. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat berpulang yang nyaman justru bagaikan jeruji besi penjara bagi sang gadis. Dirinya diperlakukan bak tawanan di rumahnya sendiri.
Tiada baginya tempat bersandar walau hanya sejenak saja. Rasa letih kian menggebu dalam hatinya, rasa ingin membunuh dirinya begitu besar namun semua terhalang oleh impian serta besarnya dosa yang akan ia tanggung.
Hingga menginjak bangku sekolah menengah atas dirinya bertemu dengan lelaki dingin nan ketus yang menggedor pintu hatinya dan menjadikan dirinya seorang istri di usianya yang masih sangat muda.
🥀🥀🥀
Bagaimana kisahnya? Apakah lelaki itu akan membawanya keluar dari lubang penderitaan? Ataukah justru semakin membuatnya terpuruk ke dalam lubang yang sama?
Penasaran? Yuk, langsung baca. Jangan lupa vote dan comment-nya yaw. Happy reading^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhiya Andina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 24. Penyesalan Papa
...Hargailah apa pun yang kamu dapatkan meskipun tidak sesuai dengan eskpektasimu. Ingatlah tidak semua bisa kembali seperti semula dan penyesalan tiada lagi berguna...
...-Most Wanted vs Nerd Girl-...
***
Si sisi lain Ervan tengah duduk di atas kursi goyang sembari menekan beberapa angka di layar ponselnya. Lelaki dengan kumis melintang itu kemudian menekan icon telepon di sana.
"Hallo?" Terdengar suara berat dari arah seberang, Ervan yang mendengarnya lantas menyeringai membayangkan sekoper penuh berisi uang berwarna merah muda.
"Saya Ervan," balas Ervan singkat.
"Selamat sore, bagaimana? Apakah Anda sudah memutuskannya?" Suara dari seberang telepon terdengar jelas di telinga Ervan, lelaki paruh baya itu lantas menyunggingkan senyumnya.
"Ya, cepat kamu datang lalu kirimkan uang sesuai jumlah yang sudah saya kirimkan melalui pesan singkat. Saya tunggu." Mata Ervan tampak berbinar begitu bahagia dirinya akan kaya secara mendadak berkat menjual anak yang amat ia benci.
"Uang yang sangat sedikit. Apa Anda tidak berniat untuk menambahkannya? Hmm ... biar saya sendiri yang menambahkannya. Sekitar tiga puluh menit ke depan saya akan datang memberi Anda uang secara langsung saja dan saya akan mengambil Ratu hari ini," putus Raja dari seberang dengan suara beratnya yang khas.
"Baiklah," sahut Ervan sembari menutup teleponnya.
Tut.
Ervan berteriak memanggil nama Ratu, namun tidak juga mendapat balasan dari gadis itu. Mulai kesal, Ervan lantas menaiki anak tangga menuju kamar Ratu. Dibukanyalah pintu kamar Ratu yang tidak terkunci.
Sekali lagi ia memanggil nama Ratu dengan suara seraknya, akan tetapi tetap tidak ada sahutan dari gadis itu. Ke mana perginya gadis tidak berguna itu?
Ervan memperhatikan seluruh penjuru kamar Ratu, tidak pula ditemukannya keberadaan gadis itu. Ervan melirik pada jam tangan yang melingkar manis di tangan kirinya. "Pukul lima sore? Apa gadis pembawa sial belum pulang dari sekolahnya? pasti keluyuran tidak jelas dia, dasar tidak berguna!"
Ervan hendak menutup kembali pintu kamar Ratu, namun matanya tanpa sengaja terpaku pada sebuah kotak berwarna biru tua yang tergeletak di atas meja belajar Ratu.
Lelaki dengan kumis melintang itu lantas mendekat berupaya mengetahui isi dalam kotak itu. "Pasti dari cowok gadis pembawa sial itu. Jika memang benar akan aku buang."
Mata Ervan membelalak usai mengetahui isi dalam kotak tersebut. Ia mendudukkan dirinya di atas kursi belajar milik Ratu, kemudian ia memangku kotak itu. Ia tidak menyangka jika Ratu masih menyimpan piala serta sertifikat yang sudah ia rusaknya selama ini.
Tangan kekarnya meraih kepingan piala lalu membaca tulisan yang tertera di sana. Ia memperhatikan seluruh piala yang sudah ia lemparkan hingga hancur tanpa mengetahui piala apa yang berhasil Ratu raih.
Mata Ervan mulai berair, tidak lama air matanya menetes terjun dari pelupuk mata tajamnya. Dengan cepat ia mengusap dengan jempol kanannya. Ia tidak menyangka jika anaknya begitu berbakat, bahkan juara paling rendah ialah juara dua, yakni dalam Olimpiade Matematika.
Tiba-tiba saja otaknya mengalami flashback di mana kala anak semata wayangnya menyodorkan piala dan dirinya justru melemparkannya hingga hancur, bahkan sertifikatnya pun ia robek menjadi empat bagian.
Flashback on.
"Papa! Lihat, Ratu dapat piala. Ratu senang banget, Pa. Ratu nggak nyangka bisa menang!" seru Ratu kala dirinya menduduki bangku kelas tujuh Sekolah Menengah Pertama.
Ratu mendekati Ervan kemudian menyodorkan piala pertamanya. Ervan lantas meraih piala dari tangan Ratu dengan kasar. Tanpa membaca terlebih dahulu piala apa yang berhasil diraih oleh sang putri, Ervan lantas melemparkannya ke arah tembok hingga hancur.
Ratu yang mengetahui pialanya dihancurkan oleh sang Papa lantas berlari mendekati kepingan pialanya sembari mengusap air mata yang sudah membasahi kedua pipi tembamnya.
"Lihat! Apa semua ini!?" Ervan melemparkan buku raport ke arah Ratu, Ratu lantas menerimanya dengan tangan yang gemetar.
"A-apa ada yang salah sama rapot Ratu, Pa?" tanya Ratu dengan begitu gemetar.
"Saya ingin kamu mendapat nilai paling tinggi, kenapa kamu hanya bisa meraih peringkat kedua di kelas, hah!? Bahkan seangkatan kamu hanya bisa mendapat peringkat ketiga. Saya kecewa dengan kamu!" sentak Ervan.
"T-tapi, Pa. R-Ratu fokus untuk perlombaan ini, Pa. Ratu nggak mau ngecewain guru-guru di sekolah," lirihnya.
"Lalu kamu rela mengecewakan saya!? Hanya demi guru-guru kamu? Dasar anak pembawa sial! Sini kamu!" Ervan menyeret Ratu secara paksa membawanya ke kamar mandi.
Di sana ia lantas menyiram Ratu dengan air dingin. Tidak hanya sampai di situ saja, dirinya lantas menyeret paksa Ratu kemudian mendorongnya ke dalam gudang. Ia menguncinya semalaman tanpa mempedulikan gadis itu yang kedinginan bahkan tanpa memberinya makanan ataupun minuman.
Ia selalu melakukan hal itu apabila Ratu tidak mendapatkan peringkat pertama di kelasnya. Berulang kali Ratu menyerahkan piala kepadanya serta piagam penghargaan atas prestasinya, berulang kali pula dirinya melemparkan piala tersebut hingga hancur. Bahkan dirinya selalu merobek piagam penghargaan hingga menjadi beberapa bagian.
Flash off.
Kini dirinya menyesali atas perbuatannya. Ia terlalu membenci sang gadis yang bahkan tidak tahu akan kesalahannya. Hanya karena sang istri yang meninggalkan dunia lantaran melahirkan Ratu, dirinya lantas menganggap Ratu anak pembawa sial. Tanpa dirinya mempedulikan gadis malang itu sedikit saja.
Ia tidak menyadari jika anak yang selama ini ia anggap pembawa sial ialah anak pembawa keberuntungan untuknya. Di luar sana banyak orang tua yang mengharapkan memiliki seorang anak seperti Ratu, anak yang memiliki hati sangat mulia serta memiliki segudang prestasi dalam dirinya. Akan tetapi dirinya justru menyia-nyiakannya.
Ervan kembali mengusap air matanya yang menetes. Detik kemudian Ervan teringat jika dirinya sudah menjual Ratu pada Raja. Tidak. Ia tidak akan membiarkan Ratu menjadi milik Raja, ia tidak ingin dirinya kehilangan gadis seperti Ratu.
Penyesalan kian menyelimuti hatinya. Dengan tangan yang cekatan Ervan meraih ponselnya berusaha menghubungi Raja kembali berupaya untuk membatalkannya. Berulang kali Ervan mencoba menghubungi cowok itu, namun tidak kunjung cowok itu mengangkatnya.
"Ah, sialan! Kenapa pemuda itu tidak mengangkatnya? Apa yang harus aku lakukan agar Ratu tidak menjadi milik anak laki-laki itu?" Di tengah-tengah kebingungannya tiba-tiba saja ada seseorang yang membuyarkan lamunanya.
Sontak Ervan menoleh ke sumber suara mendapati seorang gadis tengah berdiri tidak jauh darinya. Ervan lantas meletakkan kotak berwarna biru tua itu ke tempat semula.
"Apa yang Papa lakukan di sini? Maaf, Pa, Ratu baru pulang. Papa jangan marah, segera Ratu akan memasak untuk Papa, Papa pasti sudah lapar," sahut Ratu sembari meletakkan tas di atas ranjangnya.
Ratu hendak berbalik, namun Ervan mencekalnya. Ervan lantas memeluk Ratu dengan eratnya membuat sang gadis mengernyitkan dahinya lantaran kebingungan. Seumur hidupnya dirinya tidak pernah mendapat pelukan dari Ervan, namun lihatlah sekarang.
Ervan memeluknya begitu erat sembari membelai rambut Ratu yang terurai dengan bebasnya. "Maafkan Papa, Sayang. Selama ini Papa selalu kasar kepada kamu, maafkan Papa yang selalu beranggapan kamu anak pembawa sial. Papa menyesal sudah memperlakukanmu seperti itu. Maafkan Papa," tutur Ervan.
Mendengar itu Ratu lantas membalas pelukan Ervan, air mata bahagianya kian menetes membasahi kedua pipinya. Rasanya ia tidak percaya dengan apa yang terjadi. "Nggak pa-pa, Pa. Ratu memang salah kok karena Ratulah penyebab kedua Mama Ratu meninggal. Maafin Ratu yang selalu buat Papa sedih dan udah misahin Papa sama Mama. Ratu minta maaf," cicitnya.
Hati Ervan semakin terasa perih. Selimut penyesalan kian menebal menyelimuti hatinya. Ia merasa tidak berguna dan ia merasa tidak pantas menjadi seorang Papa. "Tidak. Kamu tidak salah, Papa yang salah. Tidak seharusnya Papa memperlakukan kamu seperti itu. Papa menyesal, Papa gagal menjadi seorang Ayah. Maafkan Papa, Nak."
"Terima kasih, Papa. Papa, panggil Ratu sekali lagi. Ratu belum percaya Papa memanggil Ratu seperti itu, Ratu mau dengar lagi, Pa," pinta Ratu sembari menangis haru.
"Papa menyesal, Nak. Maafkan atas perlakuan Papa selama ini. Apa kamu bersedia memaafkan Papamu ini, Sayang?" tutur Ervan begitu tulus.
Ratu kembali memeluk Ervan merasa sangat bahagia. Ia tidak menyangka semua ini akan terjadi, tiada hentinya ia menangis haru karena Papanya. Rasa sakit yang selama ini ia rasa seolah menghilang karenanya. "Ratu selalu maafin Papa. Ratu juga minta maaf Ratu selalu merepotkan Papa dan selalu mengecewakan Papa. Ratu sayang sama Papa, hiks ...."
Ervan mengacak-acak puncak kepala sang gadis kemudian menciumnya singkat. "Papa juga sayang sama kamu, Nak," ungkap Ervan.
"Papa, katakan sekali lagi. Please," pinta Ratu dengan mata yang berbinar.
"Papa juga sangat sayang sama kamu, Nak," ulang Ervan.
"Terima kasih, Pa. Papa udah buat Ratu sangat bahagia," ungkap Ratu sembari tersenyum bahagia.
Ding ... dong!
Ding ... dong!
Terdengar bunyi bel rumah Ratu berbunyi, Ratu lantas melepaskan pelukannya dari Ervan. Ratu mendongakkan kepalanya menatap Ervan. "Papa, Papa tunggu di sini aja. Biar Ratu aja yang bukain pintunya."
Ervan mengangguk. Ratu lantas bergegas menuruni anak tangga dan membukakan pintu. Sudah lima menit berlalu, namun gadis itu belum juga kembali, Ervan lantas menyusul gadis itu menuju ruang depan.
Alangkah terkejutnya diri Ervan mengetahui siapa yang datang ke rumahnya. Seseorang itu ialah—
semangat...
ayo mampir juga dikaryaku /Smile/