"Pergilah sejauh mungkin dan lupakan bahwa kau pernah melahirkan anak untuk suamiku!"
Arumi tidak pernah menyangka bahwa saudara kembarnya sendiri tega menjebaknya. Dia dipaksa menggantikan Yuna di malam pertama pernikahan dan menjalani perannya selama satu tahun demi memberi pewaris untuk keluarga Alvaro.
Malang, setelah melahirkan seorang pewaris, dia malah diusir dan diasingkan begitu saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Posesif Layaknya Seorang Suami
"Ehm!"
Suara dehaman Rafli membuat Arumi dan lelaki di sebelahnya menoleh. Arumi langsung menundukkan pandangan. Antara ragu dan takut.
Setelah melakukan penyamaran dan berusaha membawa pergi Aika, dia yakin bahwa Rafli sangat marah dan mungkin kali ini akan memenjarakan dirinya. Bagaimana pun juga Arumi masih ingat dengan ancaman empat tahun lalu. Rafli memberi pilihan keluar negeri atau penjara.
"Syukurlah, kau sudah siuman." Kalimat itu menjadi pemecah kebekuan.
Tetapi, Arumi sama sekali tak menyahut.
Alex, lelaki yang duduk di sebelahnya menatap Rafli penuh tanya. Belum mengetahui siapa laki-laki yang tiba-tiba masuk ke ruangan. Karena saat ini Rafli hanya mengenakan kemeja lengan pendek, tanpa jas putih seperti dokter biasanya.
"Maaf, Anda siapa?" tanya Alex.
"Aku adalah dokter yang menangani Nona Arumi. Aku mau memeriksa keadaannya."
"Oh maaf. Kalau begitu silahkan." Meskipun merasa dokter di hadapannya itu sangat ketus, namun Alex tetap menggeser posisi. Sekarang ia berdiri di samping tempat tidur.
Sementara Rafli langsung mendekat dan memeriksa kondisi Arumi. Ia juga memeriksa beberapa bekas jahitan di sekitar tubuh yang mulai kering. Arumi masih diam dan membiarkan Rafli menyentuh beberapa bagian tubuhnya. Sebab ia masih merasa lemas. Duduk bersandar pun belum bisa.
"Kau ada keluhan atau ada yang masih sakit?"
"Tidak!" jawab Arumi singkat.
"Bagaimana dengan ini? Apa ini sakit?" Menekan lengan yang tampak kebiruan akibat benturan saat kecelakaan.
"Tidak juga."
Sesekali Arumi memberanikan diri mencuri pandang. Sikap Rafli masih sama seperti sebelumnya. Sangat dingin. Hal yang membuatnya mengira bahwa Rafli benar-benar sedang marah dan akan melaporkannya ke polisi setelah keluar dari rumah sakit nanti.
Tetapi, Arumi memutuskan akan menghadapi Rafli dan tidak tunduk seperti dulu lagi. Biarkan saja Rafli melaporkannya. Bukankah sebagai seorang ibu ia juga berhak atas putrinya?
"Semuanya normal. Tinggal beberapa luka belum sepenuhnya kering."
Alex tampak bernapas lega. "Jadi kapan dia bisa pulang, Dokter?"
"Belum bisa dipastikan. Nona Arumi masih harus berada dalam pantauan dokter."
"Baiklah, Dokter. Terima kasih sudah melakukan yang terbaik untuknya." Alex tersenyum ramah.
"Sama-sama."
Rafli melayangkan tatapan penuh selidik. Lelaki menyebalkan itu layaknya seorang suami yang sangat posesif terhadap istrinya. Lihatlah, betapa dia sangat memperhatikan Arumi.
Tunggu! Apa jangan-jangan dia adalah pacar atau tunangan Arumi? Atau lebih buruk lagi suaminya?
Tidak! Rafli berusaha untuk tidak larut dalam pikiran konyolnya sendiri. Ingin bertanya dia siapa, tetapi sedikit ragu. Akhirnya ia pendam pertanyaan menggebu itu di benaknya. Akan ia selidiki pelan-pelan dengan memanfaatkan Osman.
"Arumi, apa kau butuh sesuatu yang lain lagi?" tanya Alex kepada Arumi, lalu kembali duduk di tepi ranjang pasien.
"Tidak, terima kasih, Alex. Aku merasa lebih baik."
Melihat di antara keduanya, Rafli menarik napas dalam demi mencukupi kebutuhan oksigen dalam paru-parunya.
Kedua tangannya terkepal sempurna. Ingin rasanya Rafli memberi suntikan tetanus tepat di bok*ong laki-laki itu agar tidak duduk di sisi Arumi.
Setelah beberapa saat, Alex menatap Rafli dengan sedikit heran, sebab sang dokter tak kunjung keluar dari ruangan itu, padahal ia telah selesai melakukan tugasnya memeriksa Arumi. Alex sempat menatap Arumi seolah meminta jawaban, namun Arumi hanya memberi respon dengan mengangkat bahu.
"Maaf Dokter, apa ada sesuatu hal yang lain lagi?"
"Tidak! Hanya saja pasienku membutuhkan banyak waktu untuk istirahat. Apalagi dia baru siuman setelah beberapa hari kritis."
Ucapan Rafli yang seolah mengusir membuat kerutan di dahi Alex semakin dalam. Sadar situasi, ia melirik jam di tangan. "Baiklah, sepertinya aku harus pergi. Aku masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan."
"Terima kasih sudah datang ke sini, Alex. Aku merasa lebih baik."
Alex hanya tersenyum, lalu kembali membelai rambut Arumi. "Aku akan datang lagi nanti."
"Baiklah, hati-hati."
Rafli yang berdiri di belakang merasa perannya sekarang seperti obat nyamuk. Arumi bahkan tak meliriknya sama sekali.
Setelah Alex keluar dari ruangan, ia kembali menatap Arumi. Sementara Arumi terpaku di tempat.
"Oh ya, Arumi. Aku lihat kalian sangat dekat. Dia siapa?"
"Alex." Arumi menjawab acuh tak acuh, membuat Rafli menipiskan bibirnya gemas.
"Aku tahu namanya Alex. Maksudku dia siapamu?"
Arumi terdiam beberapa detik, lalu menjawab,
"Apa penting bagimu untuk tahu dia siapaku?"
Mendadak Rafli merasa kesulitan meraup udara. Selama mengenal Arumi, tidak pernah satu kali pun ia bersikap judes seperti sekarang.
Selama satu tahun bersama, Arumi selalu bersikap lembut. Hal yang membuat Rafli begitu mudah takluk dan menyerahkan hatinya tanpa sisa.
...****...