[Update tiap hari, jangan lupa subscribe ya~]
[Author sangat menerima kritik dan saran dari pembaca]
Sepasang saudara kembar, Zeeya dan Reega. Mereka berdua memiliki kehidupan layaknya anak SMA biasanya. Zeeya memenangkan kompetisi matematika tingkat asia di Jepang. Dia menerima hadiah dari papanya berupa sebuah buku harian. Dia menuliskan kisah hidupnya di buku harian itu.
Suatu hari, Zeeya mengalami patah hati sebab pacarnya menghilang entah kemana. Zeeya berusaha mencari semampu dirinya, tapi ditengah hatinya yang terpuruk, dia malah dituduh sebagai seorang pembunuh.
Zeeya menyelidiki tentang masa lalunya. Benarkah dia merupakan seorang pembunuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 | Anak Aneh
“… baik, bimbingan hari ini cukup sampai di sini.” Pak Kurnia meninggalkan kelas yang hanya berisi tiga orang itu.
Aku yang tidak sabaran ini melayangkan pertanyaan pada salah satu orang di kelas ini, “Satya, bagaimana dengan permintaanku kemarin?”
“Permintaan?” Satya berpikir sambil menyelesaikan catatannya yang belum selesai.
“Kemarin kamu bilang bisa melacak keberadaan pacarku lewat nomor teleponnya.”
“Oh, itu! aku berhasil melacaknya, tapi sepertinya lokasinya berada di luar negeri. Sangat sulit bagiku untuk menembus akses masuk ke sana …”
Dela menyahut, “ini bukan waktunya untuk berpacaran, tau!” dia menyenggol badanku saat hendak keluar kelas.
“Ih, apaan, sih! Nggak jelas banget itu orang!” aku menggerutu kesal.
Satya bangkit dari duduknya, “Zeeya, aku duluan.” Satya juga keluar kelas.
Kini tinggal aku sendirian di kelas yang memang ditempati khusus untuk bimbingan Olimpiade. Sebab berada di lantai dua yang masih dalam tahap renovasi, suasananya sepi sekali. Cocok bagi kami yang harus ekstra berkonsentrasi.
Tok, tok, tok!
Ada yang mengetuk pintu. Sejak kapan ada orang yang mengetuk pintu saat memasuki ruang kelas? Sungguh kebiasaan yang jarang dilakukan.
“Zeeya!”
Aku dikagetkan dengan seseorang yang memanggilku. Aku menghampiri sumber suara itu. Di depan pintu tampak seorang laki-laki berdiri menungguku.
“Ternyata kamu, Ree. Masuk aja, nggak ada orang kok. Temani aku mencatat materi ini.” Aku mengajak Reega untuk masuk.
Kulihat raut wajahnya tampak pucat. Tidak biasanya dia masuk sekolah di saat sakit begini.
“Kamu sakit, Ree?” aku memegang dahinya untuk mengecek suhu.
Reega menepis tanganku, “tidak kok”
“Oh, ya udah.” Aku Kembali meneruskan materi yang harus kucatat.
Reega duduk di bangku sampingku. Dia hanya terdiam, pandangannya tak berhenti memperhatikanku. Aku cepat-cepat mencatat materi itu sampai selesai supaya aku bisa segera mengobrol dengannya.
“Kamu tau nggak, Ree? Surat yang aku temukan di loker beberapa hari ini mungkin ada hubungannya dengan sekolah kita dulu …”
“Oh ya?”
“… aku menemukan berita tentang tewasnya siswi SMP, murid sekolah kita. Tapi aku tidak ingat bagaimana kejadiannya. Kamu masih ingat?” tanyaku.
“Tidak. Aku tidak ingat apa pun sama sekali.”
“Aku juga. Apa kita berdua terkena Alzheimer, ya? Padahal kita masih remaja. Semakin berusaha mengingat, kepalaku semakin pusing …”
Krek …
Pintu terbuka untuk kedua kalinya. Satya Kembali ke kelas dengan tergesa-gesa.
“Kok balik lagi, Sat?” tanyaku pada Satya.
“Tempat pensilku ketinggalan …” katanya sambil menunduk ke bawah bangku yang tadi dia tempati.
“… huh! Pakek jatuh segala lagi.” Satya mengambil tempat pensilnya yang terjatuh, “kamu nggak ke kantin, Zee? Jam istirahat sudah habis, sih. Tapi kita dikasih kompensasi buat jajan di kantin sama Pak Kurnia.”
“Nggak ah! Kalau ke kantin, paling ketemu sama si Dela jutek itu. Malas aku,” jawabku ketus.
“Udah lah, Zee. Lagian dia sedang berusaha mati-matian buat nyumbang prestasi di sekolah ini. Buka kaya kamu yang sering bolos pelajaran, tapi nilaimu tetap bagus. Mungkin itu yang ngebuat Dela iri sama kamu,” kata Satya.
Aku menghentikan tanganku yang sedang menulis lalu menatap tajam ke arah Satya, "kok, kamu tau aku sering bolos?"
"Tau aja lah, Hansel yang sering cerita. Kamu memang anak yang aneh. Dela pasti nggak suka sama kamu karena itu."
“Masa?” aku menyipitkan mataku, tak percaya oleh perkataannya.
“Iya. Dia cuma merasa tersaingi aja.”
“Bukan tentang Dela. Barusan kamu bilang aku aneh? Masa, aku aneh?” aku berhenti menulis sejenak kemudian menatap Satya.
“Katanya, orang pintar kayak kita berdua pasti punya kebiasaan aneh. Dari yang aku lihat, kamu suka bicara dengan dirimu sendiri. Kamu nggak sadar?”
Aku kembali melanjutkan tulisanku. Aku tidak mengerti apa yang katakan oleh Satya. Aku punya kebiasaan aneh?
Satya memperhatikanku menulis, “masih lama, Zee?”
“Masih. Kamu ke kantin duluan saja nggak apa kok.”
“Udahan yuk! Aku punya rekaman audio suara Pak Kurnia pas lagi jelasin materi tadi. Siapa tahu kamu mau. Lantai dua ini lumayan angker katanya.”
“Angker? Memang ada hantu muncul waktu siang?” aku menutup bukuku.
“Kamu nggak percaya? Ya udah aku tinggal.” Satya mengambil langkah cepat meninggalkanku.
“Satya, tunggu!” aku mengambil semua barangku lalu mengejarnya.
...…...
“Satya, ada yang mau aku tanyakan lagi padamu,” ucapku lalu duduk berhadapan dengan Satya di meja kantin.
“Apa lagi?” Satya dengan asyik menyantap kuah baksonya.
“Soal sekolah ini, apa kamu bisa menyadap CCTV-nya? Ada hal lain yang perlu kutahu.”
Satya tertawa kecil, “kamu kayak nggak tahu sekolah kita saja. CCTV di sini bobrok, alias nggak berfungsi. Hanya buat pajangan doang, biaya sekolah kita habis buat renovasi. Nggak ada biaya lagi buat nyalain CCTV 24 jam,” jelasnya.
“Begitu ya? Pantas aku sering bolos tapi nggak pernah ketahuan. Ternyata memang nggak nyala?”
Satya mengangguk sambil terus mengunyah.
“Kalau begitu aku balik ke kelasku. Makasih ya, Satya.”
Jadi selama ini aku tidak pernah tahu kalau CCTV itu tidak berfungsi? Padahal di setiap koridor sekolah ini dipasang CCTV supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Lalu bagaimana aku tahu siapa yang meletakkan surat-surat di lokerku?
Aku melangkahkan kakiku menuju kelas. Rasanya lelah sekali setelah pikiranku dikuras habis saat bimbingan tadi. Aku mengamati kelas-kelas yang kulewati. Langkahku terhenti di salah satu kelas yang tidak lain adalah kelasku sendiri.
“Tuh! Zeeya sudah kembali ...” Hana, yang tadinya sedang mengobrol dengan Nisa, menghentikan obrolannya.
Aku masuk ke kelas yang ramai karena sedang jam kosong itu, “kalian habis ngobrolin apa?”
“Yang tadi pagi lu tunjukin ke gua. Kasus di SMP lu itu,” jawab Hana.
Aku duduk di kursi dekat mereka berdua lalu laut ikut dalam obrolan, “aku saja sudah lupa tentang kasus itu.”
“Ah, masa sih, Zee ... Kejadian heboh begitu kamu bisa lupa?” Nisa tidak mempercayainya.
“Nggak tau. Aku nggak tau kenapa bisa lupa. Yang jelas pelakunya bukan aku ...” Aku mengernyitkan dahiku.
“Pelakunya lu, Zee?” tanya Hana.
Ups! Aku keceplosan, “mana mungkin aku pelakunya, Na. Ha ha ha.” Aku tertawa kecil berusaha mencairkan suasana.
Hana dan Nisa menatapku tajam, tampaknya aku tidak berhasil menghilangkan kecurigaan mereka. Aku menghela napas panjang sehabis tertawa.
“Kamu kenapa, Zee? Tadi pagi wajahmu sembab, seperti banyak pikiran. Sekarang ketawa nggak jelas,” ucap Nisa menusukku.
“Ah, sepertinya aku memang anak yang aneh.” Aku tersenyum manis.
Senyumanku membuat mereka berdua menjauhkan pandangannya dariku, merasa jijik. Tidak mengapa, asalkan jangan sampai mereka berdua tahu tentang surat-surat itu.
.........
Aku menunggu di ruang kelas tempat lokerku berada. Kali ini aku berniat menangkap basah pelaku yang menaruh surat itu di lokerku. Bel pulang sekolah sudah lama berbunyi, semua murid juga sudah pulang.
Apa aku harus pulang juga? Tidak, tidak, kalau bukan sekarang, kapan lagi aku bisa menangkap orang iseng itu. tapi sopir pribadiku pasti sudah menunggu lama dari tadi.
“Sudah makin sore, belum ada yang datang. Apa orang itu takut denganku, ya?” aku bergumam sendiri.
Aku melirik ke arah jam dinding, pukul empat sore. Aku memutuskan untuk menunggu lebih lama. Sampai aku mendengar suara langkah kaki yang kian lama kian mendekat. Itu pasti dia, orang yang akan meletakkan surat di lokerku.
“Zee, kamu masih di kelas?”
Ternyata tebakanku salah, Reega sedang mencariku, “aku masih ingin tahu siapa orang itu, Ree.”
“Pulang sekarang, sopirmu sudah menunggu.” Reega menarikku pulang.
“Ta-tapi Ree.” Aku melepaskan tarikannya.
“Pulang sekarang juga, bahaya!” Reega meninggikan suaranya membuatku takut, akhirnya aku menuruti perkataannya.
...... ...
dari judulnya udah menarik
nanti mampir dinovelku ya jika berkenan/Smile//Pray/
mampir di novel aku ya kasih nasihat buat aku /Kiss//Rose/