Libelle Talitha, atau Belle, adalah gadis 17 tahun yang hidup di tengah kemewahan sekolah elit di Inggris. Namun, di balik kehidupannya yang tampak sempurna, tersembunyi rahasia kelam: Belle adalah anak dari istri kedua seorang pria terpandang di Indonesia, dan keberadaannya disembunyikan dari publik. Ayahnya memisahkannya dari keluarga pertamanya yang bahagia dan dihormati, membuat Belle dan ibunya hidup dalam bayang-bayang.
Dikirim ke luar negeri bukan untuk pendidikan, tetapi untuk menjauh dari konflik keluarga, Belle terperangkap di antara dua dunia. Kini, ia harus memilih: terus hidup tersembunyi atau memperjuangkan haknya untuk diakui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pacar Darwin
Darwin yang sedang duduk bersama Belle di sebuah kafe di pusat kota Manchester, tiba-tiba merasakan ponselnya bergetar. Ia melirik layar dan melihat nama Amanda, pacarnya yang ada di Indonesia. Sambil tersenyum kecut, ia mengangkat telepon itu.
"Amanda, sayang, apa kabar?" tanya Darwin dengan suara yang lembut, berusaha menjaga ketenangan.
Namun, suara di seberang telepon jauh dari tenang. Amanda terdengar kesal, bahkan mungkin sedikit marah. "Darwin, kau sudah tidak mencintaiku lagi ya?" ucapnya tajam. "Seharian penuh kau sibuk dengan Belle, dan aku kesulitan menghubungimu! Apa kau sudah lupa bahwa aku masih di sini, menunggumu di Indonesia?"
Darwin terkejut mendengar nada cemburu dari Amanda. "Apa? Amanda, tidak begitu," ia mulai menjelaskan dengan panik. "Aku hanya sibuk di sini, kau tahu kan? Manchester bukan kota kecil, dan aku baru saja tiba. Aku ingin menjelajahinya bersama Belle—"
"Ya, Belle!" Amanda memotong dengan nada yang semakin tajam. "Selalu Belle! Sepertinya dia lebih penting dariku. Kau bahkan tidak menjawab pesan-pesanku kemarin! Apa aku ini hanya cadangan buatmu, Darwin?"
Darwin menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya dan Amanda. "Sayang, tidak seperti itu. Kau tahu hubungan kita baik-baik saja, kan? Belle hanya teman baikku. Kami sudah lama tidak bertemu, dan aku hanya ingin memanfaatkan waktu ini bersamanya sebelum aku kembali ke Indonesia."
"Teman baik?" Amanda mengejek dengan nada penuh sarkasme. "Aku tidak percaya itu. Setiap kali kau menyebut Belle, kau selalu lebih antusias. Aku di sini, di Indonesia, menunggumu, sementara kau menikmati waktu bersama gadis lain di luar negeri."
Belle, yang duduk di seberang Darwin, bisa melihat perubahan di wajah temannya. Meski Darwin berusaha tetap tenang, ketegangan dalam percakapan itu semakin terasa. Ia meminum kopinya pelan, memberikan ruang kepada Darwin untuk menyelesaikan masalah dengan Amanda tanpa gangguan.
Darwin menarik napas panjang dan menjawab lebih tegas. "Amanda, dengarkan aku. Kau satu-satunya yang aku cintai. Belle hanya teman lama, tidak lebih. Aku tidak ingin membuatmu khawatir atau merasa ditinggalkan, tapi kau harus mempercayai aku. Ketika aku pulang, kita bisa bertemu dan bicarakan ini baik-baik. Jangan biarkan jarak membuat kita bertengkar seperti ini."
Amanda terdiam beberapa detik, namun suaranya tetap terdengar penuh kekecewaan. "Aku hanya takut kehilanganmu, Darwin. Jarak ini membuatku merasa kau semakin jauh."
"Aku mengerti," balas Darwin dengan lembut. "Tapi percayalah, aku tidak pernah berubah. Aku tetap mencintaimu."
Amanda menghela napas di ujung telepon. "Baiklah, Darwin. Aku akan mencoba lebih percaya. Tapi kau harus janji padaku, jangan abaikan aku seperti ini lagi."
Darwin tersenyum kecil, merasa sedikit lega. "Aku janji, Amanda. Maafkan aku, ya. Aku akan lebih sering mengabarimu. Aku tidak mau kita bertengkar karena hal kecil seperti ini."
"Baik," balas Amanda dengan nada yang sedikit lebih tenang. "Aku percaya padamu, Darwin. Jangan buat aku menyesal, ya."
Setelah percakapan itu berakhir, Darwin meletakkan ponselnya di meja dan menatap Belle dengan senyum tipis yang canggung. "Maaf, Belle. Amanda sedang cemburu karena aku terlalu banyak menghabiskan waktu bersamamu."
Belle tersenyum mengerti, lalu mengangkat alisnya. "Itu hal yang wajar. Jarak dan waktu memang sering memicu kecemburuan. Kau baik-baik saja?"
Darwin mengangguk. "Ya, aku baik-baik saja. Kadang aku lupa kalau berada jauh dari orang yang kita sayangi bisa membuat mereka merasa tidak aman."
Belle menyesap kopinya lagi dan berkata dengan tenang, "Aku harap semuanya bisa segera membaik untuk kalian berdua. Jangan sampai hubungan kalian rusak hanya karena kesalahpahaman."
Darwin tersenyum padanya, berusaha menghapus kekhawatiran yang tersisa di benaknya. Namun, di balik senyumnya, ada perasaan tidak nyaman yang tidak ia ungkapkan. Amanda, meski ia cintai, kadang membuatnya merasa terperangkap, dan hubungannya dengan Belle yang penuh kenyamanan malah terasa lebih alami.
Mereka berdua melanjutkan obrolan mereka, membicarakan rencana untuk sisa liburan di Manchester, tanpa menyadari bahwa takdir perlahan-lahan sedang mengarahkan mereka ke arah yang mungkin tidak pernah mereka duga sebelumnya.
***
Paula berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan syal yang melilit lehernya. Dengan raut wajah yang datar, ia menatap refleksinya untuk beberapa saat sebelum menarik koper kecilnya ke pintu. Draven duduk di tepi ranjang, menatap Paula tanpa banyak bicara. Ia tahu, meskipun Paula adalah tunangannya, hubungan mereka tidak sepenuhnya didasarkan pada cinta melainkan karena pengaturan keluarga.
Paula menatap Draven sekilas sebelum mengangkat alisnya, "Aku akan pulang duluan ke Indonesia. Ayah dan ibu sudah menungguku di sana, terutama setelah kejadian ini," ujarnya, dengan nada datar namun terdengar sedikit kesal.
Draven berdiri dan meraih koper Paula. "Aku akan mengantarmu ke bandara," ucapnya singkat.
"Aku tahu kau akan tetap di sini dengan teman-temanmu, jadi... nikmatilah waktumu. Jangan terlalu lama," sindir Paula dengan senyum tipis. Dia berjalan mendahului Draven keluar dari kamar hotel, tanpa menunggu balasan.
***
Sementara itu, Belle juga tengah bersiap-siap di asrama. Pagi itu terasa sedikit berat karena ia akan mengantarkan Darwin ke bandara. Mereka sudah menghabiskan beberapa hari bersama, dan Belle merasa perpisahan ini meninggalkan sedikit rasa hampa. Darwin adalah temannya sejak lama, dan sekarang dia akan kembali ke Indonesia, sementara Belle masih harus bertahan di sini.
"Sudah siap, Belle?" tanya Darwin yang muncul dari belakang dengan senyum lebar, mencoba meringankan suasana.
Belle menoleh dan tersenyum kecil. "Ya, siap. Ayo, kita berangkat sebelum terlambat." Mereka kemudian keluar dan memanggil taksi yang akan membawa mereka ke bandara.
***
Di bandara, suasana pagi itu sibuk seperti biasanya. Darwin berjalan berdampingan dengan Belle, membawa tasnya. Mereka bercakap-cakap ringan, hingga tiba di area keberangkatan internasional.
"Sungguh menyenangkan bisa menghabiskan waktu denganmu di sini, Belle. Terima kasih sudah menjadi tuan rumah yang baik," ucap Darwin sambil tersenyum.
Belle tersenyum kembali, meskipun hatinya sedikit berat untuk melepas kepergian temannya. "Aku juga senang bisa bersamamu di sini. Jangan lupa kabari aku kalau kau sudah sampai di Jakarta, ya."
Mereka berdua berjalan menuju gerbang keberangkatan. Saat hampir sampai, Belle tanpa sengaja melihat sosok yang tidak asing dari kejauhan. Draven, dengan postur tubuhnya yang tinggi, tengah berdiri tidak jauh dari gerbang yang sama, menemani Paula yang tampak sibuk dengan ponselnya.
Perasaan Belle bercampur aduk saat menyadari pertemuan tak terduga ini. "Draven?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Draven, yang mendengar namanya disebut, menoleh ke arah Belle. Dia tampak terkejut melihat Belle di sini, namun segera menyapa dengan anggukan kecil. Paula, yang menyadari perhatian Draven teralihkan, mengangkat pandangannya dari ponsel dan langsung melihat Belle. Ekspresi sinis langsung tergambar di wajah Paula, meskipun dia tidak berkata apa-apa.
"Darwin, kau ada di sini?" tanya Paula dengan nada tajam, berusaha menunjukkan otoritasnya dalam situasi tersebut.
Darwin yang berdiri di samping Belle tampak sedikit canggung, namun ia menjawab dengan sopan. "Ya, aku akan pulang ke Indonesia hari ini."
"Bagus. Semoga perjalananmu menyenangkan," ucap Paula, dengan senyum yang terlihat dipaksakan.
Draven tetap diam, matanya tetap pada Belle sejenak sebelum ia memutuskan untuk mengalihkan pandangannya. "Aku hanya mengantar Paula ke bandara," katanya, menjelaskan situasi meskipun Belle tidak menanyakannya.
Belle tersenyum tipis. "Ya, aku sedang mengantar Darwin juga."
Suasana di antara mereka sedikit kaku, namun Darwin dengan sigap mengalihkan percakapan untuk menjaga kehangatan. "Well, mungkin kita bisa bertemu lagi di Indonesia kalau ada waktu," ujarnya, mencoba membuat percakapan lebih ringan.
Paula hanya mendengus, tidak tertarik dengan percakapan itu. "Aku harus pergi sekarang, Draven. Jangan terlambat untuk kembali," ucap Paula tanpa menunggu balasan, sebelum berjalan menuju gate dengan langkah pasti.
serta jangan lupa untuk mampir di ceritaku ya❤️
ada beberapa kalimat yang masih ada pengulangan kata..
contoh kyk ini: Belle berdiri di jendela di bawah langit.
jadi bisa d tata struk kalimatnya;
Belle berdiri di tepi jendela, menatap langit Inggris yang kelam
atau bisa juga Belle berdiri di jendela, memandang langit kelam yang menyelimuti Inggris.
intinya jgn ad pengulangan kata Thor, dan selebihnya udah bagus