Meski sudah menikah, Liam Arkand Damien menolak untuk melihat wajah istrinya karena takut jatuh cinta. Pernikahan mereka tidak lebih dari sekedar formalitas di hadapan Publik.
Trauma dari masa lalu nya lah yang membuatnya sangat dingin terhadap wanita bahkan pada istrinya sendiri. Alina Zafirah Al-Mu'tasim, wanita bercadar yang shalihah, menjadi korban dari sikap arogan suaminya yang tak pernah ia pahami.
Ikuti kisah mereka dalam membangun rasa dan cinta di balik cadar Alina🥀
💠Follow fb-ig @pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 9. Perjanjian
Malam itu, Alina sedang duduk di depan meja rias, membiarkan rambutnya tergerai setelah seharian tertutup rapat di balik hijab dan cadar. Sesekali ia menatap bayangannya di cermin, mencoba menemukan sosok dirinya yang seolah memudar di balik segala luka dan beban yang ia rasakan. Namun ketenangan itu terganggu oleh ketukan keras di pintu.
Tok tok tok.
"Alina, buka pintunya," suara Liam terdengar dari balik pintu, suaranya tegas dan penuh tuntutan.
Alina terkejut, tangannya refleks meraih hijab yang tergeletak di atas meja. Jantungnya berdegup kencang, ia tidak mungkin membiarkannya masuk dalam keadaan seperti ini. Dengan cepat, ia mengenakan hijabnya dan mengencangkan cadarnya sebelum beranjak ke pintu.
Tok tok tok.
Ketukan itu semakin keras dan kencang.
"Sebentar!" seru Alina dari dalam kamar.
Alina drngan sigap meraih kenop pintu dan pintu pun akhirnya terbuka, memperlihatkan Liam yang berdiri dengan tatapan dingin. Liam melihat sekilas keadaan Alina yang baru saja siap. Ekspresinya tak berubah, tapi jelas ada nada ketidaksabaran dalam suaranya.
"Aku ingin kamu baca ini," kata Liam seraya, menyerahkan lembar kertas kepadanya.
"Ini peraturan dan perjanjian yang akan kita jalani. Mau tidak mau, kamu harus menerimanya."
Alina menerima dan menatap lembaran kertas itu dengan ragu,
"Apa ini,?" tanyanya pelan, tak mengerti maksud dari rencana suaminya.
"Ini perjanjian tentang bagaimana kita akan menjalani pernikahan ini," jawab Liam tanpa ekspresi.
"Aku tidak ingin ada kesalahpahaman atau ekspektasi yang tidak realistis dari pihakmu. Baca, lalu tanda tangani."
Alina membuka kertas itu dengan tangan yang sedikit bergetar. Matanya bergerak membaca isi perjanjian itu, dan semakin ia membacanya, semakin hatinya terasa tenggelam. Isinya dingin, tanpa rasa cinta atau kehangatan yang ia harapkan dari sebuah pernikahan. Semua aturan seolah dirancang untuk menjaga jarak, tidak ada sentuhan tanpa izin, tidak ada kedekatan emosional, dan bahkan kamar tidur tetap terpisah. Hanya kewajiban dan tanggung jawab formal sebagai pasangan, tanpa cinta yang pernah ia impikan.
"Kamu serius ingin kita menjalani pernikahan dengan cara ini? Kenapa harus ada perjanjian seperti ini, Liam?" tanya Alina, matanya beralih dari surat itu ke wajah Liam, mencari jawaban yang lebih manusiawi di balik sikap dinginnya.
Liam mengangguk singkat.
"Ini yang terbaik bagi kita. Aku sudah bilang dari awal, aku tidak ingin ada hubungan emosional antara kita. Kita hanya perlu menjalani tanggung jawab ini. Jadi, tandatangani saja dan kita bisa melanjutkan hidup."
Air mata hampir jatuh dari mata Alina, tapi ia cepat-cepat menahannya.
"Bagaimana bisa kau berpikir bahwa aku bisa hidup seperti ini? Apa menurutmu aku tidak punya perasaan?"
Liam menarik napas panjang, suaranya tetap datar.
"Ini bukan soal perasaan, Alina. Ini soal menjaga agar kita tidak terluka lebih dalam. Kamu mungkin tidak mengerti sekarang, tapi ini lebih baik daripada kita berpura-pura saling mencintai dan akhirnya kecewa. Aku hanya ingin kejelasan."
"Kejelasan?" Alina mengulang kata itu dengan getir.
"Ini bukan pernikahan, Liam. Ini seperti kontrak bisnis! Apa kau pikir aku tak pantas mendapatkan cinta dari suamiku sendiri?"
Liam tak bergeming, tatapannya tetap dingin dan tak tergoyahkan.
"Aku sudah jelaskan alasanku, dan aku tidak akan berubah pikiran. Kau bisa menandatangani ini, atau kau bisa memilih jalan lain. Tapi kalau kau tetap di sini, inilah caranya."
Alina merasa dadanya sesak, seperti tertimpa beban yang berat. Pilihan yang diberikan padanya seolah tanpa jalan keluar. Ia tahu, keluarganya berharap pernikahan ini berjalan baik. Ia tahu, jika ia pergi, harga dirinya dan keluarganya akan tercoreng. Tapi menjalani hidup tanpa cinta, tanpa kehangatan, seperti ini? Mampukah ia?
Dengan tangan gemetar, Alina mengambil pena di meja, pandangannya kabur karena air mata yang tak bisa ia tahan lagi. Tanpa suara, ia menandatangani surat itu. Setiap goresan pena terasa seperti mencoret harapan masa depan yang pernah ia bayangkan. Ia tahu, keputusannya sekarang akan menentukan masa depannya.
"Sudah selesai," bisik Alina pelan, menyerahkan kertas itu kembali kepada Liam.
Liam mengambilnya tanpa ekspresi, lalu melipatnya rapi.
"Bagus," katanya singkat, tanpa sedikit pun emosi di wajahnya.
"Mulai sekarang, kita menjalani peran masing-masing sesuai perjanjian ini. Tanpa perlu berharap lebih." katanya sebelum akhirnya berbalik meninggalkan kamar.
Pintu tertutup lagi, meninggalkan Alina sendirian, dengan hati yang terasa semakin dingin seperti malam itu. Di balik cadarnya, air mata Alina jatuh perlahan, tanpa suara.
...---...
Meski setiap aturan Liam terasa seperti rantai yang mengekang, dia tahu tak ada jalan lain. Dalam hati, dia sudah berjanji bahwa pernikahannya hanya sekali seumur hidup. Jika itu berarti harus menderita, maka dia akan bertahan, tak peduli seberapa beratnya.
Dia akan mengalah, mengikuti semua yang Liam inginkan untuk saat ini. Namun, Alina tidak akan selamanya tunduk. Lambat laun, dia akan menemukan caranya sendiri, membuat aturan yang akan memberi tempat bagi dirinya dalam hubungan yang dingin ini. Dia tidak akan menyerah begitu saja.
Dengan tekad yang diam-diam menguat, Alina menerima kenyataan pernikahannya. Meski penuh luka dan rasa terkurung, dia tetap memilih untuk bertahan. Dia percaya, pada akhirnya, perjuangannya ini akan menemukan titik terang.
"Jika ini yang dia inginkan, aku akan menurut. Tapi bukan berarti aku lemah. Ini hanya sementara .Aku mungkin harus mengalah sekarang, tapi suatu hari, aku akan membuatnya menghargai pernikahan ini."
“Aku rela menderita, asalkan aku bisa tetap menjaga janji ini. Aku tidak akan menyerah, tidak secepat ini. Meski aku tidak tahu seberapa lama aku bisa bertahan. Pernikahan ini adalah jalanku memperoleh pahala dan ibadah lebih besar, dan aku akan memperjuangkannya."
...[•••]...
Hari merangkak pagi. Pria tampan bermata elang itu keluar dari kamarnya dengan pakaian santai lalu menuruni tangga dengan langkah tenang.
Aroma roti panggang yang baru matang menyambutnya. Liam lalu melangkah ke dapur, Ketika sampai matanya tertuju pada sepotong sandwich di atas piring dan segelas kopi hitam yang mengepul di atas meja makan. Ia memandang sarapan yang nampak mengunggah selera itu dengan ragu.
"Apa Ini untukku?" pikirnya, sementara ruangan di sekitarnya tampak sepi.
Pandangannya beralih keluar jendela, dan di sanalah ia melihat Alina. Wanita itu tengah berjongkok di kebun kecil belakang rumah, sibuk mencabut rumput liar yang tumbuh lebat. Wanita bercadar itu nampak fokus seolah larut dalam pekerjaannya. Liam menatapnya dari kejauhan, tak berkata apa-apa, hanya mengamatinya dengan tatapan datar.
Liam berusaha mengabaikan Alina yang sibuk di luar, dan dengan santai menarik kursi untuk menikmati sarapan. Di hadapannya, sandwich buatan Alina tampak sederhana, namun begitu menggoda. Saat ia menggigit potongan pertama, lidahnya segera disambut dengan rasa yang gurih dan wangi, lebih istimewa dari yang biasa ia makan.
Setelah itu, Liam mengambil cangkir kopi hitam yang aromanya begitu kuat. Dengan hati-hati, ia meniup uapnya sebelum menyeruput perlahan. Seketika, matanya memicing, hampir tersedak oleh rasa yang tak diduganya.
Kopi itu, dengan cita rasa khas yang tak biasa, membuat Liam terdiam sejenak. Rasa yang jauh melampaui harapannya, terlalu sempurna untuk sesuatu yang sederhana.
Dia menyandarkan tubuhnya, menatap kosong ke gelas kopi pikirannya dipenuhi pertanyaan. Bagaimana Alina bisa membuatnya? Bagaimana cara dia meracik kopi yang terasa begitu istimewa ini? karena seingat Liam ia hanya membeli bubuk kopi yang biasa ia minum tapi rasanya tidak sesempurna ini.
Liam menghela nafas lalu mengusap mukanya,
"Kenapa aku jadi memikirkan sesuatu yang tidak berguna?"
Liam menoleh ke arah jendela dan memperhatikan gerak gerik Alina, dia lalu bangkit dari kursi dan melangkah dengan mantap ke arah taman, tatapannya dingin seperti biasanya.
Dari kejauhan, ia melihat Alina sibuk mencabut rumput liar di sekitar bunga-bunga yang mulai mekar. Sesaat ia hanya berdiri, menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Lalu, tanpa basa-basi, ia membuka mulut.
"Kenapa kau di sini?" suara Liam terdengar rendah tapi tegas, tanpa sedikitpun kelembutan.
Alina menoleh, terkejut dengan kehadirannya.
"Aku hanya membersihkan taman. Rumputnya sudah terlalu panjang," jawabnya dengan hati-hati, berusaha menahan rasa jengah melihat sikap Liam yang selalu arogan.
Liam mendengus pelan, melipat tangannya di dada.
"Kau tak perlu repot melakukan hal yang tidak penting seperti ini. Kita bisa menyewa tukang kebun kalau itu masalahnya."
Alina terdiam sejenak, menunduk kembali ke rumput di tangannya. "Aku hanya ingin membantu," gumamnya.
"Tidak ada gunanya," potong Liam tajam.
"Fokus saja pada tugasmu yang lain, Alina. Jangan sibukkan dirimu dengan hal-hal sepele. Aku tidak membutuhkan istri yang sok sibuk untuk terlihat berguna."
Kata-kata Liam terasa seperti pukulan. Alina menelan ludah, menahan rasa sakit yang membuncah dalam dadanya, tapi ia tak mengatakan apa-apa. Sadar bahwa membalas hanya akan memperpanjang ketegangan.
"Jadi, berhenti bermain-main di sini," Liam menambahkan dengan nada angkuh sebelum berbalik dan melangkah pergi tanpa menunggu jawaban. Suasana taman yang tadi tenang kini terasa berat, seperti tercekat oleh ucapannya yang tajam.
...[••••]...
Bersambung...
ayo la firaun, ad yg halal gk usah lgi mikiri msa lalu yg gitu2 az. mncoba mengenal alina psti sangt menyenangkn krna dy wanita yg cerdas. semakin k sini alina akn mnunjukn sikp humoris ny dn liam akn mnunjukkn sikap lembut walau pn msih datar.
haaa, liam dengar tu ap kta raka. smga raka, kau memg sahabt yg tulus y raka. cuci trus otak liam biar dia meroboh degn sendiriny benteng tinggi yg ud dy bangun.
doble up kk😄
gitu dong alina, gk usah sikit2 nangis
sok cuek, sok perhatian. liam liam, awas kau y 😏
lanjut thor.