Megha Anantasya, gadis ceria yang terjebak dalam cinta sepihak pada Bima Dirgantara, berjuang melawan penolakan dan dinginnya hati pria yang dicintainya. Meskipun usaha dan harapannya tak pernah padam, semua usaha Megha selalu berakhir dengan patah hati. Namun, saat mereka kembali bertemu di kampus, Megha menyimpan rahasia kelam yang mengancam untuk merusak segalanya. Ketika perasaan Bima mulai beralih, kegelapan dari masa lalu Megha muncul, mengguncang fondasi hubungan mereka. Di tengah ketidakpastian, Megha menghadapi kenyataan pahit yang tak terhindarkan, dan Bima harus berjuang melawan penyesalan yang datang terlambat. Ketika semua harapan tampak sirna, cinta mereka terjebak dalam tragedi, meninggalkan luka mendalam dan pertanyaan tanpa jawaban: Apakah cinta cukup untuk mengalahkan takdir yang kejam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siscaatann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
awal baru
Malam itu, aku duduk di kafe yang familiar banget. Suasana hangat dan aroma kopi yang menyegarkan bikin hati ini berasa lebih tenang. Rina di sebelahku, masih mengaduk es krim sambil nyender di kursi. “Meg, ini momen yang tepat, loh! Lu harus bicarain semuanya sama Bima,” ujarnya sambil melirik ke arah Bima yang lagi duduk di sudut kafe bareng temen-temennya.
“Iya, Rin, tapi lo tahu kan betapa awkward-nya situasi ini?” jawabku sambil melirik Bima yang masih asyik ngobrol. “Dulu, kita deket banget, sekarang kayak… stranger.” Rasanya bikin aku pengen kabur dari tempat itu, tapi aku tahu, ini kesempatan yang harus aku ambil. “Gue udah janji sama diri sendiri, mau berani menghadapi semua ini.”
Rina mengangguk. “Iya, Meg. Kita kan pengen mulai lagi. Lu harus berani buat minta maaf dan mengklarifikasi semuanya. Ini demi diri lu juga.” Dia tersenyum memberi semangat. “Mungkin ini saatnya kita move on dengan cara yang lebih baik.”
Aku menarik napas panjang. “Oke, gue coba. Tapi kalau misalnya dia tetap cuek, gue nggak tahu harus gimana.” Rina nyengir. “Ingat, Meg! Nggak ada salahnya untuk mencoba, kan?”
Dengan tekad yang baru, aku berdiri dari kursi dan melangkah ke arah Bima. Setiap langkah kayak bikin jantung ini berdebar semakin kencang. “Ayo, Meg! Ini demi diri lo sendiri!” bisikku dalam hati. Sesampainya di meja Bima, semua orang langsung melihatku, dan suasana jadi hening.
“Eh, Bima,” aku menyapa, suaraku hampir serak. “Bisa ngobrol sebentar?” Bima menatapku dengan kaget. “Oh, hai Meg! Iya, tentu. Ayo.” Dia berdiri dan mengikuti aku menjauh dari kerumunan.
Kami berdua berdiri di sudut kafe, dan aku bisa merasakan ketegangan di udara. “Gimana kabar?” aku mulai, meski hatiku bergetar. “Baik, alhamdulillah. Lu gimana?” jawabnya santai, tapi ada nada canggung yang bikin perasaanku makin campur aduk.
“Aku… aku pengen minta maaf,” kataku akhirnya. “Soal apa yang terjadi dulu. Tentang kita.” Bima terlihat agak kaget, tapi dia mengangguk. “Iya, gue juga ngerasa hal yang sama. Rasanya aneh banget kita ketemu lagi di sini.”
“Gue cuma mau bilang, meskipun kita udah melalui banyak hal, gue tetap menghargai momen-momen yang pernah kita lewatin. Jadi, kalau lo mau, kita bisa mulai lagi sebagai teman.” Suara ini keluar dengan jujur, meskipun hatiku berharap lebih.
Bima tersenyum. “Teman? Sounds good, Meg. Gue juga berharap kita bisa punya hubungan yang baik lagi.” Mendengar itu, rasa lega mengalir dalam diriku. “Jadi, lo mau ngumpul bareng kita?” tanyaku dengan penuh harap.
“Ya, kenapa enggak? Kita bisa gabung dan ngobrol-ngobrol. Semoga bisa lebih baik ke depannya,” jawabnya. Perasaan ini kayak batu besar di dadaku perlahan menghilang. “Oke, mari kita coba!”
Kami kembali ke meja tempat teman-teman Bima berada. “Eh, kalian berdua, selamat datang!” seru teman-temannya dengan ceria. Aku mencoba untuk berbaur meskipun masih ada rasa canggung di antara kami.
Malam itu berlangsung seru. Kami ngobrol, tertawa, dan sedikit demi sedikit, rasa akrab itu mulai terbangun lagi. Bima terlihat lebih santai, dan aku juga mulai bisa menikmati kehadirannya tanpa beban. Namun, dalam hati ini, tetap ada rasa takut untuk berkomitmen lebih dari sekadar teman.
Setelah kafe tutup, aku dan Rina pulang bareng. “Gimana, Meg? Lu merasa lebih baik kan?” tanya Rina sambil jalan di sampingku. “Iya, Rin. Rasanya enak bisa ngobrol sama Bima lagi. Tapi, gue juga bingung. Apakah kita benar-benar bisa kembali seperti dulu?”
“Cobalah untuk menikmati prosesnya, Meg. Lu udah berusaha, dan itu yang terpenting. Jangan pikirin apa yang bakal terjadi selanjutnya,” ucap Rina sambil memegang bahuku. “Biarin waktu yang jawab.”
Hari-hari berikutnya di kampus jadi lebih cerah. Bima dan aku mulai sering ngobrol dan sesekali ngumpul bareng. Rina juga ikut masuk dalam pergaulan kami. Rasanya, kehadiran Bima mulai membuat hidupku lebih berwarna lagi. Meskipun aku masih ragu dengan perasaanku, aku merasa ini adalah langkah yang tepat.
Suatu siang, saat kami lagi ngumpul di taman kampus, Bima tiba-tiba mengajak kami untuk main frisbee. “Ayo, kita main! Sekalian refreshing!” ucapnya dengan semangat. Rina langsung setuju. “Oke, kita main! Kembali ke masa-masa dulu!”
Saat bermain, aku merasakan kembali vibe yang dulu pernah ada di antara kita. Tawa, canda, dan kekonyolan saat berusaha menangkap frisbee. Rasanya seperti kembali ke masa-masa tanpa beban. Aku berlari mengejar frisbee yang dilempar Bima, dan saat berhasil menangkapnya, aku merasa kayak meraih sesuatu yang hilang.
Malamnya, saat pulang, aku merasa lebih dekat dengan Bima. “Rin, rasanya enak banget bisa main kayak gini lagi. Kayak ada yang hilang dan sekarang jadi kembali,” kataku sambil tersenyum. Rina menatapku dengan serius. “Lu harus ingat, Meg. Ini adalah awal baru. Tapi jangan sampai terbawa perasaan yang bikin lo sakit lagi.”
Aku mengangguk. “Iya, Rin. Gue tahu. Tapi kadang, rasanya susah banget untuk nggak baper,” ucapku jujur. “Nah, itu yang harus lo jaga, Meg. Nikmati momen ini, tapi jangan terlalu baper,” Rina mengingatkanku.
Hari demi hari berlalu, dan hubungan kami semakin akrab. Bima mulai mengajak aku dan Rina untuk ikut kegiatan di luar kampus, kayak volunteering atau nonton bareng. Suatu malam, dia mengajak kami untuk nonton film di bioskop. “Eh, kalian mau nonton film baru yang lagi trending? Gue udah beli tiket!”
“Wah, asyik! Iya, kita ikut!” Rina menjawab dengan semangat. “Meg, lu mau kan?” tanyanya padaku. “Tentu! Ayo kita nonton!”
Di bioskop, suasana ramai dan bikin kami lebih santai. Selama film berlangsung, Bima sesekali ngelirik aku dan Rina, dan kita semua tertawa di momen-momen lucu. Ketika film selesai, Bima terlihat excited. “Gimana? Keren kan filmnya?”
“Iya, seru banget! Ternyata lo punya selera film yang bagus juga!” balasku sambil tersenyum. Kami berjalan keluar dari bioskop dengan ceria, dan Bima mengajak kami untuk makan malam.
Setelah makan, saat perjalanan pulang, aku dan Rina masih merasa happy. “Meg, lo lihat Bima? Dia jadi lebih perhatian sama lo,” kata Rina sambil melirikku. “Iya, Rin. Tapi gue masih bingung. Apakah ini semua hanya buat bersenang-senang, atau ada yang lebih?” jawabku.
Malam itu, aku nggak bisa tidur. Pikiran ini terus berputar di dalam kepalaku. “Apa sih sebenarnya perasaan Bima? Apakah dia juga merasakan hal yang sama?” Rasa ingin tahu ini bikin aku semakin penasaran.
Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk lebih terbuka dengan Bima. “Bima, kita bisa ngobrol sebentar?” tanyaku saat kami sedang beristirahat di taman. “Tentu, Meg. Ada apa?” jawabnya sambil tersenyum.
“Gue cuma mau nanya… apa yang lo rasakan sekarang tentang kita?” Suara ini keluar dengan penuh keberanian. Bima terlihat kaget, tapi dia mengangguk. “Jujur, Meg, gue senang bisa deket lagi sama lo. Kita punya chemistry yang bagus, dan rasanya enak bisa ngobrol dan ngelakuin banyak hal bareng.”
“Jadi, lo merasa kita bisa kembali seperti dulu?” tanyaku lagi, berusaha untuk mendapatkan jawaban yang jelas. “Mungkin… mungkin kita bisa mulai dari sini. Cuma, gue pengen kita nggak terburu-buru. Semua butuh proses,” jawabnya.
Mendengar itu, hatiku merasa lega. “Oke, kita coba jalani semuanya pelan-pelan. Yang penting kita bisa enjoy bareng,” kataku sambil tersenyum.