Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jerat Akar Mayang
Kusuma kebingungan antara ingin menghadapi mereka atau memilih lari. Melihat kondisi Abdi yang tidak memungkinkan, Kusuma memilih menjauh dari sosok-sosok menyeramkan itu.
"Ayo, kita harus cepat pergi dari sini," bisik Kusuma sembari memapah Abdi untuk segera berdiri.
Sesekali Abdi merintih kesakitan ketika Kusuma membantunya berjalan. Terlebih lagi ketika mereka melintasi jalan yang lebih curam, pohon semakin lebat hingga sinar rembulan tak bisa menembus lebatnya pepohonan. Mereka berjalan berhimpitan.
“Ya Allah… Ya Tuhan…” batinnya bergetar. Bibirnya terus merapalkan doa dan ayat kursi, namun setiap kali sampai di tengah bacaan, pikirannya buyar. Ia harus mengulanginya dari awal, lagi dan lagi, dalam upaya menenangkan hatinya yang gelisah.
Kini, mereka sudah berada cukup jauh dari sang penabuh gamelan, aura wanita penari tadi sudah tak terasa lagi, mereka sudah terbebas dari kejaran para makhluk gaib. Walaupun tak bisa dinyatakan aman, tetapi mereka masih cukup beruntung karena bisa terlepas dari kejaran para penari gaib.
Abdi kembali merintih saat kakinya yang terluka terkena tekanan ketika berjalan.
"Aw, sakit."
"Kita duduk dulu, Dok," ucap Kusuma sembari membantu Abdi untuk duduk bersandar di bawah pohon. Gadis itu mengarah cahaya dan menatap ke kaki Abdi. Akibat tergores akar kayu yang ternyata cukup tajam membuat pergelangan kaki Abdi terluka hingga darah masih mengucur.
Tanpa pikir panjang, Kusuma langsung berlutut, meraih kaki Abdi dengan tangan gemetar. Ia cepat-cepat melepaskan syal yang melingkar di lehernya, menyisihkannya untuk membalut luka di pergelangan kaki sang dokter.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Abdi dengan alis terangkat, nada suaranya bingung bercampur heran.
“Diam saja, Dok,” balas Kusuma tegas tanpa menoleh. Tangannya tetap sigap bekerja, mencoba menghentikan darah yang mengalir dari luka yang tampak menganga.
Dengan hati-hati, Kusuma meluruskan kaki Abdi, lalu membalut pergelangan yang terluka dengan syalnya, menariknya cukup kencang untuk menghentikan pendarahan.
“Aw, pelan-pelan, dong!” rengek Abdi, wajahnya meringis menahan nyeri.
Kusuma mengangkat pandangannya sejenak, menatap Abdi dengan sorot mata tajam yang tak bisa disangkal. “Dih, segitu aja cengeng banget, Dok,” ucapnya dengan nada menggoda.
“Heh… kamu, sih, nggak ngerasain rasanya,” balas Abdi, tersenyum kecil meski wajahnya masih menunjukkan rasa sakit.
Kusuma hanya mendengus kecil, tak membalas. Ia kembali fokus membungkus luka di kaki Abdi dengan hati-hati, memastikan balutannya cukup kuat. Sementara itu, tanpa ia sadari, Abdi mulai memperhatikan wajah Kusuma yang begitu serius mengobatinya. Ada sesuatu dalam ekspresi gadis itu, entah ketenangan, keteguhan, atau mungkin kehangatan yang membuat Abdi lupa sejenak akan rasa sakitnya.
Wajah Kusuma terlihat lelah, butiran peluh menetes dari wajahnya. Akan tetapi, itu sama sekali tak mengurangi manisnya wajah Kusuma yang diterangi oleh cahaya bulan.
Senyum mengembang dari wajah Abdi, ia begitu menyukai senyum Kusuma yang tampak sangat perhatian pada dirinya. Entah mengapa, detak jantungnya berdegup kencang, bukan karena ketakutan seperti tadi, melainkan sebuah rasa yang berbeda.
Abdi berdebar-debar saat memperhatikan perawat itu. "Ternyata, dia cantik dan baik," batin Abdi.
Selama ini Abdi tak pernah memperhatikan Kusuma karena sibuk dengan pekerjaannya. Namun, semenjak tragedi Kusuma menciumnya.
Deg! Deg!
Suara detak jantung Abdi terasa begitu nyata, menggema di keheningan malam yang pekat. Kusuma menghentikan gerakannya, bingung dengan suara itu yang seolah tak berasal dari mana pun selain… dirinya.
“Dokter, nggak apa-apa? Kok aku kaya dengar suara deg-degan gitu, ya?” tanya Kusuma, menatap Abdi dengan raut heran.
Abdi terdiam, tubuhnya menegang sesaat. Wajahnya perlahan memerah, rona malu mulai menjalari pipinya. Ia mencoba menenangkan diri, tapi suara jantungnya sendiri seperti terus mengkhianatinya.
“Dokter masih ketakutan, ya?” Kusuma bertanya lagi, lebih pelan, kali ini matanya menelisik wajah Abdi.
Abdi buru-buru menggeleng, berusaha menutupi rasa canggung yang mendadak menyerangnya. “Nggak ada apa-apa. Kamu salah dengar kali, jangan ngayal deh!” jawabnya dengan nada yang dibuat-buat tenang.
“Oh, yaudah…” Kusuma mengangguk pelan, tampak menerima jawaban itu tanpa kecurigaan lebih jauh. Ia kembali fokus membalut luka di kaki Abdi, memastikan perban yang ia buat cukup erat untuk menghentikan pendarahan.
Kusuma duduk di samping Abdi untuk menenangkan dirinya yang juga masih ketakutan, sedangkan Abdi pun terdiam berusaha untuk menenangkan debaran jantungnya. Ia kebingungan karena memikirkan sesuatu tentang perawatnya itu.
"Kusuma, tadi itu apa? Hantu?" tanya Abdi membuka percakapan untuk mencairkan suasana.
Kusuma menoleh. "Ya, bisa dibilang begitu," ujar Kusuma pelan.
Abdi terdiam, ia begitu terkejut dengan wujud dari hantu itu. Ia mulai berpikir tentang kejadian masa lalu saat Bilqis adiknya bercerita tentang hantu dan segala jenisnya.
"Apa bentuk yang dilihat Bilqis dari dulu itu seperti tadi itu, ya?" batin Abdi bertanya-tanya.
Namun, belum sempat ia bertanya. Kusuma tiba-tiba saja berdiri. Manik mata gadis itu menatap ke arah sekitar. Ia merasakan ada aura lain di sekitar tempat ia dan Abdi tengah beristirahat. Akan tetapi, aura yang ia rasakan terasa berbeda dari yang ia rasakan pada sosok makhluk halus bergaun merah itu.
"Aura siapa? Apa dia bermaksud jahat juga?" tanya Kusuma dalam hati.
Gadis itu terus menatap dengan waspada, jaga-jaga jika ada sesuatu yang kembali ingin menyerang mereka.
“Dok, kita harus pergi sekarang,” ujar Kusuma, nada suaranya tegas namun dipenuhi keprihatinan.
“Tapi… masih sakit,” jawab Abdi dengan suara lirih, menahan rasa nyeri yang menjalari pergelangan kakinya yang terluka. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan rintihan yang hampir keluar.
“Cengeng, cuma gitu aja,” jawab Kusuma tanpa peduli, suaranya datar. “Ayo, cepat. Mau jadi penghuni hutan ini?”
Abdi menatapnya dengan penuh perhatian, sedikit ragu, lalu menggeleng cepat. “Ogah! Nggak mau! Di sini nggak ada cewek-cewek cantik,” jawabnya dengan nada ringan, meskipun rasa sakit masih menggigit.
“Ada tuh tadi,” Kusuma menjawab singkat, matanya masih fokus ke sekitar, tak ingin lengah.
“Dih, ogah! Ya kali mau sama demit,” jawab Abdi sambil tersenyum, meski senyumnya terlihat agak dipaksakan.
Kusuma mendengus kecil, tak mau berdebat lebih jauh. “Dah, dah. Ayo, Dok,” ujarnya dengan nada sedikit mengeraskan suara, meraih tangan Abdi dan dengan hati-hati meletakkannya di pundaknya. Ia membantu langkah Abdi, meskipun mereka berdua tak tahu pasti jalan keluar dari hutan yang mencekam ini.
“Pelan, pelan. Sakit,” rengek Abdi dengan sedikit keluhan, suara manja itu keluar begitu saja, membuatnya merasa tak nyaman meski ada rasa malu yang mengiringi.
“Idihh... ternyata kakak ini cengeng,” ujar Kusuma sambil menoleh ke arah Abdi, matanya mencela namun tetap dengan sentuhan kelembutan di balik kata-katanya.
Sontak, mata mereka beradu. Sejenak mereka terdiam dalam posisi itu. Beberapa detik kemudian, Kusuma membulatkan manik matanya, ia terkejut karena wajahnya sangat dekat dengan Abdi. Gadis itu segera membuang muka dan kembali berjalan, ia salah tingkah karena tatapan Abdi tadi.