Di tengah gelapnya kota, Adira dan Ricardo dipertemukan oleh takdir yang pahit.
Ricardo, pria dengan masa lalu penuh luka dan mata biru sedingin es, tak pernah percaya lagi pada cinta setelah ditinggalkan oleh orang-orang yang seharusnya menyayanginya.
Sementara Adira, seorang wanita yang kehilangan harapan, berusaha mencari arti baru dalam hidupnya.
Mereka berdua berjuang melewati masa lalu yang penuh derita, namun di setiap persimpangan yang mereka temui, ada api gairah yang tak bisa diabaikan.
Bisakah cinta menyembuhkan luka-luka terdalam mereka? Atau justru membawa mereka lebih jauh ke dalam kegelapan?
Ketika jalan hidup penuh luka bertemu dengan gairah yang tak terhindarkan, hanya waktu yang bisa menjawab.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Selina Navy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
Ricardo hanya diam dan membisu, seakan tak pernah merasa bosan Ricardo terus menatap wajah Adira,
"Apasih? Kok diam aja," kata Adira dalam hati, gelisah ditatapi Ricardo.
Adira yang lelah menunggu jawaban mengulangi pertanyaannya,
"Jadi.. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Ricardo yang masih ingin menatapi Adira pun hanya tetap diam dan bertanya sendiri dalam hati,
"Apa kau mengingat ku Adira?,"
Ricardo sebenarnya ingin tahu apakah Adira benar-benar mengingatnya atau tidak. Tapi
Ricardo tidak ingin bertanya tentang itu dulu, Ricardo ingin Adira menemukan jawaban itu sendiri.
Ricardo lalu menghela napas dalam dan menghembuskan nya pelan.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" tanya Ricardo dengan tatapan hangatnya.
Mendengar pertanyaan tersebut, Adira tampak bingung. Dia menunduk, rasa ingin tahunya terguncang oleh keraguan,
"Hmm, entah lah.. hanya saja kau sepertinya tak asing, " jawab Adira ragu-ragu.
"Aku? Tak Asing?." tanya Ricardo lagi.
Melihat tatapan mata Ricardo padanya yang semakin hangat membuat Adira salah tingkah. Adira pun hendak berpaling, tak sanggup lagi menghadapi itu.
Namun, sebelum Adira bisa menjauh, tangan kanan Ricardo dengan cepat menangkap lengan kiri Adira, menariknya kembali dan membuat mata mereka saling bertatapan lagi.
Adira sebenarnya merasa aneh dengan kenyamanan yang muncul saat berada di dekat Ricardo, seorang mafia yang berotot dan penuh tato ini seharusnya menimbulkan rasa takut dalam hatinya.
"Kenapa dia begitu lembut padaku?," tanya Adira dalam hati.
Adira memiliki trauma dalam diri nya yang secara otomatis membentuk tembok tinggi di sekeliling hatinya untuk melindunginya dari kehadiran pria mana pun.
Adira sudah lama berjanji untuk menjaga jarak, menolak untuk membiarkan siapa pun mendekat.
Namun kini, di hadapan Ricardo, segala janji itu terasa hampa. Kenapa dia bisa merasa nyaman dengan seorang pria yang terlibat dalam dunia gelap?.
"Kenapa di hadapan Ricardo semuanya terasa berbeda?." batinnya lagi.
Meski Adira memiliki alasan untuk merasa terancam, ada sesuatu dalam tatapan dan sikap Ricardo yang membuatnya merasa aman. Seolah pria itu memahami dirinya dan semua luka yang tersembunyi tanpa perlu diungkapkan.
"Aneh..aku malah merasa..aman" gumam Adira dalam hati.
Ricardo masih terdiam. Matanya terfokus pada lengan Adira yang bercahaya, terkena sinar matahari yang masuk melalui jendela.
Dalam momen itu, Adira bertanya dengan lembut,
"Kenapa kau terus baik padaku?." ucap Adira dengan nada lembut.
Ricardo tertegun, dia merasa berat dengan pertanyaan itu. Dia ingin menjelaskan, bahwa di balik semua ketegangan dan kegelapan yang mengelilingi hidupnya, Adira adalah cahaya yang tidak terduga.
Namun, kata-kata itu terasa sulit untuk diungkapkan, dia tahu bahwa perasaannya yang tulus itu harus disampaikan dengan cara yang benar, bukan hanya sekadar jawaban untuk rasa ingin tahunya.
Adira yang sudah bosan menanti Ricardo bicara pun akhirnya kesal,
"Kau baik, tapi kau dingin. Aku seperti bicara dengan tembok,"
Adira pun mulai berjalan menjauh dari Ricardo, meninggalkan ketidakpastian di udara. Ricardo tak mampu menjawab, terjebak dalam perasaannya yang rumit. Dia baru sadar bahwa dia telah lama jatuh hati pada wanita ini, yang berhasil menembus hati nya sejak lima tahun lalu.
Ricardo tertegun, menatap punggung Adira yang menjauh,
"Maaf Adira, aku tak mampu menjelaskan padamu."
"Aku benar-benar sudah lelah, tlah lama mencari mu, kau tak tau betapa terkejut nya aku, melihat mu tiba-tiba ada didepan ku sekarang." ucao Ricardo dalam hati.
Kini Adira sedang duduk di samping jendela, menatapi pepohonan diluar. Melihat itu Ricardo semakin gelisah. Dia tidak ingin kehilangan wanita yang telah lama membawa cahaya ke dalam hidupnya itu, tapi menahan cahaya itu berada disini dunia gelap ini pun tidak ada baiknya.
"Haaahhh" keluh Ricardo mencoba menyadarkan dirinya dari lamunan.
Lalu dengan cepat menggeser meja yang sempat menghalangi pintu dan mengembalikannya ke posisi semula
Ricardo pun mulai mengerjakan tugas-tugas yang sudah menumpuk di mejanya, berusaha fokus pada pekerjaan sambil berjuang melawan kekhawatiran tentang keselamatan Adira dan perasaannya yang semakin dalam.
Sementara Adira duduk jauh di sebelah kanan Ricardo, memperhatikan pria itu bekerja dengan tatapan penuh kebingungan.
Dalam hati Adira berbisik,
"Hah, apa sih yang kau sibukkan? Kalian kan hanya menjual orang, kejam!"
Adira pun merasa frustrasi, tak bisa memahami dunia yang ia singgahi sekarang. Kini Adira hanya menatap keluar jendela, hanya ada pegunungan yang menjulang tinggi, menandakan betapa jauh dan terisolasinya markas itu.
"Mengapa aku bisa sampai di sini? Takdir apa yang sebenarnya harus aku jalani?."
"Kenapa aku harus ngalamin hal seperti ini?"
"Apa aku bisa pulang?."
Seiring dengan pertanyaan-pertanyaan itu, Pikiran Adira pun dipenuhi oleh kejadian-kejadian dalam hidupnya.
Seketika itu juga, Adira kembali ke masa lalu...
...FLASHBACK ON...
Adira di Bandung, Indonesia. Dia tinggal di sebuah rumah ruko satu setengah lantai.
Lantai dasar ruko itu merupakan garasi mobil dan ruang kerja ayahnya yang merupakan seorang pengusaha konveksi celana jeans yang sukses. Di sana, ayahnya selalu memeriksa pembukuan dengan sangat teliti. Ayah nya juga memiliki tulisan tangan yang sangat rapi.
Lantai dua ruko itu diisi dengan dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi.
Lalu setelah nya ada kamar tidur Adira dan adik perempuan nya, Mia. Mereka beda sepuluh tahun. Meskipun masih kecil, Mia si bungsu dari lima bersaudara sering menjadi teman berbagi cerita bagi Adira.
Sementara dua adik laki-laki Adira yang lainnya tidur di ruang TV di lantai itu, menikmati kebebasan di ruang yang lebih luas, penuh dengan mainan dan buku-buku komik mereka.
Kehidupan Adira kecil sangat nyaman dan tercukupi. Adira tak pernah merasa kekurangan materi. Namun, hidup memang tak pernah bisa sempurna. Ada hal-hal yang tak bisa diukur hanya dengan kenyamanan materi.
Rumah tempat tinggal mereka yang penuh dengan perabotan mahal dan elektronik yang terbaru. Tak membuat Adira nyaman berlama-lama dirumah. Ada yang selalu membuat Adira selalu merasa cemas tiap dirumah. Itu adalah kakak laki-lakinya, Boy si anak pertama dari keluarga mereka.
Selisih usia Adira dengan Boy hanya dua tahun, tetapi sikapnya sangat berbeda.
Boy memang jarang pulang ke rumah, dia hanya datang untuk makan. Tapi setiap Boy pulang, rumah yang hangat itu berubah menjadi tempat yang penuh penderitaan.
PLAK!!
Suara tamparan terdengar kencang.
"Berani kau melawan ku! Ha! " kata boy memaki Adira.
Boy selalu menyiksa Adira sejak dia kecil. Dan Adira kecil itu hanya bisa bersembunyi di dalam lemari dan menangis sepuas-puas nya
Bertahun-tahun Adira mengalami itu, dan berhasil membuat Adira trauma dengan laki-laki.
Saat itu, Adira berjanji untuk tidak pernah membiarkan siapa pun mendekatinya, untuk melindungi dirinya dari rasa sakit yang terus-menerus menghantui.
(ehemmm/Shhh//Shy/)